Share

Bab 2 | Dikira Mandul

Suara ketukan dari luar membuatku tersadar dari lamunan, aku mempersilahkan mbok Minah masuk ke dalam kamar, beliau adalah asisten rumah tangga di rumah ini, sebelum bekerja bersamaku, mbok Minah sudah lebih dulu bekerja di kediaman mertuaku. Sejak kecil suamiku diurus olehnya, tidak heran, saat kami menikah dan tinggal di rumah pemberian pak Aldian yang notabene adalah mertuaku, mas Damar meminta mbok Minah untuk ikut bersama kami.

“Mbak, bahan masakan yang mbak Saf pesan sudah diantarkan sama tukang sayur, mbak Saf mau masak sekarang?”

“Oh, iya, Mbok, sebentar lagi saya ke dapur, mbok duluan saja!”

“Baik, Mbak!”

Setelah merapikan pakaian yang ku kenakan, aku segera beranjak dari kamar untuk masuk ke dapur dan membuat sarapan untuk suamiku. Mbok Minah memang asisten rumah tangga di sini, namun untuk urusan perut suamiku, aku akan berusaha untuk selalu menyiapkannya sendiri, mengenai pakaian, aku juga yang mencuci pakaian mas Damar dan pakaianku, tugas mbok Minah hanya membereskan rumah dan menggantikan tugasku memasak jika aku sedang tidak bisa pulang ke rumah karena jadwal yang padat di rumah sakit.

Pagi ini aku memasak makanan favoritnya mas Damar, spesial untuk merayakan hari jadi pernikahan kami yang kedua, walaupun aku yakin dia tidak akan mengingatnya, setidaknya aku masih berusaha untuk mencoba, manusia tidak akan pernah tau kapan keberuntungan datang kepadanya, kan?

Selesai menata makanan di meja makan, aku segera menuju ke kamar suamiku untuk membangunkannya, walaupun tidur terpisah, mas Damar tidak pernah melarangku untuk masuk ke dalam kamarnya, sebenarnya akhirnya dia tidak melarangku. Dulu, saat awal pernikahan kami, aku yang ketika itu ingin membersihkan kamarnya justru mendapat makian darinya, dia bilang aku tidak berhak masuk dan menyentuh semua barang-barang miliknya yang ada di dalam kamar.

Namun, suatu ketika mbok Minah secara kebetulan mengalami sakit yang cukup lama, sehingga tidak bisa bekerja, kamarnya yang sangat berantakan akhirnya membuka jalan bagiku untuk mendapatkan ijin agar bisa masuk ke dalam kamarnya. Maklum saja, mas Damar tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga walaupun hanya membereskan kamar tidurnya saja.

Tok tok tok!

Aku mengetuk pintu kamarnya, seperti biasa, tidak akan pernah ada jawaban, aku memutuskan untuk langsung masuk saja ke dalam kamar, melihatnya masih tertidur pulas di atas ranjang berukuran kingnya tersebut, adalah kesempatan emas bagiku untuk memandang wajahnya yang tampan. Tidak bisa kupungkiri, mas Damar adalah impian semua wanita, semua.

Semua yang diinginkan wanita ada di diri suamiku. Wajahnya yang tampan dengan kulit putih bersih, bentuk wajahnya seperti terpahat sempurna, hidungnya yang menjulang berpadu indah dengan mata elangnya, aku sempat berfikir, Allah terlalu baik kepada manusia dingin ini.

Mas Damar merupakan sosok sempurna dari gambaran kriteria suami idaman, selain memiliki fisik yang tiada minus, dia juga kaya raya, warisan yang ayah mertuaku berikan untuknya cukup banyak, dia juga cerdas, terbukti dari banyaknya piala akademis maupun non akademis yang dia miliki.

Selain itu, dia juga memiliki kekasih yang sangat cantik, ya, kalian tidak salah membaca, suamiku memiliki wanita idaman lain, oh salah, lebih tepatnya, suamiku sudah lebih dulu memiliki wanita idaman lain, jauh sebelum dia dipaksa menikah denganku.

Jika aku menerima permintaan pak Aldian karena balas budi, mungkin Mas Damar-ku terpaksa menerima perjodohan ini karena terancam akan kehilangan segala asset yang dimiliki ayahnya. Ya, aku pernah mendengar pertengkaran mereka saat pertama kali pak Aldian membawaku ke rumahnya untuk diperkenalkan dengan Mas Damar.

Saat itu Mas Damar menolak habis-habisan rencana perjodohan yang diinginkan pak Aldian, hingga akhirnya pak Aldian mengancam akan mencabut semua fasilitas yang selama ini Mas Damar gunakan, hingga ancaman mencoretnya dari daftar ahli waris. Hal itu membuatku kaget, sebegitu inginkah pak Aldian menjadikan aku menantu hingga dia rela menghapus anak lelaki satu-satunya dari daftar penerima harta warisan yang dia miliki?

Nyatanya, ancaman itu berhasil, Mas Damar menyetujuinya, menikah denganku sebulan setelah pertemuan pertama kami. Namun, inilah konsekuensi yang harus kuterima, di malam pertama kami, Mas Damar justru pergi meninggalkanku selama sepekan lamanya, setelah ku selidiki, ternyata dia pergi berlibur bersama kekasihnya.

Miris memang, namun akupun sudah terlanjur tercebur dalam lubang keterpaksaan ini, aku tidak mungkin menolak dan mengecewakan orang yang sudah sangat berjasa dalam kehidupanku.

Aku masih betah memandangi wajah suamiku, dia terlihat polos dan sangat manis ketika sedang tertidur seperti ini, beda sekali ketika dia sedang dalam keadaan sadar, dia akan berubah jadi mahluk paling menyebalkan untukku, selain dingin, ketus, dia juga tega, seringkali dia mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hatiku.

“Happy anniversary, Mas, semoga pernikahan kita langgeng sampai ke surga! Hufft, kapan ya, Mas, kamu bisa nerima aku untuk seutuhnya menjadi istri kamu, sudah dua tahun aku bertahan, tapi sedikitpun tidak ada perubahan dari sikap kamu terhadapku,” bisikku lirih, sangat pelan, agar hanya aku yang bisa mendengarnya.

Gejolak untuk mencium Mas Damar sangat kuat, namun keberanian yang ku miliki tidaklah cukup, aku takut jika dia tiba-tiba terbangun dan tau jika aku menciumnya. Dua tahun diabaikan tanpa sediktipun mendapat sentuhan, sedikit banyak membuatku tersiksa saat hasrat ingin disalurkan. Bukankah normal bagi seorang istri sepertiku menginginkan mendapat nafkah batin dari suaminya? Ah aku terlalu bermimpi, sampai kapanpun rasanya mustahil Mas Damar akan memberikannya kepadaku.

“Mas, bangun! Sudah jam tujuh, pagi ini kita kan harus ke rumah Uti,” kataku akhirnya saat berhasil menekan keinginan untuk mengecup bibir seksinya.

Matanya mengerjap, kemudian terbuka perlahan, seperti biasanya, dia akan langsung tersadar penuh, melakukan sedikit peregangan khas orang yang baru bangun tidur, seksi sekali.

“Pakaian mas Damar sudah saya siapkan, setelah mandi saya tunggu di bawah untuk sarapan, permisi,” kataku memberitahu, gaya bicaraku dengannya memang sangat formal, karena memang tidak ada hal spesial diantara kami.

Aku beranjak untuk meninggalkannya, namun masih berharap dia mengingat moment penting hari ini dan mengucapkannya kepadaku, nihil, hingga tubuhku melewati pintu kamarnya, tidak kudengar sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya.

Sambil menunggu mas Damar mandi dan bersiap-siap, aku memutuskan untuk menyiram bunga di taman mini yang sengaja ku buat di belakang rumah. Taman ini merupakan tempat favorite ku untuk menyendiri, di sini aku bisa melamun semauku sembari menatap bunga dan tanaman yang ku tanam sejak aku pindah ke rumah ini.

Rumah ini sebenarnya tidak terlalu besar, rumah dua lantai bergaya minimalis yang pak Aldian siapkan untukku dan mas Damar di bangun di lahan seluas 150 meter saja, terdapat satu kamar utama di lantai atas, dan dua kamar tamu di lantai bawah, aku menempati kamar tamu utama, sedangkan kamar tamu yang satunya digunakan mbok Minah.

Di lantai atas, selain ada kamar utama yang ditempati mas Damar, juga ada sebuah perpustakaan pribadi yang juga sering kugunakan sebagai ruang kerjaku, sedangkan mas Damar? Dia tidak pernah membawa pekerjaan kerumah, jangankan pekerjaan, bahkan dia sendiripun juga jarang pulang.

============

Kami sudah dalam perjalanan menuju kediaman rumah neneknya Mas Damar di Bandung, setiap sebulan sekali akan diadakan acara arisan keluarga yang tempatnya berpindah-pindah, tergantung siapa yang mendapat giliran menang arisan. Biasanya pada momen seperti ini adalah hal yang paling aku tunggu sekaligus aku hindari.

Hal itu karena, ketika berkumpul dengan keluarga besarnya, Mas Damar akan memperlakukanku laiknya seorang istri, dia akan berpura-pura perhatian dan mencintaiku, menyakitkan memang, tapi aku cukup merasa senang, setidaknya ada moment di mana aku mendapatkan perlakuan manis dari suamiku sendiri.

Sepanjang perjalanan yang kami tempuh dari Jakarta ke Bandung, hanya dilalui dengan saling diam, tidak ada pembicaraan selain suara musik dari radio yang mas Damar putar, selalu begini, sedikitpun Mas Damar enggan memulai percakapan denganku, dia baru akan melakukannya jika sedang bersandiwara di hadapan keluarganya.

Kami sudah tiba di kediaman Eyang Uti, sudah banyak mobil berjejer di sana, tandanya sudah banyak keluarga yang hadir, aku juga melihat mobil yang biasa ibu mertuaku gunakan, terparkir apik di sana. Aku bergegas turun dari mobil dan mengejar mas Damar yang sudah turun lebih dulu. Ku sejajarkan langkahku dengannya, membuang rasa cemas yang menyelimuti.

Sudah dua tahun kami menikah, namun hingga saat ini aku belum memiliki kedekatan yang berarti dengan keluarga besar mas Damar, hanya dengan Uti dan pak Aldian, sayang, bapak mertuaku meninggal tepat dua bulan aku dan Mas Damar menikah. Sejak saat itu, hanya Uti yang perhatian kepadaku, walau tempat tinggal Uti di Bandung dan aku di Jakarta, Uti seringkali menghubungi hanya untuk menanyai kabarku.

“Ingat, jangan banyak bicara, jangan menjawab pertanyaan apapun tanpa saya suruh!” inilah yang selalu Mas Damar ingatkan kepadaku, setiap kali kami berkumpul dengan keluarganya.

“Assalamu’alaikum, hai semua!” sapa Mas Damar ketika memasuki rumah Uti.

“W*’alaikumusalam, ciee ada pengantin baru nih, sini-sini masuk!” sahut salah seorang sepupu Mas Damar.

“Pengantin baru apanya? Sudah nikah dua tahun kok masih dibilang pengantin baru, sudah lama itu, sudah cukup waktu jika mau punya momongan! Ingat Mar, laki-laki boleh lho menikah sampai empat kali, apalagi kalau istrinya terbukti mandul, enggak bisa kasih keturunan buat suaminya, ya kayak istrimu ini,” nyeess! Inilah hal yang paling ku hindari setiap kali ada acara kumpul keluarga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status