Share

Bab 4 | Meluapkan Perasaan

Mas Damar menarik kuat tanganku untuk mengikutinya pergi meninggalkan om Farhan, aku masih berfikir, darimana om Farhan bisa tau jika Mas Damar masih menjalin hubungan dengan mantan pacarnya? Apa om Farhan pernah melihat mereka jalan bersama?

“Sudah saya bilang, jangan melakukan hal apapun yang tidak saya suruh,” tegurnya dengan suara yang ditekan, aku tau dia marah, dari caranya bicara dan mencengkram pergelangan tanganku.

”Lepasin, Mas! Sakit! Aku enggak melakukan apapun? Kamu fikir aku ngapain?” berontakku berusaha melepaskan cengkraman tangannya, namun gagal, tenaganya terlalu kuat.

“Setelah bapak enggak ada, kamu mau goda om Farhan juga? Hah? Cukup kamu menjadi benalu di keluarga ini!!” tandasnya penuh amarah, seraya mendorongku hingga terjerambab ke atas ranjang di salah satu kamar rumah Uti.

“Kamu apa-apaan sih? Siapa yang goda om Farhan? Saya enggak pernah goda pria manapun, Mas! Tolong, saya bukan wanita murahan seperti yang kamu bilang, saya dan bapak tidak ada hubungan spesial seperti yang kamu tuduhkan, saya juga enggak tau mengapa bapak begitu baik kepada saya,”

“Diam kamu! Kalau bukan karena ada affair antara kamu dan bapak, enggak mungkin bapak begitu mati-matian merawatmu, membiayai sekolah kedokteranmu yang mahal itu, hah? Kenapa?” teriaknya tepat di depan wajahku. Nafasnya naik turun menandakan begitu besar emosi yang tengah dia luapkan.

“Saya enggak tau, demi Allah saya enggak tau mengapa bapak begitu baik sama saya, Mas!!” ucapku lirih, sakit rasanya ketika suamimu sendiri meragukan kesucian dirimu.

“Jangan pernah kamu bawa-bawa nama Tuhan dengan mulut kotormu itu, ya! Sok alim sekali kamu!!”

Aku mencoba menahan emosiku, ini tidak akan ada gunanya jika aku melawan ucapannya, biarlah, aku akan bertahan sekuat yang kumampu, namun, jika sampai saatnya aku kalah, aku pasti akan menyerah.

Mas Damar meninggalkan ku sendirian dia dalam kamar yang asing bagiku, maklumlah, selama menikah, belum sekalipun aku menginap di rumah Uti. Setelah kuteliti, banyak sekali foto-foto mas Damar di sini, ku lihat satu persatu, ada foto mas Damar kecil yang sedang berenang, ada juga mas Damar remaja yang memegang bola basket, ada juga beberapa foto ketika mas Damar berlibur, lucu, dari kecil dia sudah merasakan kebahagiaan yang bahkan tidak pernah kurasakan.

Setelah berhasil menenangkan diri dan memastikan penampilanku sudah membaik, aku memutuskan untuk keluar kamar dan bergabung bersama keluarga yang lain. Kali ini aku mencoba duduk berdekatan dengan ibu mertuaku, selama ini bukannya aku tidak berusaha untuk mendekatkan diri kepada ibu mertuaku, namun dinding pembatas yang dia pasang terlalu tinggi dan tebal, hingga aku sulit untuk menembusnya.

“Bu,” sapaku pelan saat sudah duduk di sampingnya.

Seperti dugaanku, ibu tidak menjawab sapaanku, hanya menengok sekilas kemudian berpaling tanpa senyuman, miris. Selain istri yang tidak dianggap, akupun menantu yang tidak diinginkan, nasibmu, Saf!

“Mar, kemarin tante enggak sengaja ketemu lho sama Adelya di salon langganan tante, wah makin cantik aja ya dia, setelah tante tanya-tanya, rupanya dia belum menikah, Mar, bisa tuh kalau kamu mau deketin lagi!” tiba-tiba saja Tante Yunita bicara seakan tidak ada aku di dekat mereka.

Aku sempat beradu pandang dengan Mas Damar, sebelum akhirnya kuputuskan untuk menundukan pandangan, karena percuma, aku yakin, kali inipun suamiku itu tidak akan pernah berada dipihak ku.

“Kamu apa-apaan sih, Yun, Damar sudah punya istri, lho, masa kamu mau nyuruh dia deketin perempuan lain?” teguran Uti seakan membuat senyum tante Yunita menghilang.

“Ya enggak apa-apa kan, Bu, toh si Safeea enggak bisa kasih keturunan sama Damar, wajarlah kalau Damar cari wanita lain yang bisa ngasih dia anak, lagian buat apa nikah lama-lama kalau enggak kunjung hamil, Bu, percuma cantik, dokter, tapi rahimnya enggak subur!”

Sekuat tenaga aku menahan agar air mataku tidak kembali tumpah, andai aku memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa aku sehat, rahimku baik-baik saja, diam-diam aku sudah melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan, andai aku tidak memikirkan kebaikan almarhum pak Aldian, akan ku bongkar semua kenyataan pahit ini.

“Mbak, cukup! Jangan bicara kayak gitu dong, belum tentukan kalau Saf m4ndul, lagipula mereka baru dua tahun menikah, mereka masih muda, masih banyak waktu untuk memiliki momongan nanti, lagian emangnya mbak Yunita mau kalau nanti suaminya Arina menikah lagi karena Arina enggak bisa ngasih keturunan sama dia? Jangan aneh-aneh, deh, biarin mereka menjalani rumah tangganya, enggak usah ikut campur!” tandas Om Farhan membelaku.

Antara senang dan sedih sebenarnya. Senang karena ada juga yang membelaku dari serangan mulut jahat Tante Yuni, tapi akupun sedih, karena yang membelaku bukanlah Mas Damar. Laki-laki itu hanya diam tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk membela harga diri istrinya, ah jangankan membela, bahkan dia sendiri menginjak-injak harga diriku. Wake up, Saf! Jangan mimpi!!

“Diam kamu, Han! Berani kamu melawan mbakmu ini cuma untuk membela wanita m4ndul tidak jelas ini, hah? Anak pungut yang enggak tau diri, minta kuliah sampai jadi dokter, emang murah? Satu lagi, jangan kamu samakan Arina sama Safeea, Arina itu lahir dari keluarga yang rahimnya sehat, enggak mungkin dia m4ndul dan ditinggal nikah lagi sama suaminya nanti,”

Rasanya aku sudah tidak sanggup menerima hinaan yang Tante Yuni berikan, setelah berpamitan dengan ibu mertuaku dan juga Uti, aku memutuskan untuk meninggalkan perkumpulan manusia-manusia suci tersebut.

“Anak enggak tau sopan satun, pendidikan aja tinggi, tapi adabnya enggak ada, orangtua lagi ngomong malah ditinggal pergi!!” aku masih bisa mendengar makian yang tante Yunita katakan.

Aku berharap mas Damar mengejarku, merangkulku dan menenangkan aku yang sedang tersakiti ini, namun harapan hanya tinggal harapan, jangankan mengejar, mungkin menoleh ketika aku dihinapun tidak dia lakukan.

Sampai di depan pagar, aku bingung harus pergi naik apa, kawasan rumah Uti yang berada di kawasan leuwiliang sangat tidak memungkinkan ada kendaraan umum yang melintas, karena sudah kadung keluar dan malu jika harus kembali lagi ke dalam, aku memutuskan untuk berjalan kaki menelusuri jalanan yang panjang entah sampai mana.

Hampir setengah jam aku berjalan, namun belum bertemu dengan satupun kendaraan umum, tidak mungkin aku memesan kendaraan online di daerah seperti ini, pasti tidak akan ada, aku sempatkan menoleh ke belakang, berfikir jika akhirnya mas Damar iba kepadaku dan berniat menjemputku. Tapi lagi-lagi semua hanya angan-angan yang tidak mungkin bisa terwujud.

Kedua kakiku sakit karena terlalu lama berjalan, namun hatiku lebih sakit karena pelakuan tante Yunita dan sikap diamnya mas Damar. Aku beristirahat di sebuah kursi kayu yang diletakkan di pinggir jalan, rasa-rasanya aku tidak akan sanggup lagi untuk berjalan. Kontur jalanan yang naik turun kas jalanan daerah pegunungan membuatku mengalami kelelahan yang teramat sangat.

Kulihat hari semakin sore, mungkin sebentar lagi akan malam, aku bingung setengah mati saat kurasakan ada setitik demi setitik air hujan yang mengenai lengan polosku.

“Masuk!!” aku terkaget saat mendengar suara yang kuhafal, meneriaki untuk segera masuk ke dalam mobilnya, ya akhirnya suamiku datang menjemput.

“Kamu b3go apa tol0l, sih? Kamu fikir ini Jakarta yang banyak kendaraan umum seliweran, sekolah tinggi tapi otaknya enggak dipake!! Kamu fikir kamu ratu yang bisa mendapat pengejaran dari pengawal kalau kamu kabur, hah? Bod0h!!” suara makian Mas Damar berebut dengan suara derasnya hujan yang turun, membuat hatiku lagi-lagi tergores karena ucapan beracunnya.

“Iya, saya memang bodoh, saya bodoh karena mau aja kecebur di keluarga yang tidak pernah menghargai saya sebagai manusia, saya tol0l, karena mau aja disuruh nikah sama laki-laki yang enggak punya perasaan kayak kamu, saya emang enggak pake otak saat bermimpi kamu bisa nerima saya sebagai istri kamu, membela saya setiap kali saya dihina dan direndahkan, saya enggak minta kamu jemput, saya enggak peduli kalau saya harus jalan sampai Jakarta, saya enggak minta kamu kasihani!!” teriakku membalas makiannya, sudah tidak kupedulikan jika dia melihatku menangis seperti ini, aku hanya ingin meluapkan perasaanku, sakit hatiku yang selama ini kutahan.

Ku fikir Mas Damar akan membalas teriakanku atau paling tidak menurunkanku kembali ke jalanan, namun dia justru mengencangkan laju kendaraannya. Seperti tidak terkontrol, Mas Damar menekan gas dalam-dalam, membuat mobil yang dia kendarai melaju begitu cepat membelah jalanan yang diguyur hujan lebat.

Aku berulangkali berteriak memintanya mengurangi kecepatan, namun tidak digubrisnya, pandangannya lurus tajam kedepan, aura dingin dan mencekam menguar di sekitar kami, sepertinya Mas Damar tersinggung dengan ucapanku tadi.

Aku berpegangan kuat pada handle hangrid mobil Mas Damar, lelah sudah aku memohon agar dia mau sedikit saja mengurangi kecepatannya, lebih baik aku berusaha menyeimbangkan diriku, agar tidak jatuh ke sisinya ketika mobil melewati tikungan yang tiada henti. Aku berdoa semoga kami berdua selamat dalam perjalanan ini, kalaupun akhirnya kami celaka, aku meminta kepada Allah agar aku saja yang pergi, agar terbebas dari situasi yang tidak mengenakan ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
AriaNz Arfa
nyesek bacanya thor ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status