Share

» Nadia Oleyasta «

● Happy Reading ●

—[Allium Sativum POV]—

"Selamat sore Calon Kakak Ipar yang gantengnya di bawah gue."

Gue menoleh sekilas ke arah manusia yang baru aja panggil gue dengan sebutan Calon Kakak Ipar. Yap, that right. Cowok yang sangat menggilai ikan lele itu namanya Ucup–bukan nama sebenarnya, tapi panggil aja Ucup biar nggak ribet–pacar adik gue.

"Bang, lo kapan nikah sih? Gue juga pengin buru-buru nikah sama Nia," ujarnya tanpa berhenti nyemilin keripik kentang yang ada di toples.

Gue tendang kakinya yang dengan enaknya selonjoran di meja, nggak sopan banget ini jadi Calon Adik Ipar. Kalau bukan karena sayang Nia, gue ogah punya adik ipar macam si Ucup.

"Ngebet banget lo pengin nikah sama adik gue?" tanya gue sembari melipat tangan di depan dada.

"Yoi dong, Ucup 'kan sayang Nia banyak-banyak dan nggak pakai boong." Ucup mencoba meyakinkan gue.

Nia emang belum mau nikah, katanya nggak pengin langkahin gue. Padahal gue fine-fine aja kalaupun harus Nia dan Ucup dulu yang nikah. Gimanapun Ucup udah berjuang keras buat bisa jadi menantu idamannya Ayah. Terbukti dari cowok yang doyan tawuran pas SMA, sekarang malah jadi anggota kepolisian. Dulu bawa gir tiap tawuran, sekarang bawa pistol ke mana-mana. Apa nggak keren tuh calon adik ipar gue.

Kenapa gue jadi banggain ini makhluk.

"Bang, gue pengin nikah ...." Ucup mulai merengek lagi kayak bayi belum diberi ASI.

"Ya tinggal nikah, daftar di KUA. Kenapa minta ke gue, gue 'kan bukan penghulu," ujar gue lalu ketawa.

"Tapi gue sama Nia nggak bakal nikah kalau lo belum nikah. Lagian lo kenapa sama Mbak Nadia itu nggak nikah aja, bukannya lo cinta banget ya sama Mbak Nadia, oh iya lupa, Mbak Nadia-nya yang nggak cinta lo, hahaha."

"Yang sopan Anda kepada saya. Nanti saya nggak restuin sama adik saya baru tau rasa!" ujar gue ketus.

"Jangan dong." Ucup mulai mengiba.

Handphone gue tiba-tiba berdering dan gue langsung buru-buru angkat saat melihat nama panggilan yang masuk. Siapa lagi kalau bukan Nadia, istri masa depan gue.

"Halo?"

Mendengar suara Nadia dari ujung sana membuat suasana hati gue membaik seketika.

"Iya, Nad," jawab gue selembut mungkin.

"Iya, Nad." Ucup mengikuti gaya bicara gue sambil pura-pura telepon. Gue langsung melempar bantal ke wajahnya yang emang nyebelin itu.

"Alli, kamu dengerin aku ngomong, 'kan?"

"Eh ... kenapa, Nad? Sorry, suara kamu tadi ilang."

Nadia menghela napasnya pelan. Suara napasnya aja bikin gue jatuh cinta.

"Hari ini kamu nggak ada jadwal operasi, 'kan?" tanyanya.

Gue mengangguk padahal Nadia juga nggak liat.

"Hari ini aku free, kenapa?"

"Kangen."

Gue tersenyum mendengar kata itu keluar dari mulut Nadia.

"Mau jalan?" tanya gue.

"Mau, tapi aku belum mandi."

"Ya udah sana mandi dulu," ujar gue sembari menatap Ucup yang sekarang lagi ngitung isi dompet. Gue yakin dia pasti habis gajian.

"Nanti lama. Belum dandannya."

"Nggak usah dandan," kata gue.

"Nggak mau, nanti aku jelek. Kamu emang nggak malu jalan sama orang jelek?" tanyanya yang malah bikin gue makin gemes sama Nadia.

"Nggak penting mau kamu cantik apa jelek. Percuma juga 'kan kamu cantik tapi bukan punya aku. Eh ... sana buruan mandi, aku on the way."

Gue lalu mematikan ponsel dan mengambil kunci mobil menuju ke rumah Nadia yang memang lumayan jauh dari rumah gue.

"Bang, mau ke mana?"

Nia–adik gue yang cantik itu berjalan menuruni tangga sambil menguncir rambutnya secara asal. Memang nggak ada manis-manisnya itu anak, padahal ada Ucup–pacarnya yang sedang duduk.

"Ketemu Nadia," jawab gue cepat.

"Gue doain sukses, Bang."

Gue ngangguk lalu keluar dari  rumah menuju mobil berwarna hitam kesayangan gue.

Jalanan ibu kota saat sore seperti ini emang nggak terlalu padat, nggak kayak pagi yang harus siap macet-macetan. Bahkan gue kalau ke rumah sakit harus dua jam lebih awal biar bisa nyampe tepat waktu.

Sekarang gue bakal kenalin kalian sama Nadia Oleyasta, sahabat gue sejak enam tahun lalu, kami bertemu di universitas yang sama. Sudah lama gue jatuh cinta dengan Nadia, gue juga yakin kalau Nadia tau tentang perasaan gue, tapi dia selalu mencoba–biasa aja seolah nggak mau memberi gue kesempatan untuk masuk menjadi bagian dari hatinya.

Jujur aja, gue nggak pernah memaksa agar Nadia juga mencintai gue. Tapi seenggaknya sebelum janur kuning melengkung, Nadia masih bukan milik siapa-siapa dan gue masih berhak mendekatinya.

Gue memarkirkan mobil di depan rumah Nadia, lalu menyalakan tlakson sebagai tanda jika gue udah sampai.

Nggak berapa lama kemudian Nadia datang. Seperti biasa dia selalu tampak cantik di mata gue. Bahkan kalau ada Nadia dan Luna Maya, gue bakal tetap memilih Nadia. Yaiyalah, Nadia aja nggak mau nerima cinta gue apalagi Mbak Luna Maya. Miris banget hidup gue.

"Sorry, kamu jadi nunggu lama," ucapnya merasa bersalah.

"Nunggu kamu peka sama perasaan aku selama lima tahun ini aja aku sanggup. Apalagi kalau nunggu segini doang," jawab gue jujur.

"Allium Sativum, jangan mulai deh."

Ya, nama gue Allium Sativum yang berarti bawang putih. Gue sampai sekarang masih belum tau kenapa orangtua gue memberi nama itu.

Gue tertawa keras.

"Sekarang kita mau ke mana?" tanya gue.

"Nyari makan yuk, aku laper."

"Siap Bosque."

Demi apa pun, gue cinta banget sama gadis ini, gadis yang sekarang duduk di sebelah gue.

— Bersambung —

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status