Bab 1: Insiden
Ciiitt..!
Braakk..!
Hekal terjatuh bersama dengan motornya. Tubuh driver ojek online ini berguling dua kali di aspal sebelum kemudian berhenti dengan posisi terlentang. Ia melihat ke atas, gelap, malam hari menghadirkan gerimis, dan beberapa tetesnya membasahi wajah Hekal.
Sadar, Hekal tetap sadar. Maka cepat ia bangkit, berjalan ke arah motornya dan mendirikan motor itu untuk ia dorong ke tepi jalan.
“Sial!” Umpat Hekal dalam hati.
Apes sekali memang driver ojek ini. Sebuah mobil sedan yang keluar mendadak dari sebuah persimpangan telah menabrak dirinya.
Mobil sedan masih berhenti di tengah persimpangan, lampu hazardnya menyala, kuning berkedip-kedip kanan dan kiri. Disusul kemudian dengan keluarnya sang pengemudi, yang rupanya seorang wanita cantik berambut pendek dan berpostur proporsional.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya si wanita pengemudi dengan raut yang cemas.
“Tidak, Kak,” jawab Hekal dengan wajah yang memerah karena menahan amarah.
Ketika jatuh tadi Hekal merasakan sebuah benturan di bahu dan kepalanya. Namun syukurlah, ia memakai helm dan helmnya itu dalam keadaan terkunci. Lain dari itu, ia merasakan sedikit sakit di bagian engkel kaki sebelah kiri. Tidak apa-apa. Ia baik-baik saja.
“Syukurlah kalau tidak apa-apa,” sahut si wanita sembari melepaskan nafas yang lega.
Kemudian, tanpa diduga sama sekali oleh Hekal, wanita pengemudi itu malah membentak dirinya.
“Kamu ini bagaimana sih naik motor?? Main selonong saja!”
Hekal yang sudah sampai di tepi jalan serentak menoleh. Matanya mendelik, amarahnya terlepas dan mulutnya balas menyembur.
“Kamu yang seharusnya bagaimana! Nyetir mobil tidak pakai mata!”
“Hei..!” Wanita pengemudi memekik. “Kamu yang salah, kamu pula yang marah!”
Pertama tadi Hekal menyebut dengan panggilan ‘kakak’. Sekarang, ia merasa tidak perlu ‘kakak-kakakan’ lagi. Kamu!
“Kamuu..!” Tuding Hekal persis ke arah bola mata sang wanita. “Kamu yang salah!”
“Bagaimana pula aku yang salah?? Hahh?? Jelas-jelas kamu yang..,”
“Tunggu! Tunggu dulu!” Hekal mengangkat jari telunjuknya lagi di depan wajah sang wanita.
“Kalau kamu mau ribut sama saya tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, kamu parkirkan dulu mobil kamu, supaya tidak menghambat kendaraan yang lain!”
********
Mimpi apa Olive tadi malam sampai harus mengalami kejadian apes seperti ini? Belum lama ia memergoki pacarnya yang selingkuh, sekarang ia menabrak seorang pengendara motor yang tak tahu aturan. Driver ojek pula!
Ia menatap Hekal dengan sangat tajam, dibarengi juga dengan nafasnya yang memburu. Teringat pada pertengkarannya yang belum lama dengan Barry, mantan pacarnya itu, juga teringat pada egoisnya kebanyakan lelaki, ingin sekali Olive menampar mulut Hekal. Akan tetapi..,
Tiiiinn..! Suara klakson terdengar dari arah jalan. Cepat Olive menoleh. Ternyata ada beberapa mobil lain yang lajunya sedang terhambat oleh mobil Olive yang berhenti tepat di tengah persimpangan itu.
“Jangan kabur kamu ya!” Ancam Olive pada Hekal.
Sembari mendengus ia kembali menuju mobil dan mengendarainya menuju halaman sebuah ruko yang kosong. Hekal sudah berada di situ lebih dulu dan tampak sedang memeriksa motornya, tepat di teras toko. Rinai gerimis yang tipis tetap saja turun dari langit, dan terus ikut mewarnai pertengkaran mereka.
“Kamu ganti kerusakan mobilku!” Bentak Olive sekeluarnya dari mobil.
“Woi! Enak saja kamu ngomong!” Hekal bangkit dari jongkoknya. “Kamu yang seharusnya mengganti kerusakan motorku! Dan kamu sendiri yang harus mengganti kerusakan mobil kamu!”
“Hei..! Kamu tahu aturan tidak, sih??” Olive berkacak pinggang. “Kamu punya SIM tidak, sih??”
“Aku tahu aturan, dan aku punya SIM!” Hekal juga berkacak pinggang. “Maka sekarang jelas kan, kamu yang tidak tahu aturan, dan pasti kamu yang tidak punya SIM..!”
Dengan sedikit kasar Olive mendorong dada Hekal.
“Hei, Bro! Jangan sembarangan kamu bicara!”
“Hei, Sis!” Hekal ingin balas mendorong. Namun, sepersekian detik kemudian tangannya berhenti tepat di depan buah dada Olive. Hampir saja!
“Mulut kamu itu jangan sembarangan kalau ngomong!” Balas Hekal tak kalah sengit.
Olive semakin kesal saja. Emosinya sudah menyundul langit barangkali. Tangannya pun kini terangkat untuk menuding-nuding wajah Hekal.
“Egois sekali kamu di jalan umum, Bro! Kamu lihat tadi kan, dari jauh aku sudah memberi kode! Aku sudah menyalakan lampu dim beberapa kali! Kamu lihat itu, kan??”
Hekal pun semakin kesal saja. Amarahnya mungkin sudah menyundul langit yang kedua, lebih tinggi dari Olive tadi.
“Kamu yang egois, Sis! Kamuuu..! Kamu berada di jalan kecil, dan mau berbelok masuk ke jalan utama. Sementara aku yang berada di jalan utama dan lurus tidak berbelok. Maka prioritas jalan ada padaku, Sis..! Aku yang seharusnya duluan lewat!”
“Enak sekali kamu jadi laki-laki minta duluan! Aku yang duluan!”
“Enak sekali kamu jadi perempuan minta duluan! Aku yang duluan!”
“Tapi secara jarak aku yang lebih dekat dengan titik persimpangan!”
“Tapi secara hukum aku yang lebih dulu mendapat prioritas jalan!”
Hukum? Secara hukum?? Umpat Olive dalam hatinya. Tahu apa driver ojek ini tentang hukum?! Dirinya-lah yang paling tahu hukum! Karena dirinya-lah yang bekerja di bidang penegakan hukum! Hukum lalu lintas!
Olive semakin naik pitam ketika kemudian Hekal malah berkata-kata macam pengkhotbah.
“Kalau di Amerika sana, di setiap persimpangan semua orang wajib berhenti selama lima detik! Wajib! Ada ataupun tidak ada lampu merah, ada rambu ataupun tidak ada rambu, sekali lagi, waaaajib! Nah, kamu.., asal main tabrak saja, asal nyelonong saja!”
“Ini bukan di Amerika!” Bentak Olive.
“Iya! Bukan di Amerika! Tapi juga bukan di Wakanda!” Bentak Hekal pula.
“Lagi pula,” Hekal menyambung lagi dengan sinis. “Tadi aku tidak melihat ada nyala lampu tembak dari mobil kamu! Kamu tidak meng-kode! Kamu tidak menyalakan lampu dim! Kamu bahkan tidak menyalakan lampu sein!”
Menyusul pertengkaran yang terus saja sengit, ada beberapa orang dari warga sekitar yang mendekati Hekal dan Olive di teras toko. Dua atau tiga orang dari mereka hanya berkata-kata pelan, bertanya ini-itu dan berkomentar yang tidak perlu.
Sementara satu orang lainnya, yang tampak paling tua di antara mereka, menyarankan agar masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan saja.
“Aku tidak mau menjadi keluargamu!” Tuding Olive ke wajah Hekal.
“Aku juga tidak sudi jadi keluargamu!” Balas Hekal dengan tudingan pula.
“Sudah, sudah! Jangan ribut di sini kalian.” Potong lelaki tua. “Telepon polisi saja!”
“Cocok! Aku setuju!” Pekik Hekal merasa menang. Maka segera saja driver ojek online ini mengambil ponselnya dari saku celana, bermaksud menelepon polisi.
Ada pun Olive, aneh, sikapnya malah berubah menjadi kalem.
“Kalau kamu mau menelepon polisi, silahkan!” Kata Olive seraya melipat tangannya di depan dada, bersedekap dengan gesture-nya yang anteng dan jumawa.
“Akulah polisi itu!”
********
Bab 2: Saya Yang Salah “Kalau kamu mau menelepon polisi, silahkan!”“Akulah polisi itu!”Mendengar itu, tiba-tiba saja Hekal tersentak. Telinganya bagai tersengat lebah, wajahnya seketika menegang dan terperangah. Beberapa saat ia mematung. Tangannya juga ikut mematung, dengan ponsel tergenggam dan layarnya menyala.Pelan-pelan ia menoleh pada Olive.“Benarkah wanita ini seorang polisi? Seorang Polwan?” Tanya Hekal dalam hati. Ia lalu menyipitkan matanya, untuk menajamkan pandangan dan menaksir si wanita dari penampilan dan posturnya. Tinggi badan? Lumayan tinggi, di atas rata-rata kebanyakan wanita. Gemuk? Tidak. Langsing? Iya.Rambutnya? Pendek! Hanya sepangkal leher, dan itu ciri kuat dari seorang Polwan! Tambahan lagi, dengan amat percaya dirinya Olive lantas meneror Hekal dengan kata-katanya. “Ayo, Abang ojek, silahkan kalau mau menelepon polisi! Saya persilahkan!”“Silahkan saja Mas, Bang, Uda, Beli, Lae, Aa, Kakanda.., silahkan mau ngomong apa. Polisinya sudah ada di sini!”
Bab 3: Bahasa Isyarat “Jujur, saya tadi juga tidak terlalu fokus di jalan, sehingga..,”“Naah..! Kalau ngomong baik-baik begini kan, enak! Ini, tidak! Kamu yang salah, kamu pula yang mencak-mencak!”Seingat Hekal, Olive-lah yang lebih dulu mencak-mencak, dan terus saja mencak-mencak, sampai sekarang! Akan tetapi, apa daya? Hekal sudah tak berkutik ditikam pandangan mata Olive yang tajam, dan juga terus dikejar oleh dering ponselnya yang lagi-lagi menyala.“Iya, Kak. Saya akui saya khilaf,” kata Hekal lagi dengan suara yang memelas.“Namanya saja manusia, Kak, tempatnya salah dan dosa. Kita selesaikan masalah ini dengan cara kekeluargaan saja ya, Kak?”“Aku tak mau jadi keluargamu!” Ketus Olive mengulang kalimatnya yang tadi. Sambil buang muka pula. Hekal mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, lantas maju perlahan.“Saya mohon, tolonglah Kak. Kakak Polwan yang cantik.., saya mengetuk pintu hati Kakak. Saya akan bertanggung jawab atas masalah ini. Saya akan mengganti biay
Bab 4: Sepotong Kisah Dari Seberang Telepon Olive memegang lingkar kemudi mobilnya. Sedikit memajukan posisi tubuh, kepalanya sedikit mendongak ke depan untuk terus menyaksikan Hekal. Hati Olive sudah bulat sekarang. Ia masih belum ingin pergi dari situ.Sejauh yang Olive ingat, ia mengetahui bahasa isyarat hanyalah dari televisi. Ia kemudian menyadari ada sesuatu yang menarik dari diri Hekal, si penutur bahasa isyarat itu. Menurut Olive, wajah Hekal tampak lucu, dan itu membuatnya sedikit gemas. Sang Polwan ini menduga Hekal sedang memarahi atau mengomeli orang tunarungu di seberang teleponnya itu.Ah, Olive semakin penasaran saja. Pelan-pelan ia membuka pintu mobilnya kembali dan keluar. Tanpa menimbulkan suara ia berjalan perlahan menuju Hekal, yang terus asyik dengan pembicarannya di telepon. Sampai-sampai lelaki si driver Ayo-Jek itu tidak menyadari keberadaan Olive yang telah berdiri di sampingnya, sedikit menyisi ke arah belakang.Olive memiringkan kepalanya sedikit. Matanya m
Bab 5: Foto Jelek Ibu Polwan Beberapa saat kemudian, pembicaraan Hekal dengan adiknya di telepon pun berakhir. Driver ojek daring itu masih belum menyadari keberadaan Olive yang berdiri tak jauh di belakangnya.“Ehemm!” Olive berdehem.Hekal terkejut. Ia sampai terlonjak dari posisi duduknya di lantai teras toko. Ia semakin terkejut setelah balikkan badan lantas mendapati Olive berada di belakangnya. Ia kembali tundukkan wajah, dan menelan ludah. Bingung harus apa dan bagaimana, Hekal merasa serba salah.Masih dalam keadaan berdiri, Olive mencabut kartu identitas miliknya sendiri dari dompet dan melungsurkannya pada Hekal.“Ini KTP saya,” katanya dengan wajah dan suara yang datar.“Besok, kamu bawa motor kamu itu ke bengkel. Hubungi saya. Berapa pun nanti biayanya biar saya yang menanggung.”Hekal terperangah. Ia menatap berganti-gantian pada Olive yang sudah balikkan badan dan pada kartu identitas Olive yang dipegangnya. Wajah Hekal tampilkan keragu-raguan, dan keningnya mengernyit
Bab 6: Foto Jelek Abang Ojek “Ibu Polwan.., foto kamu jelek!”Beberapa saat, Hekal terus menggemasi dan menggerami foto sang Polwan yang ada di KTP pada tangannya.Sementara itu, di tempat lain..,Olive bangkit dari tempat tidur. Ia mengangkat tangannya dan menggeliat-geliatkan tubuh sambil berdiri. Ia menyalakan lampu kamar, lalu melangkah keluar menuju kamar mandi untuk menuntaskan sedikit keperluan pribadinya. Di ruang keluarga langkah kakinya tertahan sebentar dan pandangan matanya tertumbuk pada jam dinding.“Haah?? Masih jam satu??” Pikir Olive dengan terkejut.Seakan tidak percaya ia mengucek-ucek matanya dan kembali menatap jam dinding dengan sedikit menyipit. Benar, masih jam satu. Tidak lama dengan urusannya di kamar mandi, Olive sudah berada di dalam kamarnya kembali.Ia masih belum yakin benar dengan fakta jam dinding tadi. Tidak mungkin sekarang ini masih jam satu, pikirnya. Ia meraih jam tangan yang terletak di atas meja samping ranjang. Melihat teliti pada jarum jam, m
Bab 7:Gadis Berkacamata di Apotek “Siapa yang salah?” Aje bertanya-tanya dalam hati.“Apakah Hekal yang salah? Karena menyuruhku datang ke apotek itu?”“Ataukah Polwan itu yang salah? Karena hadir tiba-tiba dari belakangku?”Sudah pukul satu dini hari, namun Aje masih belum bisa tidur di atas pembaringannya. Untuk sekadar memicingkan matanya sekali pun ia tidak bisa. Ia hanya berbaring miring, sembari mengelus-elus punggung Tiara, putrinya yang masih balita.Bayangan dari kejadian tragis yang ia alami belum lama ini benar-benar menganggu sang duda dengan seorang putri ini. Ia ingin menyalahkan Hekal, sahabatnya sesama driver ojek online itu.“Tetapi, Hekal tidak bersalah,” bantahnya pula di dalam hati.“Dia cukup baik kepadaku dan sudah banyak membantu selama ini.”“Dia juga membantu dengan mengenalkan aku pa
Bab 8:Doa Dari Seorang Ibu “Eh, kamu sudah menikah, Anakku?”Pertanyaan yang terakhir ini sontak membuat hati Aje ngilu. Kenapa? Karena hal ini mengingatkan Aje pada almarhumah Diana, istrinya yang telah meninggal lebih kurang satu tahun yang lalu.“Sudah, Bu, sudah pernah,” jawab Aje kemudian.“Sudah pernah?”Wanita di meja kasir pun serentak melirik ke arah Aje, demikian pula gadis apoteker berkacamata yang melayaninya tadi.“Maksud saya, sekarang saya duda, Bu.”Duh, ngilunya hati Aje. Satu detik, benar, hanya satu detik, segala momen kebersamaan selama empat tahun bersama almarhumah istrinya ia rasakan kembali di dalam dimensi waktu yang satu detik itu. Tawa, bahagia, sedih, pilu.., semuanya menyatu padu. Menimbulkan semacam perasaan ingin berlari dan kembali ke masa lalu.“Oh, begitu?”Aje mengangguk me
Bab 9:Insiden di Depan Minimarket “Kamu tahu siapa saya?? Haah?! Kamu tahu siapa saya??”Sang wanita membuka resleting jaketnya. Di balik jaketnya itu ia memakai kaos dengan sebuah logo yang tertera jelas di bagian dada kirinya. Bagian kaos yang ada logonya itu, dia cubit, dia tarik, dengan maksud untuk memampangkannya pada Aje.Dengan pandangan yang masih berkunang-kunang Aje bisa melihat sebuah lambang atau logo yang tertera di kaos sang wanita itu. Dugaannya semula memang tidak salah; wanita ini memang seorang Polwan!“Kamu tahu siapa saya??”Aje menunduk lagi, menelan ludah yang terasa begitu kecut.“Saya sebagai abdi negara, lancang sekali kamu merendahkan kehormatan saya! Saya sebagai wanita, berani sekali kamu melecehkan saya!”“Maafkanlah saya, Kakak.” Kata Aje memelas sembari mengatupkan kedua telapak tangan.“D