Share

Air Mata Diandra
Air Mata Diandra
Penulis: Ephit Fitria

1.Emosi Bimo dan Sikap Tempramennya

"Akh... ampuun Mas... ampun, apa salah Di Mas." Bimo yang baru pulang dari kantor langsung menarik rambut Diandra yang sedang tertidur di kamarnya, menyeretnya keluar lalu melemparkan tubuhnya kelantai hingga bersimpuh di kaki sang Ibu.

"Minta maaf sama Mama, seenaknya kamu tidur tiduran dikamar sementara Mamaku yang harus membersihkan rumah dan mengerjakan semuanya!"

Diandra menatap wajah Ibu Mertuanya, ada senyum licik terurai disana.

Dalam hati Diandra membatin, "Mas Bimo andai engkau tau yang sebenarnya. Ah, sudahlah tak mungkin juga dia lebih percaya kepadaku daripada ibunya." Gegas Diandra mencium tangan ibu mertuanya itu.

"Maafkan Di ma, Di ketiduran," ujarnya seraya menghapus air mata.

"Bangun Di, sudah nggak apa apa, Bimo kamu juga jangan keterlaluan sama Diandra, Mama nggak apa apa kok. Sudah menjadi kewajiban Mama juga bukan, karena mama cuma numpang disini." Sang ibu memasang mimik muka sedih. 

"Ma, ini rumah Bimo, Mama nggak numpang disini. Ini rumah Mama juga, sudah Mama skrng istirahat yaa biarkan Diandra yang mengerjakan semuanya."

Bimo melotot kepada Diandra. 

"Sekali lagi saya lihat Mama yang mengerjakan semuanya, awas kamu Di!" ancam Bimo kepada istrinya itu seraya berlalu.

Diandra hanya diam mematung, padahal ia hanya tertidur setengah jam saja. Dari pagi setelah kepergian Bimo ke kantor, dia mengerjakan semua pekerjaan rumah tak henti-hentinya, menyapu mengepel mencuci baju orang serumah termasuk baju kak Sita dan kedua anaknya. Diandra merasa tidak enak badan hingga akhirnya tertidur sebentar, tapi malah seperti ini jadinya.

"Ah kenapa Mas Bimo menjadi terlalu kejam sekarang, Mas Bimo berubah semenjak ibu dan kak Sita masuk dalam kehidupan rumah tangga kami."

Gegas Diandra membersihkan rumah, membereskan mainan kedua anak Kak Sita, Khenan yang usianya baru menginjak lima tahun dan si cantik Riana tiga tahun.

Sehari-harinya bahkan dia yang mengasuh kedua anak ini, tetapi itu tak menjadi masalah baginya, karena itulah yang menjadi hiburan Diandra satu satunya dirumah ini. Melihat tingkah lucu dan menggemaskan mereka berdua.

"Ya Allah kapan aku bisa hamil," batinnya.

***

Malam harinya, Diandra semakin merasa tak enak badan, demam tinggi dan menggigau.

Bimo yg melihatnya menjadi tak tega, menyesal telah memarahinya dan berbuat kasar.

"Ah... Kenapa aku selalu tak bisa menahan emosiku," batin Bimo.

"Di, bangun sayang. Kita ke Dokter ya, badan kamu panas sekali," ujar  Mas Bimo panik, sembari meraba kening Diandra cemas dan khawatir itu yang dirasakannya.

Gegas dia turun ke bawah menuju kamar Ibunya, pasti Ibunya lebih mengerti dan faham apa yang mesti dilakukan. Dengan panik Bimo mengetuk kamar sang Ibu.

"Ma... Mama... tolong Bimo Ma!" ujarnya dengan sedikit berteriak.

Mama terbangun dari tidurnya seraya membuka pintu.

"Iya Bim, ada apa," Mama ikutan panik.

"Diandraa Ma... Badannya panas tinggi dan menggigau. Bimo takut terjadi sesuatu padanya Ma."

Mama Bimo terlihat sedikit lega, tadinya dia fikir takut terjadi apa apa pada Bimo, ternyata hanya karena Diandra yang demam. Huhh...

"Berlebihan sekali Bimo ini," batinnya namun dia ikut berpura-pura panik, sembari gegas menuju kamar anak dan menantunya.

***

"Sudah nggak perlu dibawa ke rumah sakit yaa, Diandra hanya butuh istirahat mungkin dia kecapekan tadi sore. Kamu juga tidak boleh terlalu kejam padanya Bim," ujar sang mama sembari memeras handuk kecil dan menempelkan kembali ke kening Diandra.

Hati Bimo tenang sekali melihat ini semua. Dia berfikir bahwa Ibunya begitu amat menyayangi menantunya itu. Padahal...

"Makasih ya Ma. Mama segalanya buat Bimo."

Bimo memeluk Ibunya.

"Tak akan aku biarkan Diandra merebut Bimo dariku, perhatiannya kasih sayangnya apalagi uangnya. Oh tidak aku tak dapat membayangkannya. Bimo, dia anakku! Aku yang membesarkannya dengan darah, air mata dan tetes keringatku sendiri .Sedang kau, hanya orang baru dalam hidupnya Diandra!" batin sang Ibu.

****

"Ma Bimo berangkat kerja dulu ya, tolong jaga Diandra ya Ma. Mama juga jangan cape cape melakukan pekerjaan rumah, atau apa perlu Bimo carikan pembantu?" tanya Bimo sembari mencium tangan sang Mama.

"Ohh itu, nggak perlu Bim. Biarin nanti Mama sm Kakak kamu yang ngerjain." Elak Mama cepat, "ahh untuk apa pembantu jika si Diandra itu bisa dijadikan babu," batinnya.

"Baik Ma, tapi mama janji jangan cape cape yaa.. Bimo berangkat ma."

"iyaa sayang."

***

"Heh... Diandra bangun!"

Mama Bimo mengguncang kuat pundak Diandra yang sedang tertidur.

"Enak ya, semalaman saya di suruh ngurusin kamu sampai nggak tidur. Sekarang kamu beresin itu dapur cucian piring sm cucian baju," perintah Mama, dengan mata yang melotot. Sungguh membuat Diandra takut tak punya nyali sama sekali untuk melawan. Percuma membantah pun yang ada Mama akan semakin kasar dan menyiksanya.

"Iya Ma, Diandra segera turun kebawa." Diandra beranjak dari tempat tidur, padahal kepalanya masih terasa begitu berat.

***

"Mamaaaa... sakit kepala dede," teriak Riana kecil menangis, dia terjatuh ke belakang dan kepalanya terbentur lantai, rupanya dia terpeleset menginjak lantai yang sedang di pel Diandra. Gegas Diandra menggendok Riana membelainya dan menciuminya, tangganya gemetar ketakutan. Takut akan kemarahan Mama mertuanya dan Kak Sita.

"Ah... Kenapa Kak Sita tak menjaga anaknya, padahal dari tadi dia hanya bermain ponsel," batin Diandra.

"Maafkan tante sayang, maafin tante ya." Tak henti Diandra menciumi pucuk kepala Riana, dan mengusap belakang kepalanya. Tangis bocah itu mereda.

Benar saja Mama dan Kak Sita datang dengan mata melotot. Dan dengan kasar mama merebut Riana kecil dari gendongan Diandra, sedang kak Sita dengan cepat menarik rambut Diandra.

"Kamu nggak ikhlas ya ngerjainnya ini semua, hah! ngepel aja nggak beres. Bisa-bisanya Riana jatuh, oohh apa kamu sengaja!" teriak Kak Sita, tangan satu kiri menjambak rambut Diandra, serta tangan sebelah kanan menampar pipi Diandra. 

Diandra menangis sembari memohon maaf.

Bukannya mereda Kak Sita semakin marah dan mendorong tubuh Diandra hingga terbentur kaca meja makan.

Diandra pingsang darah mengucur dari dahinya.

Kak Sita kaget dan panik, bukan... bukan karena iba pada Diandra melainkan hanya takut pada adiknya Bimo. Sita tau, walaupun Bimo terkadang kasar pada adik iparny ini, tapi Bimo sangatlah mencintai istrinya. Kekasaran Bimo pada Diandra hanyalah karena disebabkan tipu daya mama dan dirinya.

"Ma, Mama, tolong Sita Ma!" teriak Sita dengan panik. Sang Mama menurunkan Riana dari gendongannya dan menaruhnya disova. Setengah berlari gegas menuju ruang makan menghampiri Sita.

"Sita... apa-apaan kamu hah. kamu mau membunuh dia," Mama yg terkejut ikut ikutan panik.

"Sita nggak sengaja Ma, Sita dorong terus kena meja, gimana ini Ma nanti ketahuan sama Bimo," teriak Sita panik.

"Hadu, kamu benar-benar cari masalah lagian, jangan sampai Bimo tau ini. Bisa-bisa dia akan membenci kamu, mengusir kamu dari rumah ini, mau kamu!" ujar Mama jengkel.

"Iih... mama kok ngomong gitu sih, amit-amit Sita nggak mau balik lagi ke kampung terus tinggal di rumah tua peninggalan Papa itu lagi!" jawab Sita jengkel.

"Ya sudah kamu bantu Mama, angkat diandra kita obatin lukanya."

"Nggak dibawa ke rumah sakit aja Ma, atau klinik diujung komplek," Sita memberi saran pada sang Mama. 

"Ngapain, kamu itu ya... nggak mikir apa hah, buang buang duit kita aja."

***

Hmm... gimana ya keadaan Diandra, dan apakah Bimo akan tau kejadian yang sebenarnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status