Share

Bab 7 | Anggrek dan Cokelat

Jam di nakas menunjukan pukul lima pagi, saat samar-samar dirinya mendengar suara ketukan dari luar, dengan kesadaran yang belum sepenuhnya, Damar berjalan ke arah pintu untuk memutar kuncinya.

“Mau apa?” bentaknya saat melihat wajah Safeea yang sudah berbalut mukena, berdiri di depan kamarnya.

“Ma-maaf, Mas, saya cuma mau bangunin mas Damar untuk sholat subuh,” ucap Safeea takut-takut, saat melihat wajah garang suaminya.

“Enggak usah sok suci kamu, pergi!!” makinya lagi, masih dengan intonasi tinggi, membuat Safeea ketakutan dan memilih pergi.

==================================================================

POV Safeea

Pagi ini, setelah melaksanakan sholat shubuh, aku memilih untuk memejamkan mataku kembali, rasanya kepalaku sangat sakit, selain itu seluruh badanku terasa remuk, mungkin karena kemarin terlalu banyak menangis dan berjalan kaki cukup jauh sebelum mas Damar menemukanku di jalan. Selain itu semalam aku baru tiba di rumah sekitar jam dua pagi, jadi sangat wajar jika aku terbangun dengan kondisi tidak fit.

Sayup-sayup aku mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku, siapa lagi jika bukan bi Minah, dia pasti heran mengapa aku belum keluar kamar untuk membuat sarapan pagi ini. Segera aku melepas mukena yang masih kugunakan, entah mengapa aku begitu nyaman ketika tidur dengan menggunakan mukena, mungkin karena sejak dulu saat ayah dan ibuku baru saja meninggal, aku sering tertidur setelah menunaikan sholat isya, biasanya karena kelelahan menangis karena ditinggalkan mereka, makanya jadi tertidur di atas sajadah masih dengan mukena lengkap.

“Ya, Bi,” ucapku ketika membukakan pintu untuknya.

“Sudah jam setengah tujuh pagi, Bu, apa Mbak Safeea enggak berangkat dinas? Lalu sarapan mas Damar, gimana?” tanyanya dengan raut bingung, karena tidak biasanya aku telat bangun seperti ini.

“Dinas, Bi, saya ketiduran sehabis shubuh tadi, ini saya bikinin sarapan bapak dulu, nanti setelah itu saya baru siap-siap ke rumah sakit,” kataku seraya menutup pintu kamar dan membimbingnya mengikutiku ke dapur.

Mengingat sudah kesiangan, jadi ku putuskan untuk membuat sarapan yang simple saja, roti tawar yang ku panggang dengan isian telur dadar dan mozzarella, menjadi menu simple pilihanku pagi ini. Setelah selesai, tidak lupa ku siapkan orange juice sebagai minumannya. Saat sedang menata sarapan di meja, aku meminta bi Minah untuk melihat apa mas Damar sudah bangun atau belum.

Tapi baru saja Bi Minah akan menaiki tangga, Mas Damar sudah terlebih dahulu turun dari kamarnya. Pagi ini tidak seperti biasanya, Mas Damar memakai setelan casual untuk ke kantor, celana eans hitam dipadankan dengan kaos polo berwana putih, tidak lupa sebuah topi putih juga bertengger di kepalanya, wajahnya terlihat fresh sekali, sesekali aku melihatnya tersenyum sendiri, ada apa sebenarnya dengan suamiku.

Kehadiranku di meja makan sepertinya tidak ada pengaruhnya sedikitpun kepada Mas Damar, terbukti dia asik memakan sarapannya sambil sesekali berbalas pesan di ponselnya, membuatku penasaran setengah mati, menebak dengan siapa dia berkomunikasi sehingga membuat modenya sangat bagus pagi ini.

“Pagi ini tumben Mas Damar pakai pakaian seperti ini untuk ke kantor, apa mas ada acara di luar?” tanyaku untuk mengurangi rasa penasaranku.

“Bukan urusanmu,” sahutnya ketus

“Saya cuma nanya, Mas,”

“Sejak kapan kamu punya hak bertanya mengenai apapun yang saya lakukan di luar? Sudah saya bilang, walaupun kamu istri saya secara hukum dan agama, tapi saya tidak pernah menganggap kamu istri, jadi stop mencampuri segala urusan saya, paham?”

“Sa-saya_”

“Saya bilang stop!! Kamu membuat nafsu makan saya hilang saja!!” marahnya lagi seraya melempar garpu dan pisau potong yang sedang dipegangnya ke atas piring, sehingga menimbulkan suara gaduh. Aku setengah terkejut mendengarnya, terlebih saat dia pergi begitu saja tanpa menghabiskan sarapannya. Memang apa salahnya jika aku bertanya?

“Sabar ya, Mbak!, mas Damar aslinya baik kok, Mbak Safeea sabar ya!” ucap Bi Minah, membuatku sersenyum sumbang.

“Kurang sabar apa saya, Bi, sudah dua tahun dan hingga saat ini belum ada sedikitpun berubahan berarti,” sahutku lirih.

==================================================================

Setibanya di rumah sakit, setelah mengisi absensi aku masuk ke ruanganku, memakai jas putih yang semalam ku tinggal di sini, eh tapi tunggu, aku melihat ada sekuntum anggrek dan sebuah cokelat di atas mejaku, tanpa memeriksanya akupun sudah tau siapa pelakunya.

“Ciee dokter Safeea ada ngasih bunga sama cokelat nih, eh tapi kok bunganya angrek sih bukan mawar merah atau mawar putih?” tanya rekan profesiku sesame dokter.

“Dokter Vina tau siapa yang menaruh di sini?” tanyaku hanya untuk memastikan apa ada yang melihat saat dia meletakan hadiah ini di mejaku.

“Enggak sih, dok, saya datang sudah ada di situ, dari pacarnya ya? Dokter sini juga dong? Suda, gaskeun lah! Sudah cukup usia juga kok kalau menikah!!” ucapnya mengompori, ah andai dia tau jika aku sudah menikah dua tahun ini.

Pernikahanku dengan mas Damar memang tidak banyak yang tau, kecuali keluarga besarnya dan teman baikku, Tiara, selain itu tidak ada yang tau, ini persyaratan yang mas Damar ajukan, tidak ingin pernikahan kami terlalu di publikasikan, dan pak Aldian menyetujuinya asal dia mau menikah denganku. Miris memang, pernikahan yang seharusnya menjadi hal paling membahagiakan, nyatanya bagiku dan mas Damar hanya seperti aib yang harus di tutupi.

“Saya sudah menika kali, Dok!” ucapku seraya meninggalkannya terpaku mendengar pernyataanku.

“Eh serius, Dok? Kapan? Sama siapa? Kok enggak ada yang diundang? Cakep enggak suaminya? Berarti itu bunga saa cokelatnya dari siapa doang?” pertanyaan dokter Vinamembuatku sadar jika tadi aku sudah salah bicara, mas Damar sangat melarang jika rekanku ada yang mengetaui jika aku adalah istrinya.

“Ade, deh, rahasia, Sudah, ya! Saya mau visit ke pasien-pasien dulu!” kataku untuk menghindari pertanyaan Dokter Vina.

Ini kamar ke empat di mana aku melakukan visit, untuk memeriksa keadaan pasien yang sedang kutangani, di kamar ini ada tiga orang pasien yang semuanya adalah seorang wanita, aku lebih dulu memeriksa pasien yang berada paling pinggir ruangan, namanya Bu Imelda, beliau masuk rumah sakit dengan dengan keluhan sesak nafas dan nyeri di dadanya jika sedang bernafas. Bu Imelda ini memliki riwayat penyakit asma akut, jadi tidak heran jika beliau sekarang di rawat inap karena penyakit yang sama.

“Selamat pagi, ibu Imelda, bagaimana kabarnya hari ini? Sudah enakan nafasnya?” aku membiasakan diri untuk menyapa setiap pasien yang kutangani, berusaha mengingat namanya agar ketika ku panggil mereka merasa dikenali, itu salah satu cara pendekatanku sebagai dokter kepada pasien.

“Puji Tuhan, hari ini sudah makin membaik, Dokter, nafaspun sudah tidak terlalu sesak, saya mau cepat pulang rasanya, Ddok, kanget kali dengan anak-anak di rumah,” sahutnya dengan logat Medan yang kental.

“Syukurlah kalau begitu, kita lihat asil tensi ibu dulu, ya, jika sudah normal dan hasil lab kemarin keluar juga sudah tidak ada penyakit yang mengikuti, bu Imelda bisa kok pulang hari ini. Tapi janji, setelah pulang rajin minum obatnya, jangan bekerja terlalu lelah yang membuat sesak nafas bu Imelda kumat lagi, bisa ya?”

“Bisa dong, Bu Dokter cantik, senang kali saya rasanya di tangani sama Dokter Safeea, selain cantik, baik pula perangainya, andai saya punya anak laki-laki dewasa, sudah kuminta dia buat melamar dokter untuk jadi menantu saya!” kelakarnya, membuatku dan suster jaga yang mendampingiku ikut tertawa.

“Saya juga senang menangani bu Imelda, tapi saya lebih senang kalau bu Imelda sehat-sehat, jadi tidak perlu di rawat inap lagi, kan kasian anak-anak di tinggal,”

“Iya juga sih, Dok, ah, baiklah, saya sudah sehat ini, iyakan sus? Bagaimana hasil tensi saya?”

“Tensinya sudah normal, Bu, sudah bagus,”

“Na, kan, Dok, apa saya bilang? Pulang lah saya berarti?”

“Boleh, kita tunggu hasil lab yang kemarin dulu, ya!”

“Baiklah kalau begitu,”

“Saya permisi untuk periksa pasien yang lain dulu ya, Bu,” pamitku kepada Bu Imelda, dan segera menuju ranjang di sebelahnya.

Jadwal dinasku hari ini hanya sampai jam tiga sore, jadi aku memutuskan pergi ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan rumah, selain itu aku juga ingin membeli sepatu untuk dinas, karena sepatu yang kugunakan sekaran sudah agak kesempitan, maklumlah, sepatu ini aku pakai dari jaman interinship hingga kini, berarti sekitar empat tahun lamanya, jadi wajar jika aku membeli sepatu lagi.

Aku memasuki sebuah mall di kawasan Jakarta Selatan, setelah taksi online yang tumpangi menurunkanku di lobby, tujuan utamaku adalah toko sepatu, setelah itu baru ke supermarket. Aku memasuki toko demi toko untuk mencari sepatu yang cocok dengan seleraku, tentunya dengan harga yang masuk akal, aku tidak terlalu memikirkan merk, asal nyaman di pakai dan tidka membuat ATM ku menjerit itu sudah cukup.

Kali ini aku berhenti di salah satu toko yang menjual sepatu dan tas wanita, pelayan toko menyambutku dengan ramah, menanyakanku apa yang ingin ku cari, setelah mengatakan jika aku mencari sepasang sepatu, pelayan toko tersebut membimbingku ke salah satu ruangan yang menampilkan banyak koleksi sepatu di toko tersebut.

Teliti aku memilihnya, mulai dari warna dan ukuran, hingga aku menemukan yang sesuai dengan keinginanku, harganya pun amsih berada dibatas kewajaran menurutku. Segera aku meminta pelayan toko tersebut untuk mengambilkan sepatu yang ku inginkan untuk segera ku bayar, namun, saat ingin menuju ke kasir, aku seperti mendengar suara yang begitu akrab di telingaku.

Karena penasaran, aku mengikuti arah di mana suara itu berasal, rupanya ada di salah satu ruangan ganti dalam toko tersebut, aku menghapirinya karena jujur saja aku sangat mengenal suara ini, suara yang setiap hari ku dengar hanya membentakku, namun kali ini terdengar sangat lembut dan riang.

Jantungku berdegub kencang, membayangkan jika dugaanku benar, aku masih berharap jika ini bukanlah orang yang kumaksud, namun jika memang benar itu dia, apa aku snaggup meliahatnya? Namun rasa penasaranku lebih besar, jadi aku putuskan untuk melihat ke sumber suara, ternyata benar, itu memang suara Mas Damar, dia sedang menemani seorang wanita yang kuduga adalah kekasihnya, sedang berbelanja dan memili pakaian.

Melihatnya begitu bahagia saat bersama perempuan lain, nyatanya memang sesakit ini, dua tahun aku bertahan, tidak pernah sekalipun dia memberikanku sedikit senyumnya, tapi bersama wanit aitu, Mas Damar terlihat sangat bahagia, wajahnya cerah, seperti tidak ada beban yang ditanggungnya.

Apa aku harus mengalah, Mas? Agar kamu bisa bahagia terus dengannya?

Bersambung ….

Yuk … nantikan kelanjutan ceritanya ya kakak!

Jangan lupa like, komen dan kasih bintang lima di cerita Aku Istri yang Tidak Dianggap.

Dan jangan lupa follow akun author juga

Happy Reading semua 💚💚

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Lodya Fomeny
bagus tapi terlalu mahal 20 koin tambah lagi tidak dapat bonus
goodnovel comment avatar
Nur Aliq
aku suka jln ceritanya...
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
knp mesti bertahan...lepasin aj...cari kebahagiaan sndiri..cukup sdh pengabdianmu sm Pak Aldian..dripd makan hati d perlakukan kasar...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status