Share

KALUT

Suasana rumah Pak Sarip mendadak terasa horor. Di dalam rumah, empat orang yang tinggal di dalamnya semuanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Pak Sarip dan Bu Sumi yang duduk berdampingan di ruang tengah pun hanya membisu. Mereka bingung sekaligus tak habis pikir dengan kelakuan dua anak gadisnya.

“Jadi siapa yang benar, Pak? Bayi itu anak siapa?” Suara Bu Sumi terdengar bergetar.

“Entah, Bu. Bapak jadi pusing. Kenapa anak-anak kita jadi begini ya, Bu? Bukankah dulu semua baik-baik saja,” ujar Pak Sarip.

Di dalam kamar Zahra tengah sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menghela nafas saat panggilannya selalu di abaikan. Sesekali ia melirik pada bayi yang kini tengah terlelap di ranjangnya. Terbesit rasa menyesal karena bayi itu tak hanya merepotkannya namun juga telah memecah belah keluarganya.

Zahra merebahkan tubuhnya di samping Amora. Ia memejamkan mata berharap rasa lelahnya sedikit berkurang. Andai saja waktu bisa terulang kembali, ia tak ingin terlibat dalam masalah ini. Ia ingin menjalani kehidupan sebagaimana mestinya, bekerja dan menikmati masa mudanya. Namun semua sudah terlambat.

“Dipanggil Bapak, Ra,” panggil Bu Sumi dari luar kamar.

“Iya, Bu.” Zahra bangun, menarik nafas panjang lalu melangkah keluar.

Di ruang tengah Pak Sarip dan Andin telah menunggu. Mereka yang tadinya tengah mengobrol serius akhirnya terdiam saat Zahra datang dan duduk di hadapan mereka.

“Apa maksud kamu mengatakan kalo itu anakku, hah? Bukankah kamu sendiri yang bersikeras mau merawat anak itu? Kalo saja kamu mau menerima ideku dengan memberikannya pada pasangan yang mau mengadopsinya, tentu anak itu sudah bahagia dengan mereka sekarang!” ucap Andin.

Zahra tersenyum sinis, wanita yang dulu menjadi panutannya kini tak ubahnya tukang drama dengan wajah tanpa dosa.

“Kalo memang itu anak Zahra, apa kamu tahu siapa Ayahnya?” tanya Pak Sarip.

“Tanya saja sama Zahra. Yang aku tahu dia masih berhubungan dengan Zahra, Cuma dia pengecut enggak datang. Tapi setiap bulan lelaki itu yang menanggung hidup Zahra juga bayi itu.”

“Benar begitu, Ra?” Bu Sumi membuka suara.

“Itu benar, tapi bukan berarti aku yang melahirkannya. Aku hanya tak mau Ibu kandungnya menyesal karena menyia-nyiakan bayi tak berdosa itu!” jawab Zahra sembari melirik tajam pada Andin.

“Kamu masih menuduh aku yang melahirkan bayi itu, hah?” Andin berdiri dan mengacungkan telapak tangannya bersiap menampar Zahra.

Tak ingin terjadi keributan di antara kedua anaknya, akhirnya Bu Sumi pasang badan. Ia berdiri di antara kedua anaknya sembari menatap lekat dua gadis yang telah dilahirkannya bergantian.

“Cukup! Ibu enggak mau tahu itu anak siapa, entah kamu Zahra atau Andini semua bersalah. Yang Ibu mau sekarang adalah bawa laki-laki yang kalian bilang barusan. Kalo sampai lelaki itu tak datang dalam waktu satu minggu,silakan bawa bayi itu keluar dari rumah ini. Dia bukan cucu Ibu!”

Bu Sumi berusaha meredam getaran suaranya. Hatinya tak tega tapi ia harus tegas pada kedua anaknya.

“Kalo sampai minggu depan lelaki itu tak datang, silakan kamu bawa bayi itu pergi dari rumah ini. Terutama kamu Zahra, silakan bawa anakmu pergi, Bapak tidak sudi mengakuinya sebagai cucu!” timpal Pak Sarip.

Zahra hanya bisa menunduk, memang semua masalah ini berawal dari idenya untuk membawa pulang bayi itu. Atas nama rasa kemanusiaan, ia telah menghancurkan keharmonisan keluarganya sendiri serta memberikan rasa malu bagi orang tuanya.

Tak ingin berdebat, Zahra memilih meninggalkan ruang keluarga dan kembali ke dalam kamar. Ruangan berukuran tiga kalo empat meter dengan dinding berwarna merah jambu yang sudah sedikit pudar kini menjadi tempat favoritnya. Aroma minyak telon serta bedak bayi kini mendominasi kamar yang telah ia tempati sejak duduk dibangku sekolah dasar itu.

“Malang sekali nasibmu, Sayang. Setelah berniat membuangmu, menjualmu, Ibumu kini malah tak mau mengakuimu. Dan sayangnya, Ayah yang katanya ingin mempertahankanmu malah tak kunjung datang. Mereka sama-sama peng3cut!” gumam Zahra.

Dalam rasa kalutnya, Zahra kembali mengambil ponselnya. Ia ingin segera menghubungi lelaki yang telah membuatnya terpaksa masuk dalam masalah ini. Zahra mencari nama David dalam daftar kontaknya. Nama lelaki yang dibenci sekaligus ditunggu kedatangannya. Lelaki yang bisa menyelesaikan masalahnya dan menjelaskan tentang siapa Ibu dari Amora.

Dalam diam, Zahra mengetikan pesan panjang yang akan dikirimkan pada David. Sudah tiga hari lelaki itu tak bisa dihubungi dan itu sangat menyulitkannya. Ia pun memintanya untuk segera datang seperti keinginan orang tuanya. Meski ia sendiri tak tahu pesan itu akan terkirim atau tidak, paling tidak Zahra telah berusaha.

"Apa yang harus aku lakukan jika lelaki itu tak kunjung datang?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status