Share

» Gosip dan Miska «

—[Allium Sativum POV]—

"Cie ... Calon Pengantin, kusut amat tuh wajah kayak taplak meja belum disetrika."

Gue langsung melotot mendengar ucapan Leo. Baru sampai ke kantin udah kena ejekan aja gue.

"Tega lu, Sob. Nggak kasih tau kita kalau pacaran sama pemain sinetron Janji Hati, gue suka banget itu sinetron padahal." Kini Abiyan yang memberi komentar.

Gue menghembuskan napas. Berita tentang pernikahan gue sudah beredar ke mana-mana, padahal gue aja nggak kenal sama sosok manusia yang ngaku-ngaku jadi calon istri gue itu.

"Bagaimana perasaan Anda setelah berita ini viral?" tanya Abiyan sambil menodongkan botol minuman ke arah mulut gueseolah dia adalah wartawan.

"Sudah berapa lama Anda melakukan backstreet?" Leo melakukan hal yang sama seperti Abiyan.

Lalu mereka tertawa seolah kehidupan gue lucu. Memang laknat sekali teman-teman gue ini.

"Bacot, ya, kalian!" sambar gue.

Abiyan dan Leo malah semakin tertawa keras. Padahal gue yakin kalau gue nggak lagi ngelawak.

"Mas Alli galak, Dede Abiyan jadi takut." Abiyan meledek.

"Calon pengantin nggak boleh marah-marah. Pamali. Nanti istrinya diambil Abiyan." Leo menyenggol lengan Abiyan.

"Nah bener, lagian gue joms kok. Dengan senang hati mau menerima Mbak Miska," kata Abiyan.

Gue nggak peduli dengan ocehan Abiyan dan Leo, gue berusaha tetep menikmati makanan yang ada di depan gue. 

"Eh ... lalu gimana sama Nadia? Bukannya lo cinta semati-matinya sama sahabat lo itu?" tanya Abiyan.

Seketika gue menghentikan kunyahan makanan yang ada di mulut. Lagi-lagi gue mengingat Nadia.

"Wah, ini rumit. Cinta segitiga ternyata," ucap Leo.

"Salah. Bukan segitiga, tapi kotak. Karena si Miska ini suka sama gue, tapi gue suka sama Nadia, dan si Nadia malah jadian sama Haikal." Gue meminum teh manis yang ada di sebelah gue.

"Di mana kotaknya? Itu sih belum kotak, kecuali kalau si Haikal sukanya sama Miska. Baru deh itu kotak, iya 'kan, Le?" Abiyan menyenggol lengan Leo.

"Eh? Apa?" tanya Leo tidak fokus.

"Lo ngapain siang-siang gini nglamun, Yo?" Gue sengaja mengubah topik biar mereka berhenti membahas gue. "Masalah Rena lagi?"

Leo mengangguk.

"Rena minta gue cari selir yang bisa ngasih keturuanan, menurut kalian gue harus gimana?"

"Rena ngomong gitu mungkin karena dia masih shock aja pasca kehilangan bayinya. Gue yakin, setelah emosi dia bisa terkontrol lagi, dia bakal lupain masalah ini." Abiyan menepuk-nepuk bahu Leo, tumben otak Abiyan dipakai kali ini. Biasanya Abiyan kalau ngomong bikin orang ingin mengumpat.

"Gue cinta banget sama Rena, gue nggak butuh apa-apa lagi. Gue cuma butuh Rena ada di samping gue."

"Kita tau, Yo." Gue menyerahkan sebotol air untuk Leo.

Kisah hidup gue nggak serumit Leo. Tapi memang benar, Tuhan sudah merencanakan garis takdir manusia masing-masing. Semua punya porsi dan masalah kehidupannya pun berbeda-beda.

"Kalau gue yang ada di posisi lo, Yo. Gue sih bakal bersyukur Alhamdulillah kalau perlu gue sekalian sujud deh punya dua istri. Senangnya dalam hati kalau beristri dua seperti dunia gue yang punya." Gue menginjak kaki Abiyan keras. Dia selalu bercanda di saat yang tidak tepat.

Gue mengambil ponsel lalu mencari nomor Miska. Ya, dengan sangat terpaksa gue menyimpan nomor wanita yang sudah membuat dunia gue berantakan dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Gue harus bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat.

Allium : Bisa kita bertemu.

Allium : Ini aku Alli

"Dokter! Ada pasien yang akan melahirkan mengalami pendarahan hebat, kami sudah tidak sanggup menangani lagi." Abiyan dengan tergesa-gesa langsung bangkit dari tempat duduk dan berlari diikuti oleh suster yang tadi memanggilnya.

Abiyan memang memiliki selera humor tapi dia selalu serius ketika menangani pasien. Gue dan Leo masih menikmati makanan.

"Lo serius bakal nikah sama Miska?" tanya Leo.

Gue hanya mengendikkan bahu. Sama sekali belum tau kenapa wanita itu memilih gue jadi calon suami. Ya, kalau gue kenal sama wanita ini, tidak masalah.

Tapi gue sama sekali tidak kenal manusia ini dari makluk yang berada di belahan bumi mana, atau jangan-jangan dia berasal dari planet lain mengaku sebagai manusia padahal dia adalah alien.

Otak gue sudah tidak waras.

Gue mengambil ponsel ketika ada empat getaran.

Miska : Oke

Miska : Hari ini

Miska : Jam 3 sore

Miska : Di lokasi shooting, aku akan sharelock

"Siapa? Calon Istri?" Gue tidak tau apa Leo sedang bertanya atau meledek karena dia tertawa keras sekali.

"Ya, Calon Istri gue." Setelah gue mengatakan itu, Leo semakin terbahak-bahak.

Durhaka sekali.

***

Gue sudah menghabiskan sebotol air mineral dingin tapi cewek yang sedang gue tunggu belum selesai melakukan adegan shootingnya. Entah berapa kali gue mengembuskan napas lelah. Kalau tau gini, gue lebih milih nungguin dia di kafe daripada di lokasi shooting begini.

"Cut!"

Akhirnya setelah nunggu hampir tiga jam, cewek dengan pakaian casual berwarna coklat muda itu berjalan pelan menuju ke tempat duduk di depan gue. 

"Hai Om Alli, kangen ya sama aku." Ucapan pertama yang terucap dari mulut Miska bikin gue cengo. Bukannya minta maaf karena bikin gue nunggu berjam-jam, malah ngira gue kangen. Edan.

"Siapa juga yang kangen. Nggak usah kepedean kamu. Aku ke sini mau ngomongin hal serius sama kamu."

"Hal serius? Oh ... Om mau nglamar aku?"

Gue kali ini bener-bener mengetok kepalanya pakai botol air mineral kosong yang sejak tadi gue pegang. Sumpah, gue udah nggak bisa sabar ngadepin dia.

"Ih sakit, Om. Belum nikah udah KDRT aja." Miska mengusap-usap kepalanya dengan tangan. "Jadi, Om mau ngomong apa?"

"Dari sekian banyak orang yang kamu kenal, kenapa kamu lebih milih mau nikah sama aku yang sama sekali nggak kamu kenal? Apa karena kamu nggak laku?" pertanyaan gue terlontar begitu aja.

"Enak aja nggak laku!" protesnya. "Jadi gini, Om Alli. Sebenernya banyak aktor-aktor tampan yang ngejar-ngejar aku. Secara, Om tau sendiri kalau aku itu masih muda, karirnya lagi bagus, cantik, seksi, imut, lucu, dan menggemaskan. Tapi mereka bukan tipe aku."

"Jadi aku ini tipe kamu?"

Dia tampak berpikir sejenak.

"30% Om itu tipe aku," jawabnya kurang ajar.

Masa penampilan gue yang udah sempurna gini cuma 30% dari tipe dia. Emang bener-bener ngajak ribut ini cewek, jadi pengin bedah otaknya.

"Lagian aku milih Om itu secara acak. Sebenernya, aku emang pengin punya suami dokter makanya aku bilang ke media kalau calon suami aku itu kerja di rumah sakit Pelita Jingga Medika. Pas aku lagi wawancara, aku berdoa dalam hati, 'Siapapun dokter tampan yang keluar dari pintu, berarti jodoh aku' Kebetulan yang keluar itu Om, berarti Om jodoh aku."

Gila. Random sekali. Nggak masuk di otak gue, sumpah. Ini cewek harus ke psikiater kayaknya. Tapi secara nggak langsung berarti dia mengakui kalau gue ganteng dong.

"Berarti gue dokter tampan?"

"Nggak juga sih, wajah Om standard. Ya ... Seenggaknya nggak malu-maluin kalau diajak ke kawinan mantan."

Makin kurang ajar nih bocah.

"Minggu depan mantan aku nikah. Nanti aku ke sana bareng Om Alli. Mau, ya?"

"Oh ... aku paham. Kamu sebenernya pengin cepet-cepet nikah karena nggak mau kalah dari mantan kamu, 'kan? Kamu mau nunjukin kalau kamu udah move-on dari dia. Iya, 'kan? Udah ketebak."

"Om tau aja. Aku jadi malu." Miska mulai senyum-senyum menjijikan.

Sebenarnya kalau gue nantinya nikah sama anak ini, mungkin gue juga nggak terlalu dirugikan. Malah kita berdua saling diuntungkan. Yang pertama gue bisa mulai menghindari Nadia karena dia sudah punya pacar, kedua gue punya istri seperti yang diinginkan orang tua gue, dan ketiga Ucup dan Nia bisa nikah setelah itu.

"Oke, aku mau nikah sama kamu."

"Eh ... beneran, Om? Oke aku bakal jadi ibu yang baik buat anak Om nanti. Tenang aja, Om, aku ini penyayang anak kecil, kok."

Gue yakin kalau cewek ini masih beranggapan kalau gue emang punya anak. Ya sudahlah, lagipula cepat atau lambat dia juga bakal sadar kalau gue ini masih ting-ting.

"Om, besok ajak aku kenalan sama orangtua Om, dong. Biar deket." Miska mengedip-ngedipkan matanya bikin gue pengin nyentil bola matanya.

Makin ngelunjak nih anak lama-lama.

"Boleh ya, Om?"

Mau nggak mau gue akhirnya ngangguk juga. Nggak tau kenapa gue lemah banget sama cewek.

Gue menatap jam pada pergelangan tangan kiri gue, jam pemberian Nadia tahun lalu. Nggak-nggak-nggak gue harus lupain Nadia. Harus.

Tanpa basa-basi gue pamit ke Miska untuk kembali ke rumah sakit. Sebenernya gue tidak ada jadwal operasi malam ini tapi gue harus jaga malam, siapa tau ada kecelakaan mendadak yang membutuhkan dokter bedah untuk mengatasinya.

"Om Alli. Makasih, ya."

Gue cuma mengangguk lalu masuk ke dalam mobil. Sepertinya gue harus mulai terbiasa dengan berbagai macam kamera di depan gue. Karena punya calon istri seorang aktris ternama itu melelahkan.

Calon istri?

Tapi sebenernya yang gue pengin itu Nadia.

Ya ... sudahlah.

Kalau jodoh pasti dipertemukan

Kalau bukan jodoh bakal Tuhan gantikan.

—Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status