Share

Bab 5 | Darah Di Lenganku

Hujan mulai mereda, menyisakan rintik-rintik air yang masih sesekali jatuh menyentuh bumi, aku memilih melihat keluar jendela, memfokuskan netraku pada bias-bias air hujan yang menempel pada kaca jendela disebelahku. Dulu, saat masih kecil, aku sering sekali main air hujan bersama teman-temanku, kami begitu senang setiap kali hujan turun, namun, setelah kecelakaan saat itu, aku jadi begitu enggan dengan hujan, karena hal itu akan mengingatkan ku kembali pada peritiwa yang merenggut nyawa ayah dan ibuku.

Mas Damar baru mengurangi kecepatan laju mobilnya tepat ketika kami sudah menuruni jalanan berliku khas lewiliang, jangan tanya bagaimana perasaanku, takut, sangat takut, belum lagi Mas Damar mengendarai di tengah hujan deras, harus kuakui, skill menyetir suamiku ini di atas rata-rata, karena kalau tidak, pasti mobil kami sudah tergelincir dan masuk ke dalam jurang.

“Apa yang harus saya lakukan agar kamu tidak bersikap begitu jahat kepada saya?” tanyaku pelan, saat kami sudah memasuki tol Cipularang, sudah lama aku ingin menanyakan hal tersebut, namun tidak ada keberanian.

Cukup lama aku menunggunya menjawab, hingga aku mengira dia tidak akan menjawabnya, aku mengeluarkan ponsel dan earphone dari dalam tasku dan berniat mendengarkan musik, saat tiba-tiba aku mendengarnya berucap pelan, namun mematikan.

“Gugat cerai saya! Secepatnya!” jawaban yang di luar prediksiku, tidak pernah aku membayangkan untuk mempermainkan sebuah pernikahan, menikah kemudian bercerai.

“Tapi kenapa?”

“Kamu sudah tau jawabannya,”

“Saya tidak tau,”

“Naif sekali!!”

“Mas, sampai kapanpun saya tidak akan mau jika kita bercerai. Mungkin kita menikah karena terpaksa, tapi demi Tuhan, pernikahan bukanlah suatu permainan,” tolakku tegas.

“Bukankah kamu sudah mendapatkan segalanya?” pertanyaannya membuat kedua alisku bertaut.

“Maksudmu, apa?”

“Hubungan gelapmu dengan bapak, bukankah sudah membuatmu mendapatkan segalanya? Mengapa kamu masih mau menjebakku di pernikahan bodoh ini?”

“Sudah saya katakan, saya dengan bapak tidak ada hubungan spesial, beliau hanya orangtua asuh yang membiaya sekolah saya,”

“ dan membiaya semua kebutuhan hidupmu, kamu fikir saya tidak tau, huh?” katanya melanjutkan ucapanku.

“Mas, sumpah, saya tidak ada hubungan sekotor itu dengan bapak, dia orang yang baik, kenapa sih kamu bisa berfikir hal sepicik itu?”

“Picik? Pintar sekali kamu ngeles, ya? Kalau tidak ada hubungan apapun dengan bapak, mana mungkin dia begitu perhatian kepadamu? Memenuhi semua kebutuhanmu? Mendahulukan kepentingan dirimu daripada urusan anaknya sendiri, hah??” teriaknya penuh amarah.

“Sudah saya katakan saya tidak ada hub …,”

Brakk!!

Ucapanku terhenti karena terkejut, saat melihat Mas Damar meninju kaca jendela mobil di sampingku hingga retak hampir jebol, aku bisa melihat kemarahan di matanya kala padangan kami beradu, nafas kami sama-sama memburu, jika aku karena ketakutan, Mas Damar sudah tentu karena emosinya yang baru saja dia lampiaskan.

“Sudah saya bilang, jangan bohong pelac*r kecil!!” tekannya pada setiap kata yang dia ucapkan, membuat air mataku seketika jatuh tanpa bisa ku tahan, segitu hinanya kah aku di matanya?

Kali ini aku tidak membalas tuduhannya, aku memejamkan mata, menunduk untuk menutupi air mataku yang tidak mau berhenti, mengapa hari ini hidupku penuh dengan air mata? Aku masih bisa merasakan hangat nafasnya yang membelai wajah, menandakan dirinya belum beranjak dari hadapanku.

Aku terkesiap saat merasakan ada cairan dingin yang jatu mengenai lenganku yang terbuka, perlahan aku membuka mata untuk melihat apa yang menetes tersebut, terkejut, saat menyadari jika itu adalah cairan darah yang menetes dari tangan yang Mas Damar gunakan untuk meninju kaca jendela.

Gegas aku mengambil kotak P3K yang selalu ku simpan di kantong sarung jok mobil Mas Damar, aku berniat mengambil tangannya yang terluka untuk kuobati, saat tiba-tiba dia menepis tanganku, ya suamiku menolak ku sentuh, mungkin dia jijik.

Aku mengambil sarung tangan medis dan langsung memakainya, semoga dengan begini dia mau kusentuh, namun lagi-lagi dia menolaknya, membuatku hilang kesabaran.

“Mas, please! Biarkan saya mengobati luka kamu, itu darahnya terus menetes,” ucapku saat dia memilih untuk melanjutkan perjalanan kami yang tadi sempat terhenti.

“Enggak perlu, saya tidak sudi disentuh wanita murahan kayak kamu,”

“Bisa enggak kamu kalau bicara enggak nyakitin, Mas? Berapa kali harus saya katakan? Saya bukan simpanan pak Aldian, saya cuma anak yatim piatu yang dibawa ke panti asuhan, kemudian pak Aldian datang ke panti dan menawarkan saya untuk jadi anak asuhnya, tidak lebih,” ucapku dengan suara bergetar karena menahan agar tidak terus menangis.

“Saya sudah pakai latex, tangan saya enggak akan bersentuhan langsung dengan kulit Mas Damar, atau anggap aja saya cuma orang asing yang kebetulan lewat dan mau membantu mengobati luka mas Damar, please! Luka kamu bisa infeksi jika enggak langsung diobati,” ujarku setengah memohon.

Sepertinya caraku berhasil, Mas Damar menoleh sebentar kepadaku sebelum akhirnya dia meminggirkan kendaraannya. Setelah mobil berhenti, aku segera mengambil tangan kanannya yang terluka, meletakkannya diatas pahaku yang terlapisi maxi dress berbahan chiffon dengan motif bunga-bunga berwarna nude pink.

Setelah itu aku membuka kotak P3K untuk mengambil botol berisi cairan NaCl, menuangkan isinya ke kapas kering yang sudah kuambil terlebih dahulu, penuh hati-hati aku basuh lukanya yang tertutupi darah hingga bersih, sesekali aku melihatnya meringis menahan sakit.

Setelah bersih, aku memberikan cairan obat merah di lukanya, selanjutnya kubebatkan kasa tebal untuk menutupi lengannya yang terluka. Selesai, aku membereskan semua peralatan yang kugunakan dan membuang sampah bekasnya ke dalam kotak sampah yang memang ada di dalam mobil.

“Sudah selesai, Mas,” kataku saat menyadari kalau tangan Mas Damar masih bertengger di atas pahaku.

“Oh, bilang dong!” protesnya.

Mas Damar melanjutkan perjalanan, kali ini aku memilih diam dan enggan membicarakan apapun, aku fokus melihat pemandangan jalan tol yang seakan tidak putus-putus. Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul sembilan lewat tiga puluh lima malam, saat mobil kami baru saja memasuki gerbang perumahan tempat kami tinggal.

Ponselku yang di dalam tas bergetar, menandakan ada panggilan masuk, setelah kulihat ternyata dari nomer rumah sakit tepatku bekerja, segera kujawab panggilannya karena biasanya rumah sakit menelponku ketika sedang dalam keadaan darurat.

“Ya, dengan Dokter Safeea di sini,” ucapku untuk memulai percakapan.

“Malam, Dok, maaf mengganggu waktu liburnya, tapi kami butuh bantuan dokter, ada kecelakaan beruntun yang korbannya di bawa ke sini, tapi dokter jaga yang bertugas malam ini mendadak harus pulang sebentar karena ada urusan emergency, ada Dokter Jordy, tapi sepertinya tidak cukup, jadi kami menghubungi dokter untuk ke rumah sakit segera,” ujar salah seorang suster yang bertugas malam, sebagai seorang dokter aku tidak mungkin bisa menolaknya, karena kami disumpah untuk menjalankan tugas kami, kapanpun, di manapun.

“Baik, Sus, saya ke rumah sakit sekarang, harap tangani dulu yang kira-kira bisa kalian tangani sampai saya datang, ya!” putusku akhirnya sebelum mematikan panggilan.

Aku meminta Mas Damar untuk menuruniku di pinggir jalan, karena aku harus segera ke rumah sakit. Kalau kalian bertanya-tanya mengapa aku tidak meminta diantar olehnya, jawabannya adalah, hal itu tidak mungkin terwujud, sejak awal menikah hingga hari ini, sekalipun Mas Damar tidak pernah mengantar ataupun menjemputku ke rumah sakit, semalam apapun aku pulang dinas, tidak ada sedikitpun inisiatif darinya untuk menjemputku.

Selama ini aku selalu menggunakan angkutan umum, atau taksi online untukku berpergian, termasuk ke rumah sakit, jangan fikir seorang dokter itu pasti memiliki penghasilan yang besar, tidak, apalagi, aku hanyalah dokter muda yang baru saja bekerja di rumah sakit.

Aku juga masih harus membiaya kuliah spesialisku sendiri yang baru berjalan dua tahun, aku memang mendapat beasiswa, namun tetap saja membutuhkan banyak biaya untuk keperluan penelitian dan kuliah lainnya. Itulah mengapa aku lebih memilih menggunakan uang gajiku untuk tabungan pendidikan spesialisku daripada harus mecicil mobil.

Selama menikah, Mas Damar memang memberikan nafkah dengan memberikan debit card nya kepadaku, namun hingga saat ini sepeserpun belum pernah aku gunakan. Enggan rasanya menggunakan uang dari orang yang selalu saja menghinaku dan bahkan sangat tidak menginginkan aku ada di hidupnya.

Beruntung, turun dari mobil Mas Damar, aku langsung menemukan tukang ojek yang sedang mangkal, segera aku memintanya untuk mengantarku ke rumah sakit. Setibanya di sana, aku langsung di hadapkan pada pemandangan yang memprihatinkan, cukup banyak pasien yang mengantri untuk di tangani.

Aku segera menggunakan jas putih kebanggaanku dan menuju ruang IGD untuk memberikan pertolongan kepada pasien kecelakaan. Aku melihat Dokter Jordy sedang membebat kasa pasien pria dengan luka di pelipisnya.

Cukup lama waktu yang kami butuhkan untuk melakukan pertolongan, selain aku dan Dokter Jordy, kami juga dibantu oleh dokter jaga yang bertugas malam ini. Sekitar pukul satu dini hari kami selesai, aku bergegas keluar dari ruangan IGD dan hendak masuk ke dalam ruanganku, saat dari bekalang terdengar suara pria yang dulu pernah akrab di telingaku.

“Heii! Terima kasih sudah mau membantu,” ucapnya yang membuatku menghentikan langkah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status