Share

Bab 9

Pada pemeriksaan sebelumnya tidak disebutkan bahwa Anisa mengandung bayi kembar. Bagaimana bisa tiba-tiba ada dua nyawa di dalam kandungannya?

Anisa memegang hasil USG-nya sambil duduk dan melamun di lorong rumah sakit. Dokter mengatakan kemungkinan untuk mengandung anak kembar sangat rendah. Jika dia menggugurkan kandungannya, kecil kemungkinan dia akan bisa mengandung anak kembar lagi.

Anisa tersenyum kecut, semua ini adalah ulah dokter Keluarga Pratama. Ketika menanamkan sel telur yang telah dibuahi, dokter tidak memberi tahu Anisa kalau dia akan mengandung anak kembar.

Di mata Keluarga Pratama, mungkin Anisa hanya dimanfaatkan sebagai sarana untuk melahirkan anak. Minggu lalu Anisa mengalami pendarahan yang dikira menstruasi. Setelah memberi tahu dokter Keluarga Pratama, dokter mengira penanaman benihnya gagal. Ditambah Theo baru sadarkan diri dan hendak menceraikan Anisa.

Sejak saat itu dokter Keluarga Pratama sudah tidak pernah mencari Anisa.

Anisa frustasi, apakah dia harus melahirkan kedua anak ini? Setelah duduk selama satu jam, tiba-tiba ponselnya berdering. Anisa pun mengeluarkan ponsel dan menjawab panggilan tersebut.

"Anisa, ayahmu lagi kritis! Cepat pulang!" Suara Maya terdengar panik.

Anisa tercengang, ayahnya kritis? Bagaimana mungkin?

Beberapa waktu lalu perusahaan Keluarga Kintara mengalami masalah yang cukup serius. Masalah tersebut menyebabkan ayahnya pingsan dan harus dirawat di rumah sakit. Ayahnya bahkan tidak bisa menghadiri pernikahan Anisa.

Tidak disangka, ternyata penyakitnya separah ini?

Kepala Anisa terasa penat. Sejaknya ayahnya berselingkuh, Anisa membenci dan tak akan memaafkan ayahnya. Namun begitu mendengar kondisi ayahnya yang sedang sekarat, jantung Anisa terasa berdegup kencang.

....

Sesampainya di rumah Keluarga Kintara, kondisi ruang terlihat berantakan. Maya bergegas menarik Anisa ke kamar untuk menemui ayahnya, Omar Kintara.

Omar berbaring di atas tempat tidur, kondisinya tampak sekarat.

"Ayah, kenapa tidak dirawat di rumah sakit?" Anisa menggenggam tangan Omar sambil menangis tersedu-sedu.

Malia mendengus dingin. "Gampang banget pertanyaan kamu? Dari mana uang buat bayar biaya rumah sakit ayahmu?"

Anisa mengangkat kepalanya dan menatap Malia. "Bukannya kamu sudah dapat uang dari Keluarga Pratama? Kenapa nggak merawat ayahku?"

Malia mengerutkan bibirnya dan menjawab, "Uang itu buat bayar utang! Kamu tahu berapa banyak utang ayahmu? Anisa, kamu pikir aku mencuri semua uang ayahmu? Lagi pula kondisi ayahmu sudah parah, nggak bisa disembuhin lagi. Kalaupun dia meninggal, bukannya itu lebih bagus? Penyakit ayahmu nggak akan membuatnya menderita lagi."

Setelah berbicara, Malia bangkit berdiri dan pergi meninggalkan kamar.

Aida tidak bersikap seperti Malia. Bagaimana Omar adalah ayah kandungnya Aida. Ditambah, Omar juga sangat menyayanginya. Dia tidak ingin kehilangan ayahnya ....

"Ayah, jangan marah, ya! Ibu bukannya tidak mau merawat ayah, tapi keluarga kita memang sedang susah," kata Aida sambil menangis. "Ayah, aku ingin ayah sembuh ...."

Omar tidak memedulikan ucapan Aida. Sebaliknya, Omar menatap ke arah Anisa dan Maya.

Kedua mata Omar tampak berkaca-kaca. "Anisa, anak baik, Ayah minta maaf. Ayah minta maaf sama ibumu. Di kehidupan berikutnya aku pasti akan menebus semua kesalahanku."

Sesaat selesai bicara, Omar langsung menutup mata dan tangan yang menggenggam tangan Anisa pun terjatuh.

Semua orang pun menangis dan meraung-raung. Hati Anisa terasa sangat sakit!

Dalam sekejap, dunia Anisa terasa runtuh dan hancur berkeping-keping. Dia menikahi pria yang tak dicintai, sekarang hamil, dan ayahnya meninggal.

Anisa masih sangat muda, tetapi kehidupan seolah tak rela membiarkannya hidup dengan tenang. Sekarang dia merasa seperti di ambang jurang, tak banyak yang bisa dilakukan.

Di hari pemakaman Omar, langit mendung dan agak gerimis. Setelah pemakaman selesai, Malia mengajak teman-temannya ke hotel.

Semua orang membubarkan diri, hanya tersisa Anisa dan Maya yang berdiri di depan makam Omar.

Langit sendu, cuaca mendung, sama seperti perasaan Anisa dan Maya ....

"Bu, Ibu masih membenci Ayah?" Anisa menangis saat meratapi makam ayahnya.

"Benci, sangat benci! Walaupun dia sudah mati, aku tidak akan memaafkan dia!" jawab Maya.

"Terus kenapa Ibu nangis?" Anisa terlihat kebingungan.

"Karena ... aku pernah mencintainya sepenuh hati. Anisa, cinta adalah perasaan yang rumit. Tidak selalu harus memilih cintai atau benci. Terkadang kita bisa mencintai sekaligus juga membenci orang tersebut." Maya menghela napas.

Sejak kepergian Omar sampai hari pemakaman, Anisa sudah 3 hari tidak pulang ke rumahnya Theo.

Walaupun Anisa tidak pulang, tidak ada seorang pun anggota Keluarga Pratama yang mencari atau meneleponnya. Anisa juga tidak memberi tahu mereka mengenai kepergian ayahnya.

Malam ini Anisa pulang dalam kondisi kelelahan. Sesampainya di halaman, dia tertegun melihat ruang tamu yang terang benderang serta suasana yang cukup ramai.

Semua orang tampak berpakaian rapi, mereka memegang segelas anggur sambil mengobrol.

Anisa pun menghentikan langkahnya, dia ragu untuk memasuki rumah.

"Nona!" Bibi Wina melihat kepulangan Anisa.

Sekujur tubuh Anisa basah kuyup, dia tampak sangat menyedihkan.

"Nona, di luar dingin! Ayo, masuk dulu." Bibi Wina memeluk Anisa masuk ke dalam rumah.

Anisa berpakaian serba hitam. Dari kemeja, rok, mantel, sampai sepatu. Berbeda dengan biasanya, hari ini auranya memancarkan kesan yang dingin.

Bibi Wina membawakan handuk dan sandal rumah untuk Anisa. Ketika Anisa mengeringkan badan, para tamu mengerutkan alis sambil menatapnya dengan jijik.

Tatapan para tamu bagaikan pengunjung yang sedang mengunjungi kebun binatang, merendahkan dan mengejek.

Anisa menggunakan tatapan yang sama untuk menatap Theo yang sedang duduk di sofa. Dia melihat seorang wanita seksi duduk di samping Theo, mereka terlihat cukup mesra.

Wanita tersebut memiliki rambut yang panjang, dia mengenakan gaun putih ketat yang menonjolkan lekukan tubuh. Anisa yakin, wanita itu pasti memiliki hubungan khusus dengan Theo.

Sesaat menatap wanita itu, Anisa mengerutkan alisnya sambil memikirkan sesuatu.

"Kamu Anisa, ya?" Wanita tersebut bangkit dari sofa, lalu berjalan ke depan Anisa. "Katanya kamu menantu pilihan Tante Sabrina? Emm, bagus juga selera Tante. Kamu lumayan cantik, sayangnya terlalu kecil. Eh, aku bukan bilang umurmu, tapi ukuran tubuhmu ...."

Anisa menyeringai dingin. "Kamu cantik dan seksi, aku nggak ada apa-apanya. Kapan Theo akan menikahi kamu?"

Pertanyaan Anisa sontak membuat wanita ini marah.

"Anisa! Jaga ucapanmu! Kamu nggak tahu aku sudah berapa lama kenal Theo? Jangan berlagak berkuasa mentang-mentang kamu sudah jadi istrinya. Kalaupun aku menamparmu di sini, Theo nggak akan membelamu." Sembari bicara, wanita ini mengangkat tangannya.

"Prang!" Terdengar suara pecahan. Anisa mengambil sebotol anggur dan memecahkannya.

Cairan anggur menyembur hingga mengotori meja serta karpet ruangan.

Dengan mata memerah, Anisa menggenggam pecahan beling sambil berjalan mendekati wanita tersebut. "Mau pukul aku? Sini! Kalau kamu berani menyentuhku, aku nggak akan tinggal diam!"

Semua orang terkejut melihat sikap Anisa. Berdasarkan gosip yang mereka dengar, istrinya Theo adalah wanita yang lembut dan pendiam, tetapi faktanya ....

Theo duduk mengisap rokok sambil mengernyit. Tatapan matanya tertuju kepada Anisa yang tampak galak sekaligus menyedihkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status