Share

BAB 05

Bagaikan Menu Warteg 

BAB 05

Setelah acara selesai kami semua beristirahat.

Orang tua Mas seno langsung kembali ke kota. Sedangkan Mas Seno masih disini bersama ku, karena paman meminta ku untuk besok saja kembali ke kota.

"Nduk, ajak suami mu istirahat."perintah Bibik

Aku mengangguk.

Lalu ku ajak Mas Seno beristirahat di kamar ku.

Setelah di dalam kamar.

"Dek. Kamar mu kecil banget."ucapnya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kamar

"Ya iyalah Mas, namanya juga kamar di kampung ya kebanyakan seperti ini."jawabku

Aku sedikit judes untuk menghilangkan rasa, kikuk, dan canggung di depannya.

"Lalu? Kamar mandi dimana?"tanyanya

"Di luar. Dekat dapur."jawabku

Mas Seno melotot kearah ku, ketika aku menjawab letak kamar mandi

"Terus. Kalau kita mau kencing atau cuci harua keluar kamat gitu?"ucapnya lagi

"Ya kalau kencing iya harus ke kamar mandi Mas, kalau cuci tangan ya kan bisa di tempat cuci piring."jawabku

Mas Seno semakin melotot kearah ku.

"Siapa yang mau cuci tangan!"jawabnya kesal

"Lha! Tadi Mas bilang kalau cuci ya pasti cuci tangan to yang Mas maksud."jawabku bingung

"Masak gitu aja kamu gak faham!"ucapnya masih kesal

"Makanya kalau ngomong itu yang jelas dan yang mudah di mengerti Mas, mas kan tahu aku ini gadis kampung mana ngerti omongan orang kota."jawabku kesal

"Ya... Kita kan mau malam pertama masak aku harus cuci di cucian piring!"ucapnya lagi tanpa basa-basi

Aku yang mendengar itu jadi semakin gugup dan takut. Bulu kuduk ku berdiri. Aku teringat dengan artikel yang aku baca.

"Eeehhhmmm... Mas... Maaf tapi aku saat ini sedang datang bulan."ucapku beralasan untuk mengulur waktu

Mas Seno terlihat prustasi mendengar ucapan ku, dia menyugar rambutnya dan terlihat sangat kesal.

"Kok bisa sich Dek! Hari seperti ini kamu datang bulan!"ucapnya kesal

"Ya... Mana aku tahu Mas! Masak aku bisa majuin atau mundurin sich!"gerutu ku.

"Ya sudah kamu tidur di kursi itu! Nanti kalau kamu tidur dekat aku takut khilaf!"ucapnya sangat kesal.

Sedangkan aku tersenyum penuh kemenangan.

Setidaknya aku  aman untuk seminggu ke depan.

Mas Seno berbaring di ranjang ku yang kecil.

Terlihat sekali jika Dia tersiksa berbaring di sana.

Keesokan harinya kami berpamitan kepada Paman dan Bibik, mereka memelukku dengan erat, ya karena ini untuk pertama kalinya aku jauh dari mereka.

"Nduk, baik-baik disana. Nurut sama suami dan mertua."ucap Bibik sambil terisak

"Jangan lupa sering jenguk kami disini. Pintu rumah Bapak selalu terbuka untuk kalian."imbuh Paman dengan mata berkaca-kaca.

"Sudah, Bapak sama Bibik jangan sedih begini. Tutik jadi berat untuk pergi kalau melihat kalian sedih."ucapku ikut terisak

"Pergilah Nduk, kami sangat bahagia melihat mu sekarang sudah menikah."jawab Paman

"Sudah berangkat sana. Nanti ke malaman di jalan."perintahnya lagi

"Ya, sudah Tutik pamit ya Pak, Bik."ucapku sambil mencium tangan mereka bergantian

Mas Seno juga menyalami tangan mereka.

"Nak Seno, kami titip Tutik, sayangi Dia seperti kami menyayanginya. Dan jadilah imam yang baik untuk Tutik."ucap Paman ketika Mas Seno hendak mencium tangannya.

"Iya Pak. Saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Tutik."jawab Mas Seno dengan sopan.

Setelah itu kami langsung menuju mobil dan Mas Seno langsung melajukan mobilnya.

Didalam mobil aku hanya banyak diam.

Ketika aku sedang menikmati pemandangan dari kaca mobil. Tiba-tiba Mas Seno bertanya

"Dek. Kamu kalau lagi datang bulan berapa lama?"tanyanya santai sambil tetap fokus menyetir

Mendengar pertanyaan itu aku jadi terkejut. 

"Gak usah terkejut Dek. Aku kan pernah punya istri jadi tahu masalah wanita yang begitu."imbuhnya

"Eeehhhmmm... I-itu Mas."jawabku gugup

"Seminggu, dua minggu?"ucapnya lagi.

"Du-dua minggu Mas."jawabku semakin gugup

"Aduh! Lama banget Dek. Jadi aku harus menahan selama itu."ucapnya sambil memukul setir

"Ya. Namanya juga datang bulan Mas. Sudah ah, gak usah bahas itu terus."jawabku kesal

"Ha... Ha... Ha..."mas Seno tertawa lepas

Entah apa yang membuatnya tertawa seperti itu. 

Di tengah perjalanan Mas Seno mengajak ku untuk beristirahat sebentar di sebuah restoran.

"Dek. Kita makan dulu ya, sekalian bawain untuk Ibu dan Bapak karena mereka suka makanan di sini."ajaknya

Aku lalu turun dari mobil mengekor di belakangnya.

Setelah duduk di meja dan seorang pelayan mencatat pesanan kami, mas Seno terus saja menggodaku dengan membahas tentang malam pertama.

"Dek. Pokoknya kalau kamu sudah selesai datang bulan, Mas tidak mau lagi mendengar ada penolakan!"ucapnya sedikit serius

Aku hanya melotot kearahnya.

"Sudah! Aku capek dengar hal itu terus!"hardikku

"Harus dong Dek. Ingat kata paman mu tadi. Kamu harus jadi istri yang penurut."jawabnya sambil tersenyum puas

Aku langsung diam dan malas menjawabnya, aku jadi semakin takut dengan Mas Seno, aku jadi berpikir jika Mas Seno memiliki kelainan.

Jika tidak. Mengapa hanya hal itu yang dibahas dari kemarin. Apa tidak ada hal lain yang lebih penting selain itu"bathinku"

Setelah menunggu beberapa saat makanan yang kami pesan datang. Seorang pelayan menghidangkan diatas meja, mas Seno langsung melahapnya sepertinya Dia sangat lapar.

Menu yang di pesan Mas Seno hampir rata-rata makanan yang rasanya pedas. 

"Ayo Dek makan."perintahnya sambil menyuapkan nasi kedalam mulutnya

"Aku gak bisa makan-makanan  pedas Mas."jawabku

Mas Seno lalu menghentikan makannya sejenak dan melihat ku

"Kenapa tadi gak ngomong."jawabnya

"Ya karena Mas gak nanya."ucapku

"Mau aku pesanin lagi yang gak pedas?"tanyanya

"Gak. Gak usah Mas, aku makan sama telur asin ini saja."ucapku sambil mengambil satu butir telur asin

"Bener? Kamu bisa makan hanya sama telur asin?"tanyanya tak percaya

"Ya bener Mas, aku memang sangat suka telur asin."jawabku sambil mulai menyuapkan nasi mulut ku

Setelah itu kami menikmati makanan masing-masing, tak ada pembicaraan diantara kami.

Setelah memesan makanan kesukaan orang tuanya, mas Seno juga membelikan  telur asin kesukaan ku

Kami lalu melanjutkan perjalanan. Tidak butuh waktu lama akhirnya kami sampai di sebuah rumah yang sangat besar dengan tiga lantai.

Halamannya sangat luas hingga bisa di pakai untuk parkir empat mobil.

Mas Seno membunyikan klakson dan tidak berselang lama pagar terbuka.

Mas Seno langsung masuk dan memarkirkan mobilnya.

Aku turun dari mobil. Begitu turun ada wanita paruh baya yang menghampiri kami.

"Den. Ini istrinya?"tanya wanita itu

"Iya Mbok. Gimana cantik?"Jawab Mas Seno

"Cantik Den. Alami lagi."jawabnya

"Ya sudah Mbok. Bawa barang yang ada di bagasi ke kamar ku ya."perintahnya

Wanita itu langsung membuka bagasi mobil.

Mas Seno lalu mendekat kearah ku dan langsung menggandeng tanganku.

"Selamat datang dirumah sayang."bisiknya dengan lembut

Aku diam mematung, aku jadi semakin ngeri berada dekat dengan Mas Seno

Kami di sambut oleh kedua orang tua Mas Seno dan Mbah Pon.

Setelah mencium tangan mereka, kami langsung masuk dan duduk di ruang keluarga

Mbah Pon berjalan mendekat kearah Mas Seno.

"Bagaimana sudah lepas segel?"bisiknya di telinga Mas Seno, aku yang berada dekat dengan mereka tidak sengaja mendengar bisikan si Mbah.

Mas Seno menggeleng dan melihat kearah ku. Aku jadi kikuk dan salah tingkah.

Setelah sedikit ngobrol Bu Ratih menyuruh kami istirahat.

"Perjalanan yang melelahkan ya Nduk?"tanyanya lembut.

Aku mengangguk dengan lembut.

"Ya sudah istirahat, nanti kita bisa ngobrol lagi."perintahnya.

Lalu Mas Seno mengajak ku naik ke lantai dua. Karena di sana lah kamarnya, bisa di bilang kamar kami sekarang.

Setelah membuka pintu kamar, aku sangat terkejut melihat kamar Mas Seno yang sangat besar, ukurannya bisa tiga kali lipat dari kamar ku di kampung, pantas saja Dia sedikit tersiksa kemarin.

Mas Seno menyuruhku untuk masuk, aku jadi semakin canggung karena kali ini aku benar-benar berdua dengannya dalam satu ruangan yang asing bagiku.

Mas Seno menyuruhku untuk membersihkan diri.

"Dek. Mandi  biar segar."perintahnya

"Kamar mandinya dimana?"tanyaku

"Itu lho sayang."ucapnya sambil menunjuk pintu berwarna putih disebelah lemari yang sangat besar

Aku langsung bergegas masuk kedalam kamar mandi dan segera mandi, karena memang badanku terasa sangat lengket.

Setelah mandi Aku baru sadar jika aku tidak membawa handuk dan pakaian ganti.

Aku bingung dan tiba-tiba Mas Seno mengetuk pintu.

"Ada apa Mas?"tanyaku

"Buka dulu sebentar."pintanya

"Untuk apa Mas?"tanyaku mulai takut

"Ya buka dulu dong Dek."ucapnya lagi

"Mas, aku kan sudah bilang jika aku lagi..."jawabku

"Siapa yang mau itu Dek, ini Mas tadi lihat kamu tidak bawa handuk dan baju ganti."ucapnya

Aku jadi malu sendiri. Lalu aku buka pintu kamar mandi sedikit dan ku ulurkan tanganku.

"Mas, mana handuk dan bajunya."pintaku dari balik pintu

Mas Seno hanya memberi ku sebuah handuk.

"Lho Mas. Mana bajuku."protes ku

"Pakai saja itu dulu untuk mengeringkan tubuhmu sayang."ucapnya lembut

"Tolong lah Mas, jangan ngerjain aku terus."ucap ku sedikit memohon

"Si Mbok belum membawa tas mu naik sayang."lagi-lagi jawabanya dengan nada lembut

"Lalu aku bagaimana ini Mas? Bajuku yang tadi basah. Tolong suruh Mbok bawa naik Mas."ucapku lagi

Tak ada lagi jawaban dari Mas Seno, aku berpikir jika Mas Seno sedang turun dan mengambilkan tas ku.

Setelah menunggu beberapa menit Mas Seno tak kunjung datang, akhirnya karena aku penasaran aku keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk.

Begitu aku keluar dari kamar mandi aku tidak melihat Mas Seno. Aku jadi sedikit lega.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status