Share

KEPALANG BASAH

Dua jam berlalu, Zahra masih duduk bersandar di sebuah bangku ruang tunggu yang berderet di depan kamar rumah sakit. Di depannya lelaki bernama David terus mondar-mandir dan beberapa kali terlihat menelepon temannya untuk mengamankan kondisi di rumah. Untung saja, rumah yang ditempati Zahra dan Andin bukan rumah petak di perumahan padat penduduk, sehingga kejadian tadi tak terlalu mengundang rasa penasaran banyak orang. Terlebih lagi, para tetangga yang sebagian pekerja selama ini pun terkenal acuh dan tak terlalu sering mencampuri urusan orang lain.

“Kenapa kalian tak menikah saja? Kenapa sampai melahirkan?” tanya Zahra lirih.

“Andai saja Andin mau, aku sudah menikahinya sejak lama,” jawab David.

“Bohong!”

“Jika aku berbohong, aku tak akan berada di sini. Lebaran kemarin aku sudah memaksanya pulang dan kita menikah di sana tapi Andin menolak.”

Zahra kembali terdiam, jujur saja ia tak begitu mengenal David. Selama ia tinggal bersama Andin, hanya beberapa kali keduanya bertemu dan saling bicara. Sisanya mereka hanya berpapasan dan saling menyapa saat lelaki berperawakan tinggi yang selalu memakai topi itu datang menjemput atau mengantarkan Andin.

“Kenapa dia menolak?” Zahra merasa bingung.

“Dia ingin menikah resmi dan mengadakan pesta besar di sana, tapi aku tak bisa menuhinya.”

“Kenapa?”

“Aku punya istri.”

Zahra menghela nafas berat, entah mengapa zaman sekarang berhubungan dengan lelaki yang sudah beristri atau wanita yang telah bersuami tengah menjadi tren bagi para single. Padahal baginya hal itu sangat memalukan.

**

“Kenapa kamu menyelamatkanku? Harusnya kamu biarkan saja aku dan bayi itu m@ti, biar lelaki itu menyesal karena tak mau memperjuangkan kami!” cecar Andin sesaat setelah Zahra masuk ke dalam ruangan.

“Jangan seperti ini, Mbak, semua pasti ada jalan keluarnya.” Zahra berusaha menenangkan.

“Apa kata Ibu dan Bapak nanti kalo tahu aku melahirkan tapi tak punya suami?”

“Nanti kita pikirkan bersama, Mbak.”

“Lagian istri sakit-sakitan aja sok-sokan enggak mau ninggalin!”

Alasan David tak mau menikahi Andin secara resmi adalah kondisi istrinya yang sudah lima tahun mengidap penyakit mematikan. Ia tak tega meminta izin pada wanita itu meski nyatanya di belakang lelaki itu bermain api demi melampiaskan kebutuhannya serta rasa bosannya. Dasar lelaki pecundang!

**

“Stop, Mbak, stop!”

Zahra berteriak saat melihat Andin sedang membekapkan bantal pada anaknya. Dengan sigap ia mendorong tubuh sang kakak dan segera meraih bayi kecil yang sudah terlihat gelagapan.

“Kamu gila ya, Mbak? Dia anak kamu, Mbak, darah daging kamu!”

“Jangan sok jadi pahlawan kamu, ya!” ancam Andin berusaha merebut bayinya.

Tak ingin terjadi keributan, Zahra berlari ke dalam kamar yang lain dan mengunci dirinya. Semenjak keluar dari rumah sakit, kali ini terhitung sudah dua kali Andin berusaha menghabisi nyawa anaknya. Tubuhnya yang lemah dan jiwanya yang masih terguncang membuatnya cepat tersulut emosi jika mendengar tangis bayi itu.

Karena tak tega dengan kondisi kakaknya, Zahra terpaksa keluar dari tempat kerjanya. Hal itu juga di dukung oleh David yang tak selalu bisa memantau kondisi Andin. Zahra berharap keduanya bisa segera menemukan jalan keluar dan ia bisa melanjutkan hidup seperti sebelumnya.

Tiga bulan berlalu, kegiatan Zahra saat ini tak ubahnya bekerja sebagai pengasuh bayi. Kondisi Andin pun sudah berangsur pulih meski tak ada perubahan yang signifikan pada perilaku wanita itu pada anaknya.

[Aku sudah transfer untuk bulan ini]

Zahra membaca pesan yang dikirimkan David. Setiap bulan lelaki itu mengiriminya sejumlah u@ng untuk mencukupi kebutuhan mereka. Meski begitu belum ada kejelasan tentang hubungan David dengan Andin ke depannya.

“Buang saja bayi itu! Atau berikan saja pada yang membutuhkan.”

Itu adalah kata-kata yang selalu keluar dari mulut Andin setiap harinya. Tak mau terus membuat keributan, Zahra memilih diam dan pura-pura tak mendengar.

Sempat terbesit untuk menyerah namun David berulang kali memohon untuk bertahan. Dia berjanji jika kondisi istrinya sudah membaik, lelaki itu akan segera menikahi Andin dan menjelaskan tentang anak itu kepada orang tuanya. Lagi pula ia pun tak tega meninggalkan bayi itu karena bayangan tubuh lemahnya saat pertama kali ia temukan terus saja terngiang di kepalanya. Zahra akan merasa sangat berdosa jika terjadi apa-apa pada bayi itu.

“Aku sudah menjual bayi itu, jangan coba-coba menghalangi kalo nanti orang itu datang.”

“Kamu benar-benar sudah gila ya, Mbak!”

Semakin hari kondisi Andin semakin tak karuan, rasa bencinya pada bayi itu membuatnya mati rasa sehingga berusaha melakukan apa pun agar bayi itu segera enyah dari hidupnya. Berulang kali wanita itu membawa orang yang katanya ditawari untuk membeli bayi oleh Andin. Tak ada yang bisa mengendalikan sikap Andin kecuali David, namun sayangnya lelaki itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya dengan dalih jika istrinya sedang berobat keluar negeri.

“Zahra, buka pintunya! Itu anak aku, jadi terserah aku mau apain dia!”

Zahra berusaha menahan pintu kamar yang ditempatinya. Di luar ada sepasang suami istri yang memohon agar anak itu diberikan.

“Aku enggak akan memberikan anak ini, Mbak! Aku enggak mau kamu menyesal.”

Zahra mengakui jika dirinya memang bodoh, tapi entah mengapa hati nuraninya terus mengatakan jika ia harus mempertahankan bayi itu.

Tak mau terus hidup dalam rasa takut, Zahra memutuskan membawa bayi itu pulang kampung meski ia sadar akan risiko yang akan ditanggungnya. Ia pikir orang tuanya pun perlu tahu tentang nasib kakaknya. Zahra yakin jika ia tinggal di sana, Andin pasti tidak akan bisa berbuat macam-macam pada bayinya.

Tapi agaknya, Andin tak akan tinggal diam. Kini Zahra harus menghadapi sandiwara yang dibuat kakaknya sendiri? Sedangkan David yang ditunggunya pun tak kunjung datang. Ibarat sudah kepalang basah, sudah terlambat jika Zahra ingin menyerah. Yang harus ia lakukan saat ini adalah mengungkap kebenaran bayi itu meski harus mengorbankan hidupnya sendiri.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status