Share

» Dia Siapa? «

—[Allium Sativum POV]—

Ruangan rumah sakit dengan tembok putih polos dan jendela di sisi kiri sedangkan pintu masuk di sisi kanan menjadi salah satu tempat paling menenangkan bagi gue. Kalau orang lain rata-rata membenci rumah sakit karena bau obat-obatan, itu nggak berlaku bagi gue. Karena gue sudah kebal dan menikmati pekerjaan gue.

"Selamat siang, Dok."

"Selamat siang, Bapak Galuh Firmansyah, silakan duduk."

Gue tentu saja tau nama pasien,  bukan karena gue cenayang tapi sebelum bertemu dengan gue, pasien ini sudah konsultasi dengan dokter jantung umum, setelah mendapatkan rujukan baru bisa menemui dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular kayak gue.

Dia lalu memberikan kertas ke gue. Sebuah kertas rujukan.

"Apa saja keluhan yang Anda rasakan akhir-akhir ini, Pak?" tanya gue begitu dia duduk.

"Rasa nyeri dan rasa tidak nyaman pada area dada."

"Apakah menjalar ke rahang, leher, bahu atau punggung?"

Dia ngangguk.

"Jantung sering berdebar cepat, sesak napas, keringat dingin dan mudah lelah setelah beraktifitas fisik."

Gue lalu membuka kertas rujukan yang tadi dibawa oleh pasien itu.

"Sudah berapa lama Anda merasakan gejala seperti ini?"

"Sekitar enam bulan lebih."

Gue menghela napas. Inilah kenapa gue selalu menyuruh seseorang untuk rutin melakukan medical check up,  seenggaknya mereka bisa tau apa ada masalah dalam tubuhnya apa enggak. Karena pada dasarnya setiap hari jantung terus memompa darah untuk dialirkan ke seluruh tubuh dan bukan berarti jantung tidak bisa mengalami masalah. Terkadang beberapa gangguan bisa menghentikan fungsi jantung secara tiba-tiba.

"Apa Anda pernah memiliki riwayat penyakit jantung? Atau mungkin keluarga Anda?"

"Saya memiliki penyakit hipertensi dan diabetes, dan dulu ayah saya meninggal karena serangan jantung," ujarnya.

Gue membolak-balikan kertas dari dr.Tasya Rosma sp.BTKV dia dokter bedah jantung juga seperti gue.

"Apa Anda perokok aktif?"

"Iya, Dok."

"Lalu selama enam bulan ini, apa obat-obatan yang Anda minum sebagai pereda rasa sakit?" tanya gue lagi.

"Saya hanya minum supplement dan beberapa obat herbal yang saya beli online."

Gue menganggukan kepala.

"Saya akan melakukan pemeriksaan tambahan seperti tes darah dan tes urin, melakukan rontgen dada, CT scan, MRI, dan angiografi. EKG (elektrokardiogram). Ekokardiografis, USG Doppler, Biopsi jantung," ujar gue dalam satu kali tarikan napas membuat laki-laki itu menelan salivanya.

"Apa saya akan dioperasi, Dok?" tanyanya mulai khawatir.

Sebagai dokter yang baik, tentu aja gue nggak boleh buat pasien cemas, panik dan takut itu bisa memperburuk kondisi jantung pasien.

"Saya belum bisa memastikan, syukur-syukur setelah pemeriksaan selesai, Anda hanya diberikan beberapa obat dan sembuh."

"Baiklah, Dok."

Gue lalu memberikan kertas dan menyuruhnya ke laboratorium untuk melakukan tes darah dan tes urin baru kemudian melakukan rontgen dada dan CT scan.

Setelah pasien itu pergi, gue mengambil ponsel yang berada di dalam laci, siapa tau ada pesan dari Nadia.

Sial!

Nggak ada satu pun notifikasi. Beginilah nasib jones kayak gue. Nggak ada satu orang pun yang mengirimi gue pesan, memang yang setia cuma operator. Percuma gue beli ponsel mahal, mending gue pakai ponsel jadul aja sekalian yang cuma bisa buat telepon dan sms.

Gue keluar dari ruangan dengan membawa beberapa kertas untuk gue diskusikan dengan Dokter Tasya untuk menangani pasien ini.

"Alli!"

Secara refleks gue langsung menoleh ke sumber suara, dr.Leo Adriantara sp.PD-KGH seorang dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal dan hipertensi. Kami sahabat dekat sejak SMA, siapa sangka sekarang bisa bekerja di satu rumah sakit yang sama juga.

"Lo mau ke kantin tapi bawa bekal? Aneh lo!" ucap gue.

"Ini bekal spesial dari istri gue dong," jawabnya sombong.

Iya, Leo sudah menikah dan memiliki istri yang sangat cantik bernama Rena, sementara gue masih jadi bujang lapuk yang dengan bodohnya masih mengharapkan cinta Nadia.

"Bagaimana keadaan Rena, apa dia baik-baik aja?" tanya gue hati-hati.

"Nggak ada ibu yang baik-baik aja pasca kehilangan anak yang bahkan belum sempat lahir ke dunia. Tapi setidaknya gue selalu berusaha membuat Rena mengikhlaskan semuanya," ujar Leo.

Gue tau kalau Leo juga terluka, tapi luka itu ia tutupi demi menjaga perasaan Rena. So sweet kagak tuh.

"All, kantin yuk lah! Abian udah nunggu," ajaknya.

Dokter Abian Cakra Mallory sp.OG dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi atau yang biasa disebut dokter kandungan. Enak banget si Abian ini, pasiennya cewek terus. Dia juga salah satu sahabat gue dan Leo pas masa putih abu-abu.

"Lo nggak liat kalau gue masih  pakai seragam dokter? Gue masih ada pasien," ujar gue.

"Kalau lo masih ada tugas ngapain santai ngobrol di sini sama gue, sana pergi!"

Kurang ajar emang si Leo, dia yang manggil gue tadi, dia juga yang ngusir gue. Untung temen.

Dengan langkah perlahan gue menuju ke ruangan Dokter Tasya tapi suara ribut dari arah luar membuat gue membelokkan badan menuju ke luar rumah sakit.

Gue lihat seorang perempuan dengan baju berwarna biru muda dan rok selutut berwarna senada, rambutnya terkuncir rapih sedang melakukan wawancara. Jujur aja gue nggak kenal dia siapa, jadi gue memutuskan untuk menjauh dari keramaian.

Nggak penting.

"Sayang, kamu ke mana aja. Aku tungguin juga." Seorang perempuan yang sejak tadi sedang wawancara saat ini malah menggandeng tangan gue mesra.

Lah, perempuan ini siapa?

"Ini calon suami saya," katanya mulai ngaco.

Sejak kapan gue punya calon istri? Apa gue selama ini hilang ingatan? Kayaknya gue nggak pernah mengalami kecelakaan ataupun kena benturan keras pada bagian kepala.

"Nama calon suaminya siapa?" tanya salah satu wartawan.

"Nama calon suami saya Alli, dia dokter spesialis bedah toraks dan kardiosvaskular di rumah sakit Pelita Jingga Medika ini," jawabnya tanpa ragu sedikitpun.

Sumpah, gue rasanya belum pernah kenal sama ini perempuan, tapi kenapa dia ngaku-ngaku kalau gue calon suaminya?

Sebenernya siapa yang tidak waras? Gue apa dia?

—Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status