Share

Chapter 3

Chapter 3

Ares menatap Vanya beberapa detik kemudian pandangannya beralih kepada Tania seolah sedang bertanya. Tetapi, dia sama sekali tidak bersuara.

Tania seolah mengerti pertanyaan Ares. "Oh, dia... Vanya, putriku."

Tania memiliki anak perempuan? Alis Ares berkerut samar dan kembali menatap penampilan Vanya yang terlihat kacau dan sedikit kusam, mungkin karena musim panas dan telah berada di sekolah seharian.

"Jadi, Julio memiliki adik perempuan?" tanya Ares seraya melangkah mendekati Vanya lalu mengulurkan tangannya. "Kau bisa memanggilku Ares, kita bersaudara."

"Dia putra pertama Raul," imbuh Tania.

"Vanya," kata Vanya dengan nada datar dan ekspresi merengut dan tidak mengindahkan Ares yang mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

Tania mendengus dan menggelengkan kepala. "Jangan khawatir, dia sebenarnya anak yang manis. Hanya sedikit keras kepala," ucapnya kepada Ares lalu menatap Vanya. "Sayang, bersihkan tubuhmu dan tunggu Mama di kamarmu, kita harus melanjutkan pembicaraan."

Vanya mendengus dan menjauh dari Ares lalu berjalan melewati Tania tanpa mengatakan apa-apa kemudian mempercepat langkahnya menaiki anak tangga.

"Maafkan sikap Vanya," kata Tania kepada Ares.

Ares tersenyum dan melirik anggur di cawan yang dipegangnya. "Tidak apa-apa, usia remaja memang sedikit merepotkan dan kurasa kita dulu juga tidak berbeda dengannya."

"Ya. Kurasa kau benar," desah Tania.

"Dan jika boleh memberikan pendapat, kau mungkin terlalu keras padanya," kata Ares dan mencoba sangat berhati-hati dalam memilih ucapannya.

Tania memegang besi pembatas tangga. "Ya, kuakui. Tapi, aku melakukan ini agar dia tidak mengulangi kesalahan orang tuanya."

Ares menaikkan kedua alisnya. "Kau melahirkan Julio saat masih sangat muda, apa aku benar?"

"Ya. Dan aku tidak ingin Vanya mengulang kesalahan itu, menjadi ibu di usia muda, tanpa kesiapan mental dan finansial sangat buruk. Aku ingin Vanya dan Julio kelak memiliki pasangan dan anak di kala mereka benar-benar telah matang," ucap Tania dengan sungguh-sungguh.

Ares menyeringai di dalam benaknya. Senang sekali bisa menemukan salah satu kelemahan Tania tanpa repot-repot mencari tahu. "Aku setuju dengan pendatmu."

Tania mengibaskan tangannya di depan dagunya. "Ah, aku terlalu banyak bicara omong kosong. Aku akan memanggil ayahmu, mungkin dia sudah selesai mandi. Dan... kau akan makan malam di sini, 'kan?"

"Ya. Ada yang ingin aku bicarakan dengan kalian," kata Ares.

"Aku akan meminta pelayan menyiapkan makan malam kita. Sampai jumpa di meja makan," ujar Tania.

Ares memandangi Tania yang menuruni tangga kemudian pergi ke arah dapur. Ia lalu kembali ke ruangan penyimpanan koleksi anggur ayahnya yang berisi anggur-anggur pilihan seraya otaknya berpikir licik tentang Vanya sembari melangkah mengitari ruangan.

Memanfaatkan gadis itu untuk menghancurkan Tania sepertinya lebih menarik dibandingkan mengotori dirinya merayu Tania. Karena dapat dipastikan merayu Tania tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru mengingat Tania adalah wanita yang dewasa yang pastinya otaknya dipenuhi dengan logika.

Karakter Vanya terlihat polos yang pastinya akan lebih mudah dimasukinya, meskipun keras kepala dan pemberontak sepertinya masih bisa diatasi. Menilik dari sudut itu, Ares menebak jika karakter Vanya terbentuk akibat tumbuh di antara orang tua yang tidak harmonis.

Ares tersenyum senang karena tahu di mana harus harus menempatkan posisinya agar dengan mudah memanfaatkan Vanya untuk menghancurkan ibunya.

Kilatan licik terpancar di mata birunya, dirinya berani bertaruh jika dalam waktu tiga bulan, Tania dipastikan sudah menuai buah dari perbuatannya. Ares mengangkat cawan anggurnya kemudian menyesap isinya dengan perasaan yakin dan gembira.

"Kudengar ada yang ingin kau bicarakan denganku."

Suara itu membuat Ares berbalik dan mendapati ayahnya sedang menutup pintu. Ares meletakkan dawn kosongnya di atas meja dan mengangguk pelan.

"Sudah lama aku tidak ke sini, koleksi anggurmu semakin banyak saja," ucap Ares.

"Ya. Sebagian adalah koleksi milik Tania," sahut Raul.

"Jadi, istrimu juga mengoleksi anggur?"

Raul tersenyum dan matanya berkilat-kilat senang. "Dia mengetahui banyak tentang jenis anggur."

Ares ingin sekali mencekik Tania, menghabisi wanita yang menggeser posisi ibunya. Ia benci melihat ayahnya memuji wanita lain dengan mata berpendar-pendar seperti itu.

"Oh, ya?" tanya Ares berpura-pura terkesima.

"Orang tuanya memiliki toko anggur, itulah sebabnya dia memiliki banyak pengetahuan tentang anggur."

Kilatan sinis di mata Ares mungkin tidak disadari oleh Raul. "Wah, kedengarannya keren, di mana tokonya? Aku mungkin akan berkunjung nanti untuk membelinya."

"Kau bisa datang ke El Buen Vino."

Ares tersenyum. "Aku akan mengingat nama tokonya. Omong-omong, aku sedang merenovasi apartemenku. Jadi, untuk sementara bolehkah aku tinggal di sini sampai renovasinya selesai?"

Raul mengambil gelas dan meletakkannya di samping gelas milik Ares lalu mengambil sebotol anggur merah yang berusia lima puluh tahun dan menuangkan isinya ke dalam dua gelas. "Jadi, karena itu kau datang ke sini?"

"Sebenarnya aku ingin membicarakannya di meja makan karena bagaimanapun juga, aku harus meminta persetujuan istrimu."

"Kurasa dia baik-baik saja. Kau bisa tinggal di sini sesuka hatimu," kata Raul seraya mengangkat gelasnya diikuti Ares dan mereka bersulang.

"Tapi, bukankah lebih baik jika aku meminta persetujuan istrimu?"

"Ya, lakukan saja. Tapi, percayalah dia akan senang jika kau atau Xander tinggal di sini karena dengan begitu kalian bisa lebih mengenalnya dan Vanya," kata Raul.

Ares tersenyum dan berusaha menyembunyikan gurat amarah di senyumnya. "Ya. Dia cukup manis kelihatannya."

"Kalian sudah bertemu?"

"Ya. Tadi kami berkenalan."

"Dia manis seperti ibunya, dan pastinya akan menjadi anak perempuanku satu-satunya yang kumanjakan. Sayangnya dia belum terlalu menyukaiku," gumam Raul.

"Belikan semua yang disukai wanita, pastinya dia akan dengan cepat menyukaimu," ujar Ares dengan nada sinis yang nyaris tidak kentara.

Raul menggoyangkan cawan berisi anggur di tangannya. "Bahkan mobil sport yang kubelikan untuknya sama sekali belum pernah disentuh."

***

Vanya tidak menghiraukan Tania yang berjalan mendekati tempat tidur di mana dia sedang duduk bersila di atasnya sembari menonton acara televisi. Gadis itu bersikap seolah-olah kehadiran ibunya tidak pernah ada di kamarnya.

Tania duduk di tepi tempat tidur dan dengan lembut mengambil remote televisi yang dipegang Vanya lalu mengurangi volume suara televisi.

"Sayang, maafkan sikapku tadi. Aku hanya khawatir karena saat menjemputmu di sekolah, kau tidak di sana dan kau juga tidak menjawab telepon," kata Tania. Nadanya sangat lembut.

"Akan ada lomba renang. Jadi, aku berlatih seharian bersama teman-teman dari club," kata Vanya yang tentunya hanya kebohongan belaka.

"Teman pria?"

"Memangnya aku punya teman perempuan?"

Tania menghela napasnya. "Bisakah kau bergaul dengan teman-teman perempuanmu di sekolah?"

"Mereka tidak menyukaiku," sahut Vanya dengan ketus.

Faktanya ketika tahun pertama di sekolah menengah atas, Vanya adalah ketua geng yang sekarang menjadi musuhnya. Pertemanan itu mulai goyah dan berubah menjadi permusuhan. Bermula di tahun ke tiga ibunya tertangkap kamera oleh paparazi sedang berciuman dengan Raul, Vanya kemudian menjadi bahan olok-olokan temannya, mereka menyindir Vanya hingga membuat gadis itu merasa gerah.

Bagi Vanya, kehilangan teman-temannya adalah kesalahan ibunya karena jika ibunya tidak menjadi orang ke tiga dalam rumah tangga keluarga Torrado, dirinya tidak perlu dikucilkan oleh teman-temannya.

"Andai kau tidak menjadi perusak rumah tangga keluarga ini, kau tidak seharusnya kehilangan teman-temanku," lanjut Vanya.

Tania menghela napasnya dengan pelan. "Baiklah. Dengan siapa pun tidak masalah asal kau bisa menjaga dirimu dan lain kali, beritahu aku di mana kau dan jawab teleponku agar aku tidak terlalu menghawatirkanmu."

"Ma, aku sudah dewasa. Kau tidak perlu menjagaku seperti aku seorang bayi."

Tania mengusap-usap rambut di kepala Vanya. "Sayang...."

Vanya mendengus dan menepis tangan Tania dari atas kepalanya. "Aku butuh istirahat, tinggalkan aku sendiri!"

Tania terlihat menata kesabarannya. "Vanya, bisakah kita bicara baik-baik? Aku tidak ingin terus-terusan bertengkar denganmu."

"Apa kau tidak mendengar kalau aku perlu istirahat?" bentak Vanya.

"Turunlah untuk makan malam, kakak tirimu akan makan malam di sini dan bersikaplah yang sopan. Kumohon," ucap Tania dengan nada sangat hati-hati.

"Aku akan menyusul," ucap Vanya dan menatap ibunya dengan tatapan permusuhan.

Kemudian setelah ibunya keluar, Vanya menarik selimutnya dan meringkuk di dalamnya. Bahkan ketika pelayan mengantarkan makan malamnya, gadis itu tidak bergeming. Ia lebih memilih bermain game dan setelah satu jam kemudian Dario menelepon.

"Aku dan anak-anak club renang akan pergi ke pesta, apa kau mau ikut?" kata Dario.

Vanya bertelanjang dan menatap langit-langit kamar. "Di mana?"

"Di mansion milik ayah Wilson. Bagaimana?"

Vanya berpikir sejenak. "Aku harus menunggu ibuku tidur terlebih dahulu."

"Baiklah. Kabari aku dan akan kujemput seperti biasa."

Lalu Vanya kembali bermain game dan pukul dua belas gadis itu turun dari tempat tidur, mengganti pakaiannya dengan gaun pesta dan mengenakan jaket untuk menutupi gaunnya. Ia mengambil sepasang sepatu tinggi, tetapi tidak mengenakannya dan memilih menentengnya di tangan seraya berjalan mengendap-endap menuju pintu.

Vanya celingak-celinguk untuk memastikan jika tidak satu pun orang melihatnya kemudian memasukkan kode akses pintu, tetapi belum selesai memasukkan kode, tangannya dicengkeramnya dengan lembut oleh seorang.

"Ini jam dua belas, Vanya."

Vanya menoleh dan alisnya berkerut cukup dalam. "Kenapa kau masih di sini?"

"Mulai sekarang aku tinggal di sini," kata Ares.

"Oh, bagus. Tapi, kumohon jangan mencampuri urusanku." Vanya membebaskan pergelangan tangannya dari Ares.

Kemudian Vanya kembali memasukkan kode akses pintu, tetapi Ares kembali menahan tangan Vanya.

"Kembali ke kamar," kata Ares dengan nada memerintah.

Berita buruk. Setelah ibunya, sekarang ada satu monster yang mengawasinya. Vanya melotot menatap Ares. "Kau tidak berhak mengaturku."

Ares mengedikkan bahunya. "Kembali ke kamar dan tidur atau kuberitahu Tania kalau...." Ia menelaah penampilan Vanya dan tersenyum miring. "Kau pasti sering melakukan ini."

Vanya menarik tangannya dari genggaman Ares dengan kasar. "Awas saja kau!"

Bersambung....

Jangan lupa untuk tinggalkan komentar dan Rate.

Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis.

🍒♥️☺️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status