Share

Aku Istri yang Tidak Dianggap
Aku Istri yang Tidak Dianggap
Penulis: Didi Mawadah

Bab 1 | Permintaan Bapak

Hari ini adalah tahun kedua pernikahan kami, tidak seperti pasangan suami istri lain, yang merasakan bahagia di tiap anniversary pernikahannya, jangankan perayaan, ucapan hangat dari pasanganpun tidak aku dapatkan. Pagi ini kami bahkan bangun di kamar yang berbeda, bukan karena sedang berjauhan, namun, memang sejak malam pertama kami menikah, tidak pernah sekalipun kami tidur di kamar yang sama.

Perkenalkan, namaku Safeea Azzahra Kalyani, aku seorang yatim piatu yang hidup dan tumbuh besar di sebuah panti asuhan di ibu kota. Usiaku baru enam tahun saat ayah dan ibuku meninggal dalam sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa mereka. Kami sedang berjalan-jalan sore menggunakan sepeda motor butut milik ayah, ketika dari arah depan ada sebuah mobil sedan menabrak kami bertiga.

Menurut cerita yang kudengar, kepala ibuku terbentur separator jalan yang membuatnya harus meregang nyawa di lokasi kejadian, sementara ayah, dia masih sempat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan, namun seperti tidak ingin berpisah jauh dari ibuku, ayah menghembuskan nafas terakhirnya setelah seharian berjuang di ruang ICU.

Aku yang masih sangat kecil, dipaksa harus menerima kenyataan jika ayah dan ibuku pergi secara bersamaan, meninggalkan ku seorang diri tanpa ada penjagaan. Aku masih ingat, saat malam sebelum kejadian naas itu menerpa kami, ayah yang kala itu sedang mengelap motor bututnya, tiba-tiba memanggilku untuk duduk di sampingnya, dia berkata jika aku adalah keberuntungan yang Allah kirimkan untuk dirinya dan ibu, dia bercerita bagaimana perjuangan ibu untuk hamil dan akhirnya lahirlah aku di tengah-tengah mereka.

“Safeea, kamu tau apa arti nama kamu?” tanyanya saat memulai percakapan.

“Memang apa, Yah?” tanyaku polos.

“Nduk, ibu sama ayah bukan sembarangan memberi nama itu kepadamu, dahulu, ayah dan ibu sudah berusaha sangat kuat agar bisa memiliki momongan, berbagai cara kami tempuh agar ibu kamu bisa hamil, hingga akhirnya, saat ayah punya uang, kami memberanikan diri untuk periksa ke dokter kandungan, jantung ayah dan ibu begitu berdebar, menanti hasil pemeriksaan lab, hingga akhirnya dokter memanggil kami masuk ke dalam ruangannya.

Di dalam, dokter kandungan membacakan hasil lab yang mampu membuat hati dan ibu patah, dokter kandungan itu bilang jika rahim ibumu bermasalah, hingga menyebabkan dirinya susah hamil bahkan tidak bisa hamil. Kami pulang dengan hati yang patah, Nak, membayangkan hidup hanya berdua saja tanpa ada buah hati di tengah-tengah kami.

Berhari-hari kami terpuruk karena kenyataan pahit yang menerpa, ibumu sempat meminta ayah untuk menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan, namun ayah tolak, ayah tidak mungkin menyakiti hati wanita yang begitu ayah cintai, hanya untuk mendapatkan anak yang belum tentu akan mencintai ayah seperti yang ibumu lakukan.

Kami bangkit, kami mencoba memaafkan keadaan, namun kami tidak menyerah, berbagai terapi tradisional kami lakukan, ibumu begitu gigih ingin bisa hamil, sampai betahun-tahun, kami tidak menyerah, hingga akhirnya saat pagi hari, ibumu mendadak muntah-muntah, ayah mengira jika itu hanya masuk angin biasa.

Sudah seminggu ibumu terbaring lemas karena makanan yang dia makan selalu keluar lagi, hingga akhirnya kami memutuskan untuk berobat ke puskesmas. Kamu tau? Ternyata ibumu tidak masuk angin, tapi dia hamil, dia hamil anak ayah, Nak. Sujud syukur kami lakukan di lantai puskesmas, semua orang memandang aneh, kami tidak peduli, yang kami pedulikan adalah ibumu kini sedang mengandung, akhirnya Allah memberikan keberuntungan kepada kami, Nak.

Lalu, lahirlah kamu, kelahiranmu disambut suka cita warga desa, karena, saat itu desa kita terkena kekeringan yang berkepanjangan, sawah-sawah kering tidak bisa ditanami, air sungai kering tidak bisa diambil airnya, namun, saat kamu lahir, tiba-tiba saja langit gelap dan turun hujan yang sangat lebat, seketika air melimpah ruah, membuat warga senang, mereka menganggap jika kelahiranmu juga menjadi berkah.

Itulah mengapa ayah memberimu nama Safeea Azzahra Kalyani, yang artinya anak perempuan yang beruntung dan membawa keberuntungan, kamu keberuntungan bagi ayah dan ibu, Nak. Kamu membawa keberuntungan untuk warga desa, selama ini hidupmu beruntung karena dikelilingi orang-orang baik, kamu sempat terjatuh dari pohon mangga namun tidak ada luka sedikitpun yang ditemukan di tubuhmu. Kamu juga pernah hanyut di sungai seharian penuh, namun saat ditemukan kamu dalam keadaan sehat wal afiat, itu suatu keberuntungan dari Allah untukmu.

Jadi, jika kelak terjadi sesuatu yang kurang buruk kepadamu, jangan sedih, jangan patah semangat, karena pasti setelah hal buruk tersebut akan ada keberuntungan yang mengikutinya,” ayahku bercerita panjang lebar, aku yang masih kecil dan sudah mengantuk hanya manggut-manggut mengiyakan.

Sekarang aku baru paham maksud dari perkataan ayah yang memintaku tidak putus asa dan tetap semangat saat hal buruk terjadi, karena, setelah pemakaman ayah dilaksanakan, aku yang tidak memiliki siapapun akhirnya dibawa oleh orang-orang berseragam kepolisian ke sebuah panti asuhan.

Baru beberapa hari di sana, aku didatangi seorang pria yang mungkin usianya tidak jauh berbeda dengan ayahku, namanya Pak Aldian, dia mengatakan bersedia menjadi ayah asuhku dan menanggung semua biaya sekolahku sampai kapanpun yang aku inginkan, selain itu dia juga menjadi donator tetap di panti asuhan tempatku tinggal.

Seperti yang ayahku bilang, keberuntungan selalu menyertaiku, proses pendidikanku berjalan begitu mulus. Aku dua kali mengikuti program akselerasi di sekolahku, ketika sekolah menengah pertama dan menengah atas. Aku lulus SMA saat usiaku baru menginjak angka enam belas tahun.

Setelah lulus SMA aku melenggang masuk ke universitas negeri tanpa harus tes, karena nilai ujian akhirku yang sempurna membuatku bisa masuk universitas dengan jalur undangan. Aku lulus sarjana kedokteran dalam waktu empat tahun, kemudian kulanjutkan mengikuti program profesi selama dua tahun.

Siang itu aku dan Pak Aldian janji bertemu di sebuah café dekat dengan kosanku. Rencananya aku ingin mengatakan, jika aku akan mendaftar untuk mengikuti Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI), karena sebagai dokter muda aku harus bisa mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) jika ingin bisa praktek di rumah sakit.

Aku masih menunggu kehadiran pak Aldian, tidak biasanya dia terlambat, beliau tipe orang yang selalu tepat waktu, selama mengenalnya, tidak pernah dia membiarkanku menunggu jika sedang janjian untuk bertemu di luar.

Aku sangat bersyukur, melalui kebaikan dan kemurahannya, aku bisa sampai pada posisiku yang sekarang, tidak perlu sulit memikirkan biaya hidup dan pendidikan, segala kebutuhan sekolahku hingga kini ditanggungnya, itulah mengapa aku sangat menaruh hormat kepadanya.

“Hai Saf! Maaf bapak telat, kamu sudah lama nunggu?” senyumnya merekah tiap kali bertemu denganku, segera bangkit dari kursi, aku menggapai tangannya untuk kucium dengan takzim, aku menganggapnya sudah seperti ayah kandungku sendiri.

“Belum kok, Pak, Saf baru sampai juga, Bapak sehat? Kok Saf lihat bapak agak pucat, bapak sakit?” tanyaku khawatir.

“Bapak sehat-sehat saja, Saf, jangan dihiraukan! Gimana koas mu? Kapan jadi resminya selesai?” aku tau, Pak Aldian mencoba mengalihkan pertanyaanku.

“Bapak kecapean kerja, ya? Jangan terlalu diforsir, Pak, bapak sudah enggak muda lagi, banyak-banyak istirahat!”

“Siap ibu dokter! Bapak cuma kurang istirahat, banyak yang harus bapak kerjakan kemarin itu,”

“Vitamin yang Saf resepkan masih diminumkan sama bapak?”

“Masih, kamu jangan khawatir! Ini minuman buat bapak?”

“Hu’um, jus nanas bagus buat kolesterol bapak, hi hi hi,”

“Padahal bapak mau kopi, Saf!”

“Enggak boleh!!”

Ya begitulah kami jika bertemu, saat bertemu dengannya, aku sebisa mungkin mengatur menu yang boleh dan tidak boleh Pak Aldian makan dan minum, terkadang aku memintanya mengirimkan foto makanan yang dia makan setiap harinya, agar aku bisa melihat apa yang dia makan jika tidak sedang bersamaku. Pak Aldian memiliki riwayat darah tinggi dan kolesterol, harus mengatur pola makan dengan benar jika ingin hidup sehat hingga memiliki cucu nanti.

“Saf, ada yang mau bapak omongin sama kamu,”

“Ya ngomong aja, Pak, Saf dengerin nih, sambil makan boleh, ya?”

“Makanlah, Nak, masa bapak larang,” ucapnya tulus, aku suka senyumnya, caranya memperlakukanku seperti ayah memperlakukanku dulu, begitu lembut.

“Habis bapak ngomong, Saf juga mau ngomong ya, Pak!”

“Iya, boleh,” ucapnya singkat, kemudian terdiam cukup lama, membuatku menghentikan ritual makan siangku.

“Bapak mau ngomong apa? Kok malah diam aja?”

“Ehmm . . . Saf, kalau bapak minta kamu melakukan sesuatu, apa kamu mau mengabulkannya?” tanyanya ragu-ragu, membuatku bertanya-tanya, perihal apa yang sebenarnya ingin dia katakan.

Aku menyingkirkan piring berisi carbonara fettucini ku dari hadapan, meminum sebentar minumanku, sebelum akhirnya mencoba fokus dengan apa yang ingin dibicarakan ayah angkatku ini.

“Bapak mau Saf melakukan apa memang? Kalau Saf mampu, akan Saf lakuin, bapak kan tau, enggak mungkin Saf menolak permintaan bapak,”

“Tapi kali ini permintaannya beda dari permintaan bapak yang sebelumnya, bapak bukan mau minta Saf lanjut kuliah atau apapun, tapi bapak mau minta, Saf menikah sama anak laki-laki, bapak, Saf mau, kan?” ucapan Pak Aldian kali ini mampu membuatku tersedak air liurku sendiri. Apa tadi katanya? Menikah? Dengan putranya?.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status