Share

EMPAT BULAN YANG LALU

Empat bulan yang lalu ...

Waktu sudah menunjuk jam sebelas lewat lima belas saat motor matic yang dikendarai Zahra sampai di depan rumah yang ia tempati bersama Kakaknya. Merantau di kota yang sama dengan saudara membuat hidupnya sedikit lebih mudah karena bisa mendompleng ini itu pada kakaknya.

Tak ada hal aneh saat Zahra membuka pintu dengan kunci cadangan yang dimilikinya. Hal biasanya yang gadis itu lakukan setiap masuk kerja shift dua.

“Mbak aku pulang,” teriak Zahra.

Biasanya di jam seperti ini Andin sudah masuk kamar dan tak terlalu menghiraukan kepulangan adiknya.

Meski katanya hanya kerja di toko roti, Andin bisa dibilang sangat sukses. Selain bisa membeli sawah dan merenovasi rumah, wanita itu juga bisa mencicil perumahan kelas menengah yang kini di tempatinya dengan Zahra. Tak hanya itu, semenjak Zahra datang, ia langsung membelikannya sepeda motor untuk menunjang transportasi adiknya.

Setelah bersih-bersih, Zahra melangkah menuju dapur. Biasanya Andin sudah membeli sesuatu untuk makan malamnya.

Zahra mengernyit heran saat tak menemukan makanan apa pun di dapur, entah itu di meja, di dalam lemari atau di dalam kulkas. Tak mau ambil pusing Zahra akhirnya mengambil sebungkus mi instan, sebutir telur dan beberapa lembar caisim dari dalam kulkas.

Hanya tinggal berdua dengan sang Kakak membuat rumah terasa sepi. Biasanya ada suara televisi yang berasal dari kamar Andin, namun saat ini agaknya wanita itu sudah tidur karena tak ada suara apa pun yang terdengar kecuali detak jam dinding.

Zahra duduk di meja makan yang terletak di tengah dapur. Aroma mi instan bercampur kuah telur membuat Zahra tak sabar untuk menikmatinya. Ingin makannya terasa lebih nikmat, Zahra mengambil ponselnya lalu memutar lanjutan drama korea yang sudah ia tonton kemarin.

Baru beberapa suap, Zahra terperanjat saat telinganya mendengar suara seseorang merintih. Menganggap itu hanya suara kucing, Zahra kembali melanjutkan makannya. Lagi pula suara ponselnya yang cukup keras membuat suara itu tak terdengar jelas.

Beberapa saat kemudian, suara itu kembali terdengar. Tak hanya rintihan Zahra juga lamat-lamat mendengar suara tangis bayi. Sontak jantung Zahra berdetak sangat kencang. Ia berdiri lalu berlari mencari sumber suara yang ternyata berasal dari kamar Andin.

“Mbak, Mbak Andin!” Zahra mengetuk kamar kakaknya.

“Mbak, buka pintunya, Mbak!” teriaknya lagi.

Merasa ada yang tidak beres, Zahra berusaha membuka pintu kamar kakaknya yang ternyata tidak dikunci. Seketika bau sedap menguar di hidung Zahra sesaat setelah pintu terbuka.

Meski merasa takut, Zahra melanjutkan langkahnya. Tujuannya hanya satu kamar mandi kamar kakaknya yang pintunya masih tertutup. Ia yakin kakaknya ada di dalam karena sejak pulang tadi, motor yang biasa dipakai kakaknya sudah terparkir di teras rumah.

Dengan hati-hati Zahra membuka pintu berwarna pink dihadapannya. Matanya membelalak saat melihat seonggok makhluk berwarna merah menggeliat di lantai kamar mandi yang basah dan bersimbah darah. Zahra menutup wajahnya, ingin sekali mulutnya berteriak namun suaranya seperti tertahan di leher.

“Ba-Bayi!” gumam Zahra.

Nafasnya mendadak terasa sesak dan otaknya seakan berhenti berpikir saat ia memutuskan melihat kembali pemandangan menakutkan dihadapannya.

“Sa-Sakit.”

Suara itu berhasil membuyarkan lamunan Zahra. Ia beralih menatap kakaknya yang duduk bersandar di dinding kamar mandi dengan tubuh bagian bawah bersimbah darah. Bahkan daster berwarna biru yang dikenakannya kini sudah berubah merah.

Tak mungkin terus diam, Zahra memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat makhluk kecil yang tergeletak di bawah kakinya. Basah dan licin adalah hal yang pertama kali Zahra rasakan saat tangannya bersentuhan dengan makhluk kecil bernyawa itu. Benda putih yang menjulur panjang di perut bayi itu juga cukup membuat Zahra merasa ngeri namun ia coba menahannya sekuat hati. Zahra meraih handuk di gantungan lalu membungkus bayi itu asal sebelum meletakkannya di ranjang.

Setelah satu masalahnya selesai, kini Zahra harus berpikir keras bagaimana cara memindahkan kakaknya dari kamar mandi. Dengan mengerahkan semua tenaga yang dimilikinya, Zahra berusaha mengangkat dan memapah tubuh Andin. Tak peduli dengan darah yang berceceran di lantai, yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana cara menyelamatkan kakaknya agar selamat.

Zahra membaringkan Andin tepat di samping bayi yang baru dilahirkannya. Ia menatap nanar kedua makhluk di hadapannya dan berharap semua ini hanya mimpi. Sesaat kemudian tubuhnya lunglai dan jatuh terduduk di lantai.

Zahra mengangkat kedua tangannya yang masih terasa lengket. Tubuhnya bergetar dan air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya luruh. Ia bisa saja berlari dan meminta tolong pada tetangga, namun hal itu enggan ia lakukan karena hal ini sungguh memalukan. Lagi pula jika hal ini diketahui khalayak ramai, tak menutup kemungkinan jika kakaknya akan berurusan dengan polisi dan berita ini akan cepat tersebar ke penjuru negeri.

Di tengah rasa takutnya, Zahra teringat seseorang yang mungkin bisa menolongnya.

“Mas David,” gumam Zahra.

Gadis itu segera beranjak untuk mencari ponsel milik Andin, ia akan menghubungi David—kekasih Andin yang mungkin bisa menolongnya. Lagi pula Zahra yakin jika David adalah Ayah dari bayi itu karena semenjak datang ke kota, ia hanya tahu jika lelaki itu saja yang dekat dengan kakaknya.

Zahra menyambar ponsel Andin yang tergeletak di atas meja. Dengan cepat ia segera mencari kontak kontak David dan segera meneleponnya. Namun belum sampai tersambung, gadis itu terperanjat saat sosok yang dicarinya sudah berdiri di ambang pintu.

“M-Mas David?”

“Za-Zahra?” lirih David saat melihat adik kekasihnya memandang kini memandang tajam ke arahnya.

“M-Mbak Andin, Mas!”

Ingin sekali Zahra memaki lelaki dihadapannya, melayangkan pukulan atau melemparinya dengan benda apa saja di kamar ini. Ia yakin jika lelaki itulah yang membuat kakaknya seperti ini. Namun lagi-lagi tubuhnya tak sejalan dengan pikirannya, yang ada Zahra kembali luruh ke lantai dan menangis sesenggukan.

“Kamu jahat, Mas! Kenapa kamu melakukan semua ini pada Mbak Andin?” racau Zahra.

David mengusap wajahnya kasar, ia telah terlambat menjemput Andin sehingga masalah yang sejak awal ia tutup rapat-rapat akhirnya diketahui oleh Zahra. Meski begitu, ia bersyukur karena Zahra belum memanggil orang dan rahasianya kemungkinan masih tetap terjaga.

David melangkah maju dan menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh Zahra. Dengan ragu lelaki itu meraih tubuh Sahra dan membawa ke pelukannya. Ia tahu gadis itu sangat ketakutan dengan kejadian yang baru saja dialaminya.

“Tenang saja, aku pasti tanggung jawab. Semua akan baik-baik saja,” bisik David.

Zahra berusaha mendorong tubuh David dan melepaskan diri. Ia tak sudi disentuh oleh lelaki yang telah menyakiti kakaknya.

“Sebenarnya kami tak ingin melibatkanmu, tapi berhubung kamu sudah tahu, mau tak mau kamu harus terlibat. Tolong jaga rahasia ini jika ingin semua berakhir baik-baik saja,” ucap David memperingatkan.

“Dasar lelaki jahat!”

“Kita bawa Kakakmu dan bayi ini ke rumah sakit, mereka harus selamat. Nanti aku ceritakan hal tentang Andin yang tak pernah kamu tahu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status