Share

» Getaran dan Rasa «

—[Allium Sativum POV]—

Hari ini gue shift malam, jadi gue bisa nyantai dulu di rumah sambil nonton tv. Gue melirik ke arah Nia dan Ucup yang sedang bermain dengan Shila—keponakan Ucup.

Gue mematikan tv karena acara gosip yang dibahas masih tentang gue dan cewek gila bernama Miska, bisa-bisanya berita itu bisa trending di mana-mana.

"Minum dulu, Bang." Bunda memberikan segelas es jeruk buat gue. Bunda gue memang yang terbaik, padahal gue udah gede tapi selalu memperlakukan gue seperti anak masih kecil.

"Makasih, Bund."

Bunda lalu duduk di samping gue sembari memijit-mijit bahu gue dengan pelan.

"Gimana kerjaan Abang?"

"Besok ada jadwal operasi, Bund. Do'ain aja semoga lancar."

Bunda mengamiinkan sambil menganggukkan kepala, masih memijit bahu gue dengan telaten.

"Bang Alli! Bang Alli!" Ucup teriak kencang sampai membuat indera pendengaran gue bisa pecah.

"Dicariin sama kakak ipar," kata Ucup setelah berdiri di depan gue.

Gue tau ucapan Ucup lagi ngaco jadi gue diemin aja. Lagian sejak kapan gue nikah dan Ucup punya Kakak Ipar.

"Kakak Ipar apa sih, Cup?" Itu bukan gue yang tanya, tapi Bunda.

"Itu pemeran Janji Hati, Bun. Ada di depan rumah nyariin Bang Alli." 

Bunda langsung menarik tangan gue dan menarik ke depan untuk menemui wanita gila itu. Yang gue bingung, bagaimana dia bisa tau rumah gue? Memang nyeremin nih, cewek gila.

"Selamat pagi, Tante." Miska mencium tangan Bunda.

"Pagi." Bunda mengusap rambut Miska dan menyuruh Miska untuk duduk di sofa. "Ini yang namanya Miska, 'kan? Ternyata lebih cantik aslinya daripada di TV. Tante tuh setiap hari nonton sinetron Janji Hati loh, akting kamu bagus banget. Tante fans berat sama kamu."

Gue mengerutkan kening, sejak kapan Bunda suka nontonin sinetron? Bukannya Bunda kemarin-kemarin bilang kalau sinetron Janji Hati tuh nggak bagus karena pemeran utamanya nangis terus? Baru tau kalau Bunda bisa bohong.

"Sini-sini duduk, Sayang. Tante mau ambilin minum sebentar, ya."

Miska mulai senyam-senyum menjijikan seperti biasa, gue semakin pengin menyentil wajahnya dengan karet gelang. Awas saja kalau dia ngomong aneh-aneh sama Bunda.

"Kak Miska, Ucup boleh minta tanda tangan dan foto bareng nggak?"

Ucup mulai terlihat noraknya di depan calon istri gue.

"Boleh dong." Miska mengambil ponsel yang dipegang Ucup lalu menyerahkan ke gue.

"Fotoin," kata Miska, kurang ajar.

Padahal pekerjaan gue itu dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular, bukan tukang foto. Untung gue baik hati, tampan dan suka menabung. Jadi, gue nurut.

Gue lalu memotret dua manusia yang mempunyai otak tidak waras. Lihat saja dari gaya fotonya yang sangat aneh jika dari sudut pandang manusia normal, si Ucup bergaya seperti ikan lele dan si Miska seperti kepiting. Aneh.

"Makasih, Kak Miska. Ucup mau pamer ke anggota Tohpati di grup." 

Ucup langsung merebut ponselnya yang masih gue pegang dan berlari ke arah Nia dengan cepat. Memang nggak sopan, nggak ada kata makasih atau apa pun. Durhaka.

"Om Alli bohongin aku, ya? Ternyata Om Alli belum menikah."

Gue duduk di depan Miska lalu menganggukkan kepala.

"Aku bilang gitu ke kamu supaya kamu berhenti menganggap kalau aku ini calon suami kamu."

"Tapi, aku maunya nikah sama Om Alli bukan yang lain, lagian bagus lah Om Alli jomblo jadi semakin besar peluang kita buat nikah." Miska tersenyum lebar.

Gue semakin nggak paham dengan keberadaan otak Miska, sebenarnya dia memang mempunyai otak atau tidak? Harusnya 'kan dia marah karena gue udah bohongin dia, tapi kenapa sekarang dia malah keliatan bahagia sekali. Memang ada yang putus di saraf otak Miska sepertinya.

"Maaf, ya, lama." Bunda membawakan minuman dan berbagai macam cemilan untuk Miska.

"Maaf loh, Tan. Jadi ngrepotin."

"Nggak papa, kamu kan bakal jadi menantu di rumah ini." Bunda tidak berkedip menatap Miska, sepertinya Bunda menyukai Miska, wah gawat kalau begini, "sejak kapan kalian kenal?"

"Sejak lama banget, Tan. Bisa dibilang anak tante itu cinta pertamaku." 

Gue bener-bener nggak ngerti kenapa Miska bohong, padahal kita aja baru ketemu kemarin, bisa-bisanya dia bilang udah kenal lama.

"Terus, rencana menikah kapan?"

"Bund-" Ucapan gue terhenti ketika Bunda melototkan matanya ke gue menyuruh gue untuk diam.

"Kita menikah tiga bulan lagi," kata Miska yang hampir membuat gue tersedak saliva sendiri. Otak Miska bener-bener perlu direvisi ulang deh.

"Wah, Bunda nggak sabar nimang cucu." Bunda terlihat bahagia dan gue hanya bisa pasrah.

Gue nggak tau kenapa Miska dan Bunda bisa membicarakan pernikahan secepat ini, padahal gue aja masih belum bisa menerima kenyataan kalau Nadia sudah punya pacar. Gue masih dikelilingi rasa ragu ketika harus menikah dengan orang yang sama sekali nggak pernah gue cinta.

Demi apa pun, ternyata ekspektasi gue selama ini bisa menikah dengan Nadia, hidup bahagia bersama Nadia itu akan musnah dalam sekejap. 

"Miska udah kenalan sama Nia?" tanya Bunda sambil menunjuk Nia.

"Oh, sudah kok, Tante, tadi sebelum ketemu sama Tante."

Miska menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Tan, kayaknya aku harus pergi sekarang karena masih ada jadwal shooting. Kalau ada waktu, aku usahain ke sini lagi."

Miska meminum minuman yang dibuatkan oleh Bunda, mungkin untuk menghargai Bunda, walaupun gue tau kalau sebenarnya Miska tidak haus.

"Wah miumannya enak banget, Tan. Boleh aku bawa ke tempat kerja."

Bunda tersenyum senang.

"Tentu aja," jawab Bunda bergegas mengambil botol lalu menuangkan jus ke dalam botol.

Miska memang cewek paling gila yang pernah gue tau. Bisa-bisanya ada cewek seperti Miska. Sangat berbanding terbalik dengan kelakuan dia di sinetron yang sangat sopan. Karena, di dunia nyata sosok Miska sama sekali tidak punya sopan santun.

"Abang, ayo anterin Miska ke tempat shooting."

Gue mendesah pelan, sangat merepotkan. Kalau Nadia yang gue antar, tanpa disuruh pun gue bakal langsung mengantar Nadia pulang, tapi kalau untuk Miska. Sungguh, rasa malas langsung melahap jiwa gue.

"Eh, tidak usah, Tan. Aku tadi naik mobil sama sopir aku. Lagian sopirnya masih ada di depan." Miska melirik ke arah gue. Sepertinya Miska tau kalau gue memang nggak mau mengantar dia.

Miska bangkit dari tempat duduk lalu mencium tangan Bunda dengan lembut, baru kemudian ke arah gue dan mencium tangan gue.

"Aku pulang dulu, ya."

Senyum Miska mengembang, dia mengedipkan sebelah matanya lalu melangkah pergi sementara gue masih terpaku di tempat. Demi apa pun, ada getaran yang aneh saat Miska mencium tangan gue.

—Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status