Sepanjang perjalanan mereka mengobrol, mengenai apa-apa saja yang belum mereka persiapkan untuk pernikahan besok. Hingga tanpa sengaja, saat di lampu merah, Damar melihat Safeea sedang duduk tenang di atas motor ojek online dengan wajah yang terlihat pucat.“Kamu kenapa diam, Mar?” tanya Adel saat Damar tidak merespon ucapannya.“Eh, enggak kok, enggak kenapa-napa, kamu tadi ngomong apa?” saut Damar, mencoba kembali fokus dengan pembicaraannya dengan Adelya, walaupun kini hatinya mengkhawatirkan Safeea yang terlihat pucat tadi.==================================================================Damar meminta Adelya untuk mempercepat laju kendaraannya, dengan beralasan ingin segera sampai rumah untuk beristirahat. Adelya tanpa curiga mengikuti permintaan Damar untuk menambah kecepatan. Sesampainya di rumah, Adelya menemani Damar beristirahat di kamarnya, Damar berpura-pura mengantuk agar Adelya segera pulang, dirinya ingin segera menemui Safeea dan melihat keadaannya.Suara deru kendara
Aku segera tersadar, kemudian memeriksa tubuhku yang ternyata masih terbalut dengan pakaian lengkap, akupun tidak merasakan ada hal yang aneh pada organ vitalku, itu tandanya kami tidak melakukan apapun. Aku bernafas lega, kemudian perlahan-lahan mencoba melepaskan rangkulan tangan kekar Mas Damar yang membelit perutku.“Kamu ngapain?” aku terkejut setengah mati saat menyadari Mas Damar terbangun dan mendapati pandangan kami beradu.==================================================================POV DamarAku masih memandangi wajah pulas Safeea, tubuhnya yang menggigil membuatku berinisiatif untuk memeluk tubuhnya, agar panas ditubuhnya tertransfer ke tubuhku juga. Hal ini sering bapakku lakukan dulu saat aku sedang demam, namun bedanya, dulu bapak sering membuka bajuku dan bajunya, baru setelah itu dia memelukku hingga demamku berkurang.Tapi kali ini aku tidak akan membuka pakaianku ataupun pakaian Safeea, karena hal itu bisa mengganggu stabilitas adik kecilku di bawah sana. Aku
“Enggak akan, Del, sampai kapanpun, aku enggak akan mau menyentuhnya, dia sudah kotor, Del, dia bekas bapakku,”“Kamu yakin, Mar?”“Sangat yakin,” sahutku ketus, kenapa Adelya selalu mempertanyakan keseriusanku, apa dia sedang menguji kesabaranku ini? ==================================================================Aku duduk terdiam, mencoba menetralkan jantungku yang berdebar-debar, karena menunggu kedatangan kedua orangtua Adelya. Malam ini sesuai rencana, aku akan meminta Adelya secara resmi untuk menjadi istriku kepada kedua orang tuanya. Aku di temani ibu dan Rival, sepupuku untuk datang ke sini, sementara Safeea, dia bilang masih harus bertugas di rumah sakit, entahlah, aku tidak peduli, karena tanpanya akupun tidak peduli.Orang tua Adelya bukanlah orang sembarangan, ayahnya salah seorang petinggi di BUMN, sedangkan ibunya seorang dekan di sebuah universitas swasta terkenal di Jakarta, mereka awalnya tidak setuju menikahkan anaknya kepadaku, apalagi dengan status sebagai is
“Mas, sudah! Kasihan mbak Safeea,” selak Bik Minah lagi, masih berusaha membela Safeea.“Kalau diajak ngobrol itu jawab!” teriakku seraya mencengkram kedua pipinya agar dia melihat ke arah ku.“Auu, sakit!” lirihnya, aku terkejut saat melihat luka memar di wajah Safeea, bibirnya juga terlihat terluka, ada apa sebenarnya?“Ya Allah, Mbak! Ini kenapa wajahnya luka-luka begini?” seru Bik Minah panik.“Saya enggak apa-apa, Bik, saya mau ke kamar dulu, permisi,” ujarnya seraya pergi meninggalkanku dan Bik Minah dalam keadaan penuh tanda tanya.==================================================================POV SafeeaAku berusaha melepaskan diri dari pria brengsek yang mencoba mencelaiku, sungguh aku tidak mengira, jika niatku menolong justru dimanfaatkan orang jahat. Aku masih berusaha berteriak, namun sangat sulit, mulutku di bekap dengan tangannya yang besar, hingga aku hampir saja kehabisan nafas.Di dalam mobil yang sempit, aku berjuang mempertahankan kehormatanku yang ingin di re
“Jangan bandel buat maksa masuk ke rumah sakit, sebelum jatah ijinmu selesai! makan yang banyak dan bergizi, minum obatmu teratur, jangan berfikir yang aneh-aneh, kalau ada rasa sakit yang tidak bisa kamu tahan, segera bilang aku, akan ku antar untuk checkup ke dokter lagi, paham tuan putri?” tuturnya panjang lebar, saat ini kami sedang dalam perjalanan pulang ke rumahku.“Baik pak dokter! Saya akan istirahat selama tiga hari full, makan makanan bergizi dan banyak, tidak banyak pikiran, dan akan menghubungi dokter Adriyan Mahessa Diondra spesialis jantung, kalau ada keluhan lebih lanjut,” sahutku geli, menahan tawa yang siap meledak.“Berani kamu ya ledekin aku?! Dasar bandel, aku cium, bungkam kamu!” celetuknya seraya mengusap-usap rambutku. Senyumnya tidak berubah, manis sekali.==================================================================Aku memilih tidak meladeni tuduhan tidak berperikemanusiaan, yang selalu saja mas Damar lontarkan untukku, bukannya aku takut untuk melawan
“Tolong keluarlah, sekarang!” kataku lagi, masih berusaha mengusirnya dari kamarku. Kami terdiam cukup lama, hanya deru nafas kami yang terdengar, aku pura-pura tertidur, membelakangi tubuh Mas Damar. Aku tau, dirinya belum tidur, hingga akhirnya aku merasakan ada gerakan pada kasurku, saat Mas Damar beranjak turun dari ranjang. Aku melihatnya bergerak, memakai kembali pakaiannya yang sempat terserak di lantai, kemudian pelan-pelan membuka pintu dan keluar dari kamarku.==================================================================POV DamarAku merasa menjadi manusia paling brengs*k sedunia, karena tega menggauli istriku sendiri dengan sangat kasar, merenggut mahkota yang selama ini kufikir telah raib, karena dirinya kuanggap sebagai wanita simpanan. Niatku hanya untuk menanyakan keadaannya, bagaimana dia bisa pulang ke rumah, dengan wajahnya yang penuh memar seperti ini, belum lagi saat dirinya pulang bersama mantan tunangannya. Sungguh membuat hatiku panas.Tidak pernah sekal
Kusempatkan untuk menengok ke belakang, melihat rumah yang selama dua tahun ini menjadi tempatku berteduh, walaupun hanya kepahitan yang kualami di sini, namun tetap memberikan kenangan di dalamnya.“Semoga kamu bahagia, Mas!” lirihku, kemudian masuk ke dalam taksi online yang sudah menunggu sejak tadi.==================================================================Taksi membawaku pergi meninggalkan rumah penuh kenangan pahit ini, membawa luka teramat perih yang tidak mungkin akan dapat kusembuhkan dalam waktu yang sebentar. Aku benci pada diriku, yang terlalu lemah saat berhadapan dengan pria bergelar suami itu, benci karena membiarkannya melukai terus menerus tanpa perlawanan.Air mata seakan enggan reda dari pelupuk mataku, deras dan tidak terbendung, aku merasakan kehampaan yang mendalam, entah, apa karena aku mencoba membelot dari perasaanku? Hatiku berkata untuk tetap tinggal dan bertahan, namun logika dan egoku memohon agar aku menyerah.“Maafkan Saf, Pak! Saf gagal mempert
Kulihat Tiara terkejut dengan yang baru saja ku ucapkan, kedua tangannya dia gunakan untuk menutupi wajahnya, seperti sedang menahan emosinya agar tidak meledak.“Dia perk*sa, lu? Maksudnya gimana? Dengan ka-sar?” tanyanya untuk meyakinkan dirinya, ku jawab hanya dengan anggukan kepala.“Brengs*k!” umpatnya, ada kemarahan yang kulihat dari binar mata Tiara.==================================================================Air mataku semakin deras, saat melihat Tiara marah-marah dan melontarkan banyak makian kotor, yang dia tujukkan untuk mas Damar. Aku tau, Tiara akan merasakan hal yang sama jika aku tersakiti, itulah mengapa berulang kali dia mengatakan, agar aku segera meninggalkan mas Damar dan mencari kebahagiaanku sendiri.“Ra, sudah! Please jangan kayak gitu, jangan bikin gue jadi takut, Ra! Tenang dulu, tolong!” lirihku, masih berusaha meredam tangisku yang enggan berhenti. Aku terkadang kesal kepada diriku sendiri, mengapa aku mudah sekali menangis, tepatnya, sejak kepergian