Share

Bab 3 | Penghinaan

Hati wanita mana yang tidak merasakan sakit, ketika suaminya dianjurkan untuk menikah lagi, bahkan oleh keluarga sendiri, aku tahu, keturunan memang belum bisa kuberikan untuk menyambung trah keluarga Mas Damar, namun itu sungguh bukanlah keinginanku, Mas Damar sendiri yang tidak menginginkannya, bukan aku yang tidak mampu.

Pernah suatu kali, karena sudah bosan mendapat sindirian dari tantenya Mas Damar, karena aku yang tak kunjung hamil. Aku mencoba memintanya, merendahkan harga diriku sebagai wanita hanya untuk bisa disentuh oleh suamiku sendiri, namun apa yang kudapatkan? Hanya penolakan yang dibalut dengan kata-kata pedas. Sangat menyakitkan.

“Jangan harap saya mau tidur denganmu, berdekatan saja rasanya saya jijik, jangan fikir karena kamu seorang dokter, kamu bisa menarik perhatian saya, cih, enggak sudi, lagipula, selama ini kami tau, kalau selain sebagai anak asuh bapak, kamu juga menjadi simpanannya, kan? Makanya dia selalu mensupport segala kebutuhanmu, kecil-kecil sudah murahan!” makinya begitu tajam.

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu, selain malu karena penolakan, hatikupun hancur, bagaimana bisa orang yang memiliki wajah sempurna sepertinya, bisa mengeluarkan kata-kata yang sangat buruk dan menyakitkan, kepada seseorang yang bahkan tidak dikenalnya. Mungkin aku memang beruntung karena bisa menjadi anak asuh pak Aldian, namun sungguh, tidak sekalipun aku melacurkan diri kepadanya.

Dia begitu peduli kepadaku laiknya seorang ayah kepada anaknya, begitupun caraku memperlakukannya, aku tidak pernah menggodanya apalagi menjadi simpanan orang sebaik pak Aldian. Cukup sudah harga diriku diinjak olehnya, sejak saat itu aku bersikap bagai orang asing di rumah suamiku sendiri.

Aku akan bicara seperlunya saja, kalau dulu saat di rumah aku suka berpakaian sedikit terbuka untuk menarik perhatiannya, sejak saat itu aku selalu memakai pakaian yang agak tertutup, cukup sudah dia merendahkanku, tidak akan ku biarkan sekalipun diriku untuk kembali mengemis sentuhan darinya, sekuat apapun pesonanya terpancar.

Aku lebih rela di hina sebagai wanita mandul, daripada difitnah sebagai wanita murahan, sungguh, aku tidak akan pernah melupakan kata-kata menyakitkan yang dia berikan kepadaku. Sampai kapanpun.

==========

Semua terdiam saat mendengar tante Yunita menghinaku, mengatakan aku hanya wanita mandul yang wajib menerima jika suamiku ingin menikah lagi. Sudah biasa, walaupun rasanya tetap sakit, lebih menyakitkan karena selama ini tidak pernah ada sedikitpun pembelaan yang Mas Damar berikan untukku. Dia hanya diam melihat istrinya dihina yang bahkan karena ulahnya.

Aku mencoba untuk menguatkan hatiku sekali lagi, mengingatkannya untuk tetap sabar dan memerintahkan mataku untuk tidak menangis, setidaknya jangan sekarang, mungkin nanti, beberapa saat lagi, asal jangan dihadapan semua orang.

Aku memilih terus melanjutkan langkah memasuki ruang tamu Eyang Uti, kemudian menghampirinya yang sedang duduk menatapkku dengan tatapan nanar, aku tau, Uti pasti ikut sedih karena melihatku selalu dihina oleh tantenya Mas Damar yang berarti adalah anaknya. Namun, bagai tidak berkutik, Uti hanya diam, sesekali mengusap bahuku untuk memberikan penguatan.

Uti memiliki tiga orang anak, yang pertama adalah ibu mertuaku, yang kedua tante Yunita, dan yang ketiga om Farhan. Di usia Uti yang sudah menginjak angka tujuh puluh dua tahun, Uti masih cukup terlihat sehat, meski ketika berjalan harus menggunakan tongkat, karena penyakit asam urat yang di deritanya, namun Uti bisa dikatakan contoh orang dulu yang sehat meski sudah tua.

Hubunganku dengan ibu mertua selama ini tidaklah hangat, terkesan hambar, beliau tidak pernah menunjukan respon suka atau tidak kepadaku, ibu juga tidak menolak atau menerima ketika bapak meminta anaknya menikahiku, datar, tapi yang jelas, aku merasa jika ibu termasuk yang menilaiku sebagai simpanan suaminya, sehingga membuatnya bersikap seperti ini kepadaku.

“Jangan diambil hati ya, Nak, Uti tau Saf dan Damar pasti sudah berusaha, urusan anak itu rejeki dari Allah, kalau memang belum dikasih yaudah, berarti kalian disuruh pacaran dulu, ya!” ucapan Uti selalu mampu membuat hatiku yang terhimpit menjadi sedikit lebih lega.

“Pacaran kok lama banget sampai dua tahun, Bu, ini sih memang si Safeea nya aja yang mandul, gabug, enggak bisa ngasih keturunan buat Damar. Ibu liat sendirikan, keluarga kita semuanya subur-subur, minimal punya anak dua, enggak ada tuh riwayat mandul kayak Safeea gini,” lagi-lagi Tante Yunita menghinaku dengan perkataan yang menyakitkan.

Cukup, aku sudah tidak tahan, aku memutuskan permisi ke kamar mandi, tidak sanggup rasanya berlama-lama berada di sana. Ku tumpahkan segala sesak di dadaku, aku menangis sepuas yang kumau, tanpa takut ada yang mendengar atau melihatnya. Sakit, sakit sekali, lebih sakit dari saat aku mendapat makian seorang senior ketika sedang ospek dahulu.

“Ayah, ibu, kenapa kalian ninggalin Safeea sendirian, kalau boleh meminta, ajak Saf untuk ikut kalian. Ayah, keberuntungan yang mengikuti Saf sepertinya sudah habis, hilang bersama kepergian pak Aldian. Di sini tidak ada yang sayang sama Saf. Aku sendirian, hu hu hu . . .” tangisku pecah karena merasakan sesak tiada tertahan.

Andai motor ayah tidak ditabrak seseorang yang tidak bertanggung jawab, pasti ayah dan ibu tidak akan meninggal, aku tidak akan terjebak pada hutang balas budi karena kebaikan yang pak Aldian berikan, aku tidak akan ada diposisi ini sekarang, menjadi istri yang tidak dianggap, menjadi menantu yang dimusuhi dan selalu dihina.

Jika boleh mengulang, ingin rasanya aku memperbaiki semuanya, tidak akan kubiarkan ayah mengajak kami berkeliling sore dengan motor kebanggaannya, tidak akan kubiarkan tubuh kecilku diabawa ke panti asuhan, tidak akan kubiarkan pak Aldian menjadikan ku anak asuhnya.

Tok tok tok!

“Saf, kamu di dalam?” tanya suara pria diluar kamar mandi.

Aku berusaha menekan suaraku agar berhenti menangis, tapi tidak bisa, sesaknya belum hilang, makin terasa jika kupaksa berhenti, tapi, aku tidak ingin seorangpun tau jika aku selemah ini. Allah, berikanku kekuatan.

“Saf! Kamu baik-baik aja di dalam? Buka pintunya, Saf!” siapa sebenarnya yang memanggilku, karena itu bukan suara mas Damar.

“Ya, sebentar!” ucapku akhirnya.

Aku bergegas mengapus air mataku, mencuci wajahku dengan air, tidak lupa aku membenarkan makeup yang sedikit rusak karena terkena air mata. Setelahnya aku menggunakan kacamata yang biasa kugunakan jika sedang bekerja, fungsinya selain untuk memfokuskan pandangan, juga bisa berfungsi untuk menutupi mataku yang sembab sehabis menangis. Sehabis itu baru aku membuka pintu kamar mandi yang sejak tadi diketuk.

“Hey, are you okay?” ternyata om Farhan orangnya, dia yang sejak tadi mengetuk pintu kamar mandi.

“Om, Farhan? Ya, saya baik-baik saja,” sahutku canggung, karena bagaimanapun dia adalah om dari suamiku, walaupun usianya hanya terpaut lima tahun dari mas Damar.

“Kamu habis nangis, Saf?”

“Ah, enggak, Om, maaf saya permisi dulu!” aku sengaja mengakhiri percakapan kami, tidak ingin rasanya jika sampai ada yang melihat kami sedang bicara hanya berdua saja, bagaimanapun, aku harus menjaga nama baik suamiku.

“Saf,” cegahnya.

“Lepaskan jika kamu sudah tidak kuat!” lanjutnya saat aku menghentikan langkah, masih dengan membelakanginya.

“Maksud om Farhan apa?” tanyaku bingung.

“Saya tau Saf, kamu tidak bahagia dengan Damar, kan? Lepaskan dia, biar kamu juga bisa bahagia dengan hidupmu,”

“Maaf, Om, Saf enggak ngerti,” tanyaku masih berpura-pura, aku tidak boleh terpancing, selama ini tidak pernah ada yang tau kehidupan rumah tanggaku kecuali mbok Minah.

“Saya tau kalau Damar masih menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya, saya yakin kamu juga mengetahuinya, kan?”

Bagai tersambar petir saat mendengarnya, aku berusaha menenangkan detak jantungku, tidak ingin bersikap seolah aku istri yang patut dikasihani. Aku memilih mengabaikannya dan masuk kembali ke ruang tamu di mana semua sedang berkumpul.

“Darimana kamu? Mojok sama om Farhan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status