Bab 2: Saya Yang Salah
“Kalau kamu mau menelepon polisi, silahkan!”
“Akulah polisi itu!”
Mendengar itu, tiba-tiba saja Hekal tersentak. Telinganya bagai tersengat lebah, wajahnya seketika menegang dan terperangah. Beberapa saat ia mematung. Tangannya juga ikut mematung, dengan ponsel tergenggam dan layarnya menyala.
Pelan-pelan ia menoleh pada Olive.
“Benarkah wanita ini seorang polisi? Seorang Polwan?” Tanya Hekal dalam hati.
Ia lalu menyipitkan matanya, untuk menajamkan pandangan dan menaksir si wanita dari penampilan dan posturnya. Tinggi badan? Lumayan tinggi, di atas rata-rata kebanyakan wanita. Gemuk? Tidak. Langsing? Iya.
Rambutnya? Pendek! Hanya sepangkal leher, dan itu ciri kuat dari seorang Polwan! Tambahan lagi, dengan amat percaya dirinya Olive lantas meneror Hekal dengan kata-katanya.
“Ayo, Abang ojek, silahkan kalau mau menelepon polisi! Saya persilahkan!”
“Silahkan saja Mas, Bang, Uda, Beli, Lae, Aa, Kakanda.., silahkan mau ngomong apa. Polisinya sudah ada di sini!”
Mendadak saja Hekal menjadi gugup, grogi, dan serba salah. Keyakinan pada kebenaran yang dia pegang tadi, secara perlahan mulai memudar. Sejurus dia meragukan keadaannya sendiri, juga ragu pada Olive.
Namun, melihat sikap penuh percaya diri Olive yang kemudian bertolak pinggang, dengan pandangan matanya yang tajam, juga dengan gesture tubuhnya yang begitu tegas dan sangat meyakinkan, Hekal mulai cemas dengan dugaannya sendiri. Lagipula, wajah Olive yang sedikit mendongak angkuh itu secara psikologis memang mulai menekan mental Hekal.
“Apakah aku harus menunjukkan kartu tanda anggota kepolisian supaya kamu percaya??” Tanya Olive ketus dengan sikapnya yang makin pongah.
Hekal menelan ludah. Bersamaan dengan itu, suara dering terdengar dari ponsel yang sedang ia pegang di tangan kanan. Sebentar ia mengangkat ponsel untuk melihat layarnya, tapi kemudian ia turunkan lagi untuk kembali menghadapi Olive.
“Haah?? Apa aku harus menunjukkan seragamku supaya kamu percaya bahwa aku adalah polisi??”
Hekal menundukkan wajahnya, menoleh kanan dan kiri berusaha menghindari tatapan tajam Olive yang terasa amat menikam. Ia mundur beberapa langkah, lalu berhenti di samping motornya yang berdiri dengan dua stander tepat di depan pintu toko yang kosong.
“Heii, Bro! Kenapa tiba-tiba kamu diam??” Kejar Olive terus mendekati Hekal. Gadis patah hati yang tengah dijerang emosi ini pun membusungkan dadanya, yang tadi nyaris terjamah oleh tangan Hekal.
“Jawab pertanyaanku! Apa aku harus menunjukkan tanda pangkatku supaya kamu percaya bahwa aku adalah polisi??”
Kemarahan Olive semakin memuncak saja. Rasa kecewa, kesal, dan sedih akibat pertengkarannya dengan Barry belum lama berselang membuat ia tidak sadar telah melewati batas amarah yang pernah ia lakukan.
Beberapa orang dari warga sekitar secara perlahan-lahan mulai menjauh. Mereka tidak ingin mencampuri urusan dua orang yang tengah bersitegang ini. Namun, masih ada juga satu atau dua orang yang menyaksikan dari jarak yang tidak terlalu dekat.
Ponsel Hekal berdering lagi, dan hal itu membuat ia menjadi serba bingung dan bimbang. Menghadapi Olive, ia semakin kecut saja. Sementara mendengar dan melihat ponselnya yang terus saja berdering, ia tampak cemas dan takut.
“Hei, Bro! Tadi kamu begitu gagah membentak-bentak aku, tapi kenapa sekarang kamu tiba-tiba bisu?? Ayo jawab!” Olive semakin membusungkan dadanya, membuat Hekal semakin takut, panik dan pucat.
“Apa aku harus menunjukkan baju dinasku?? Lambang kebesaranku?? Dan logo kesatuanku??”
Hekal kecut sejadi-jadinya. Ia sadar, tidak mungkin orang bisa memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi jika dia hanya berbohong. Ia mulai percaya bahwa Olive adalah seorang polisi, atau Polwan. Dalam waktu yang amat singkat ini ia pun menyangkal kebenaran yang tadi sempat ia pegang.
“Mungkin memang aku yang salah,” katanya dalam hati.
“Jarakku mungkin yang lebih jauh dari titik persimpangan. Mungkin karena melamun aku tidak melihat sorot lampu dim dari mobil si Kakak Polwan ini. Iya, mungkin aku yang memang tidak melihat lampu seinnya.”
Wajah Hekal semakin tampak panik seakan ada yang mengejar dirinya. Ponsel dalam genggaman lagi-lagi berdering. Siapa pun dia di seberang sana yang sedang menghubungi Hekal, pastilah mempunyai urusan yang sangat penting.
Terlebih dulu menelan ludah, akhirnya Hekal beranikan diri untuk mengatakan sesuatu pada Olive. Namun, kali ini dengan suara yang lembut dan rendah. Ditambah, sekarang ia menggunakan ‘kakak’ lagi.
“Begini, Kak. Mungkin saya yang salah..,”
“Memang kamu yang salah, kok!” Sambar Olive.
“Iya, iya, Kak. Saya memang salah. Saya minta maaf. Saya mohon, maafkan saya ya Kak? Saya.., saya..,”
“Naaaah.., ngaku kamu sekarang ya??!”
“Iya, iya, Kak. Saya mohon, maafkan saya. Saya mohon jangan diperpanjang masalah ini. Kehidupan saya sudah sulit dalam beberapa bulan ini. Jujur, saya tadi juga tidak terlalu fokus di jalan, sehingga..,”
********
Bab 3: Bahasa Isyarat “Jujur, saya tadi juga tidak terlalu fokus di jalan, sehingga..,”“Naah..! Kalau ngomong baik-baik begini kan, enak! Ini, tidak! Kamu yang salah, kamu pula yang mencak-mencak!”Seingat Hekal, Olive-lah yang lebih dulu mencak-mencak, dan terus saja mencak-mencak, sampai sekarang! Akan tetapi, apa daya? Hekal sudah tak berkutik ditikam pandangan mata Olive yang tajam, dan juga terus dikejar oleh dering ponselnya yang lagi-lagi menyala.“Iya, Kak. Saya akui saya khilaf,” kata Hekal lagi dengan suara yang memelas.“Namanya saja manusia, Kak, tempatnya salah dan dosa. Kita selesaikan masalah ini dengan cara kekeluargaan saja ya, Kak?”“Aku tak mau jadi keluargamu!” Ketus Olive mengulang kalimatnya yang tadi. Sambil buang muka pula. Hekal mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, lantas maju perlahan.“Saya mohon, tolonglah Kak. Kakak Polwan yang cantik.., saya mengetuk pintu hati Kakak. Saya akan bertanggung jawab atas masalah ini. Saya akan mengganti biay
Bab 4: Sepotong Kisah Dari Seberang Telepon Olive memegang lingkar kemudi mobilnya. Sedikit memajukan posisi tubuh, kepalanya sedikit mendongak ke depan untuk terus menyaksikan Hekal. Hati Olive sudah bulat sekarang. Ia masih belum ingin pergi dari situ.Sejauh yang Olive ingat, ia mengetahui bahasa isyarat hanyalah dari televisi. Ia kemudian menyadari ada sesuatu yang menarik dari diri Hekal, si penutur bahasa isyarat itu. Menurut Olive, wajah Hekal tampak lucu, dan itu membuatnya sedikit gemas. Sang Polwan ini menduga Hekal sedang memarahi atau mengomeli orang tunarungu di seberang teleponnya itu.Ah, Olive semakin penasaran saja. Pelan-pelan ia membuka pintu mobilnya kembali dan keluar. Tanpa menimbulkan suara ia berjalan perlahan menuju Hekal, yang terus asyik dengan pembicarannya di telepon. Sampai-sampai lelaki si driver Ayo-Jek itu tidak menyadari keberadaan Olive yang telah berdiri di sampingnya, sedikit menyisi ke arah belakang.Olive memiringkan kepalanya sedikit. Matanya m
Bab 5: Foto Jelek Ibu Polwan Beberapa saat kemudian, pembicaraan Hekal dengan adiknya di telepon pun berakhir. Driver ojek daring itu masih belum menyadari keberadaan Olive yang berdiri tak jauh di belakangnya.“Ehemm!” Olive berdehem.Hekal terkejut. Ia sampai terlonjak dari posisi duduknya di lantai teras toko. Ia semakin terkejut setelah balikkan badan lantas mendapati Olive berada di belakangnya. Ia kembali tundukkan wajah, dan menelan ludah. Bingung harus apa dan bagaimana, Hekal merasa serba salah.Masih dalam keadaan berdiri, Olive mencabut kartu identitas miliknya sendiri dari dompet dan melungsurkannya pada Hekal.“Ini KTP saya,” katanya dengan wajah dan suara yang datar.“Besok, kamu bawa motor kamu itu ke bengkel. Hubungi saya. Berapa pun nanti biayanya biar saya yang menanggung.”Hekal terperangah. Ia menatap berganti-gantian pada Olive yang sudah balikkan badan dan pada kartu identitas Olive yang dipegangnya. Wajah Hekal tampilkan keragu-raguan, dan keningnya mengernyit
Bab 6: Foto Jelek Abang Ojek “Ibu Polwan.., foto kamu jelek!”Beberapa saat, Hekal terus menggemasi dan menggerami foto sang Polwan yang ada di KTP pada tangannya.Sementara itu, di tempat lain..,Olive bangkit dari tempat tidur. Ia mengangkat tangannya dan menggeliat-geliatkan tubuh sambil berdiri. Ia menyalakan lampu kamar, lalu melangkah keluar menuju kamar mandi untuk menuntaskan sedikit keperluan pribadinya. Di ruang keluarga langkah kakinya tertahan sebentar dan pandangan matanya tertumbuk pada jam dinding.“Haah?? Masih jam satu??” Pikir Olive dengan terkejut.Seakan tidak percaya ia mengucek-ucek matanya dan kembali menatap jam dinding dengan sedikit menyipit. Benar, masih jam satu. Tidak lama dengan urusannya di kamar mandi, Olive sudah berada di dalam kamarnya kembali.Ia masih belum yakin benar dengan fakta jam dinding tadi. Tidak mungkin sekarang ini masih jam satu, pikirnya. Ia meraih jam tangan yang terletak di atas meja samping ranjang. Melihat teliti pada jarum jam, m
Bab 7:Gadis Berkacamata di Apotek “Siapa yang salah?” Aje bertanya-tanya dalam hati.“Apakah Hekal yang salah? Karena menyuruhku datang ke apotek itu?”“Ataukah Polwan itu yang salah? Karena hadir tiba-tiba dari belakangku?”Sudah pukul satu dini hari, namun Aje masih belum bisa tidur di atas pembaringannya. Untuk sekadar memicingkan matanya sekali pun ia tidak bisa. Ia hanya berbaring miring, sembari mengelus-elus punggung Tiara, putrinya yang masih balita.Bayangan dari kejadian tragis yang ia alami belum lama ini benar-benar menganggu sang duda dengan seorang putri ini. Ia ingin menyalahkan Hekal, sahabatnya sesama driver ojek online itu.“Tetapi, Hekal tidak bersalah,” bantahnya pula di dalam hati.“Dia cukup baik kepadaku dan sudah banyak membantu selama ini.”“Dia juga membantu dengan mengenalkan aku pa
Bab 8:Doa Dari Seorang Ibu “Eh, kamu sudah menikah, Anakku?”Pertanyaan yang terakhir ini sontak membuat hati Aje ngilu. Kenapa? Karena hal ini mengingatkan Aje pada almarhumah Diana, istrinya yang telah meninggal lebih kurang satu tahun yang lalu.“Sudah, Bu, sudah pernah,” jawab Aje kemudian.“Sudah pernah?”Wanita di meja kasir pun serentak melirik ke arah Aje, demikian pula gadis apoteker berkacamata yang melayaninya tadi.“Maksud saya, sekarang saya duda, Bu.”Duh, ngilunya hati Aje. Satu detik, benar, hanya satu detik, segala momen kebersamaan selama empat tahun bersama almarhumah istrinya ia rasakan kembali di dalam dimensi waktu yang satu detik itu. Tawa, bahagia, sedih, pilu.., semuanya menyatu padu. Menimbulkan semacam perasaan ingin berlari dan kembali ke masa lalu.“Oh, begitu?”Aje mengangguk me
Bab 9:Insiden di Depan Minimarket “Kamu tahu siapa saya?? Haah?! Kamu tahu siapa saya??”Sang wanita membuka resleting jaketnya. Di balik jaketnya itu ia memakai kaos dengan sebuah logo yang tertera jelas di bagian dada kirinya. Bagian kaos yang ada logonya itu, dia cubit, dia tarik, dengan maksud untuk memampangkannya pada Aje.Dengan pandangan yang masih berkunang-kunang Aje bisa melihat sebuah lambang atau logo yang tertera di kaos sang wanita itu. Dugaannya semula memang tidak salah; wanita ini memang seorang Polwan!“Kamu tahu siapa saya??”Aje menunduk lagi, menelan ludah yang terasa begitu kecut.“Saya sebagai abdi negara, lancang sekali kamu merendahkan kehormatan saya! Saya sebagai wanita, berani sekali kamu melecehkan saya!”“Maafkanlah saya, Kakak.” Kata Aje memelas sembari mengatupkan kedua telapak tangan.“D
Bab 10:Si Bunga Raya “Apa lagi yang harus aku lakukan?” Batin Aje.Ia telah kehabisan uang, juga telah kehilangan obat untuk Tiara. Pikiran sang driver ojek ini terus berkecamuk di sepanjang perjalanannya pulang.Menyusuri jalan Putri Tujuh dan banyak persimpangan setelahnya Aje semakin melambatkan laju motornya. Ia berharap ada rekan sesama pengojek yang sedang mangkal di tiap persimpangan itu.Barangkali ia bisa meminjam sedikit uang dari mereka untuk membeli obat kembali. Akan tetapi, nihil!Tidak ada satu pun rekan yang ia dapati. Mereka mungkin sedang menarik penumpang di kawasan lain. Kemungkinan terbesar lainnya, mereka telah pulang untuk istirahat dan mematikan aplikasi driver di ponsel mereka.Baru saja Aje akan kembali memasuki jalan raya, ia berpapasan dengan Hekal. Ia segera ‘ngeh’ karena Hekal yang lebih dulu mengklakson, disusul kemudian dengan