Share

BAB 2 : Darah Kedua

Di perempatan jalan. Rizel menghentikan mobilnya. Dia menunda tujuannya ke departemen kepolisian, pergi ke arah kiri menuju tempat dimana peristiwa pembunuhan sang walikota itu terjadi. Dalam benaknya masih tersimpan banyak tanda tanya.

"Pembunuh tanpa meninggalkan jejak? sangat mustahil" Rizel bergumam.

Di TKP, 4 orang polisi tengah berjaga. Rizel ijin kepada penjaga apartemen. Lantai 3, ruang kamar nomor 21. Tempat kejadian pembunuhan walikota, George Hampton. Darah yang tercecer telah mulai mengering. Sofa berwarna putih, tempat dimana George Hampton telah terbunuh.

Rizel menyelidiki tetesan darah yang menetes di lantai, menelusuri hingga darah terakhir yang terlihat berada di sisi jendela. Membukanya, lalu kepalanya menonggak ke lantai atas dan melihat ke bawah.

"Rupanya dia melarikan diri melalui jendela" Rizel menemukan noda bekas darah di dinding lantai bawah.

Polisi berpangkat komisaris itu pergi ke lantai bawah. Meninggalkan TKP dan berjalan kaki, menuju jendela yang menghadap timur, dimana noda darah terakhir terlihat disana. Rizel memasuki satu jalan yang sempit. Dinding pembatas antara apartemen dan perumahan warga.

"Sial, disini gelap sekali" Rizel mengeluarkan ponsel dan menyalakan senter.

Di setiap penjuru, Rizel menyinari ruang sempit itu dengan senter dari ponselnya. Kotor dan penuh dengan debu. Cukup lama, Rizel telah menyelediki. Tidak ada jejak, tidak ada satupun petunjuk yang bisa di temukan. Sang komisaris terdiam, berpikir sejenak.

"Sepertinya pembunuh brengsek itu berhasil mengecoh!" Rizel berlari menuju atap dari gedung apartemen.

Di atap, Rizel melangkah cepat. Memeriksa pagar besi, dari ujung ke ujung.Tidak lepas, sorot mata Rizel memperhatikan lantai atap apartemen. Tidak ada tetesan darah yang tertinggal.

"Cerdik, dia mengacaukan jejaknya sendiri!" Rizel menarik nafas.

Kembali ke kantor, Rizel menceritakan penyelidikan-nya di TKP kepada dua rekannya, Claudia dan Steiner yang berakhir nihil. jam 12 malam, Rizel duduk di kursi dan berpikir, juga membaca satu persatu laporan penyelidikan. Steiner tertidur di sofa, Claudia berpamitan.

"Maaf Pak, sebaiknya aku pulang dulu, tubuhku pegal-pegal dan rasanya mataku sudah terasa sangat berat" Ijin Claudia.

"Tidur saja di kantor, ini sudah tengah malam, berbahaya jika mengemudi dalam keadaan mengantuk"

"Tidak apa-apa Pak, lagi pula rumahku tidak terlalu jauh"

"Yakin?"

"Yakin Pak"

"Silahkan kalau ingin pulang, hati-hati di jalan"

"Terima kasih sudah mengijinkan Pak, selamat malam" Pamit Claudia.

"Siapa itu?" Spontan, Steiner terbangun mendengar Claudia menutup pintu.

"Maaf Pak Komisaris, aku... aku ketiduran" Steiner duduk dan menatap Rizel dengan cemas.

"Tenang saja, lanjutkan tidur, persiapkan tenaga mu untuk besok hari "

"Tapi Pak Komisaris...."

"Tidak ada tapi-tapian, tidur saja"

"Si...siap laksanakan Pak Komisaris, aku tidur dulu" Steiner menarik selimut.

Membuka tirai jendela. Rizel termenung, melihat jalan raya. Pikirannya, masih berfokus kepada kasus pembunuhan George Hampton. Minimnya petunjuk yang merajuk kepada sang pembunuh, membuatnya berpikir keras lebih dari kasus sebelumnya.

Pagi menjelang siang. Rizel tertidur di kursi, dengan badan setengah telungkup di atas meja kantor. Ponselnya berdering, Steiner membangunkan Rizel dengan perlahan.

"Pak bangun pak, ada telpon dari Pak Brigjen"

"Apa... Apa? ada apa?" Rizel terbangun dalam keadaan setengah sadar dan melantur

"Itu Pak komisaris, ada telpon dari Pak Brigjen" Steiner menunjuk ponsel Rizel yang tergeletak di atas meja.

Rizel bergegas mengangkat panggilan di ponselnya "Se... selamat siang Pak Brigjen Andara"

"Kamu baru bangun ya? jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri Rizel"

"Ini... ini sudah menjadi tugasku Pak Andara" Rizel mengedipkan matanya, mengusir kantuk yang masih terasa.

"Bagaimana, sudah ada petunjuk untuk menemukan pelakunya?"

"Maaf Pak, kami masih berusaha"

"Oh baiklah, aku tau ini bukan kasus yang mudah, tapi aku percaya kamu bisa menyelesaikannya dengan baik"

"Terima kasih Pak Brigjen sudah mempercayakan kasus ini, semoga tim kami bisa segera meringkus pelakunya"

"Bagus, aku suka dengan sikapmu yang selalu optimis. Tapi jangan lupa, luangkan waktu untuk beristirahat dan waktu untuk keluarga"

"Siap Pak Brigjen laksanakan" Jawab Rizel.

Panggilan telepon itu berakhir. Rizel pergi ke toilet. Membasuh wajahnya di wastafel. Di cafetaria, Rizel memesan segelas kopi hitam dan sekotak sandwich sebagai sarapannya. Seteguk, dua teguk kopi. Membuka bungkus sandwich dan menyantapnya.

"Pak Rizel, maaf mengganggu" Claudia datang menyapa.

"Oh kamu, ada apa?"

"Ada laporan dari saksi baru Pak, tentang ciri-ciri pelaku yang membunuh Pak walikota"

"Bagaimana katanya?" Rizel melanjutkan memakan roti sandwichnya.

"Dia memakai jubah berwarna hitam dan sarung tangan dengan warna yang sama, mengenakan topeng putih, kalau tidak salah bibir nya senyum menyeringai, dan bagian matanya seperti sayatan"

"Terus dimana saksi itu melihat pelaku?"

"Menurut penuturan saksi yang berada di lantai 4, saat akan pergi ke lantai 3 untuk menemui temannya, sosok bertopeng itu berdiri tegak di depan pintu apartemen Pak walikota dengan membawa sebilah pisau berlumuran darah"

"Berdiri tegak?"

"Iya Pak, berdiri tegak, karena takut saksi pun yang baru saja keluar dari pintu lift, masuk dan kembali ke lantai 4"

"Lalu kenapa saksi tersebut, baru memberikan laporannya?" Rizel menghentikan makannya.

"Dia ketakutan dan trauma saat mengetahui bahwa di sana ada pembunuhan walikota, dan setelah di tes alat pendeteksi kebohongan, saksi tersebut jujur tidak berbohong Pak"

"Lalu, apa menurut kesimpulan kamu Claudia?"

"Kemungkinan Pelaku melarikan diri lewat pintu utama, lalu memakai tangga darurat atau lift" Jawab Claudia. Rizel hanya terdiam, berpikir sejenak.

"Salah, dia tidak lewat pintu utama apalagi melarikan diri dengan lift atau tangga darurat" Ungkap Rizel.

"Lantas pelaku masuk dan melarikan diri lewat mana Pak?"

"Pelaku masuk dan melarikan diri kemungkinan lewat jendela, dan dengan sengaja menunjukan dirinya, menunggu saksi untuk di ceritakan kepada polisi"

"Kok bisa Pak? dan apa tujuannya?"

"Di lantai 3, tidak ada CCTV yang langsung menyorot ke arah ruangan apartemen dari mendiang Pak walikota, perlakuan khusus sebagai seorang pejabat selalu bisa di gunakan, di manapun berada, termasuk meminta kepada pemilik apartemen untuk mencabut CCTV yang mengarah ke ruangan pribadinya, lagipula CCTV di lift dan lantai 1 tidak ada pelaku dengan ciri-ciri tersebut yang terekam kamera"

"Dan untuk apa pelaku memperlihatkan dirinya?"

"Dia menantang polisi untuk menemukannya"

"Tapi kalau lewat jendela, lebih sulit untuk masuk logika Pak" Claudia menggaruk kepalanya.

"Masuk logika, jika kita menemukan bagaimana caranya, terima kasih atas laporannya"

Rizel pamit kepada Claudia untuk pulang, mandi dan berganti pakaian. Fokus menyetir mobil dan berpikir mengenai ciri-ciri pelaku yang di sampaikan oleh Claudia. Bertopeng dan berjubah hitam.

****

Villa mewah, Julio Arham. Pejabat bea cukai itu datang, memakirkam mobil mewah nya di garasi luas nan estetik. Julio keluar dari mobil, bersama wanita cantik dan belia. Di sambut dua orang ajudannya di depan pintu rumah. Julio dan wanita cantik itu duduk di sofa mewah, berpadu mesra bak sepasang kekasih yang saling jatuh cinta.

"Sayang, ambilkan botol Champagne itu, kita minum bersama" Perintah Julio yang di sambut manja oleh wanitanya.

"Baik sayang, tunggu ya, akan aku ambilkan" Wanita itu menyentuh lembut dagu julio.

Tutup botol Champagne telah terbuka. Menuangkan-nya ke dalam gelas yang indah. Julio meminum tegukan pertama dan di lanjutkan oleh selir cantiknya. Satu gelas telah habis, giliran Julio menuangkan Champagne ke dalam gelas serta berpeluk mesra, menikmati setiap tegukan-nya bersama. Drama cinta itu tidak berlangsung lama.

Terrdengar, seseorang tengah bertepuk tangan. Julio dan wanita itu terkejut, serta melihat ke arah tangga yang berada di tengah ruangan. Sosok bertopeng dan berjubah hitam. Asmodeus, berjalan pelan menuruni anak tangga. Terus menerus bertepuk tangan, seolah memberikan selamat.

"Hey! siapa kamu?" Julio berteriak.

"Saya adalah hakim yang di utus dari neraka" Asmodeus berhenti bertepuk tangan.

"Jangan bercanda kamu ya! kamu tau siapa saya?" Bentak Julio.

"Anda seorang pejabat dengan harga diri yang tidak lebih tinggi dari seekor anjing penyakitan" Asmodeus terus melangkah dan mendekati Julio.

"Jangan mendekat! atau aku bunuh kamu!"

"Sayang, sayang aku takut!" Wanita itu mengadu.

"Tenang saja akan aku panggil ajudan untuk menghabisi orang ini, kamu lari saja terus sembunyi" Jawab Julio. Sang wanita berlari, ketakutan.

"Ajudan Anda tengah tertidur lelap, larut dalam mimpi indah mereka"

"Ajudan!!! Tolomg!!! Hey Ajudan!!!" Julio berteriak.

"Bagaimana jika kita meminum Champagne ini bersama-sama?" Asmodeus mengambil botol Champagne, duduk di sofa yang berhadapan dengan Julio.

"Tu...tunggu! siapa... siapa yang membayar mu untuk membunuhku? aku bayar berkali-kali lipat asalkan kamu pergi dari sini"

"Hahahahaha" Asmodeus tertawa mengerikan.

"Saya akan pergi... saya akan pergi setelah puas menghabisi orang seperti Anda" Lanjut Asmodeus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status