Share

Bab 4: Sepotong Kisah Dari Seberang Telepon

Bab 4: Sepotong Kisah Dari Seberang Telepon

Olive memegang lingkar kemudi mobilnya. Sedikit memajukan posisi tubuh, kepalanya sedikit mendongak ke depan untuk terus menyaksikan Hekal. Hati Olive sudah bulat sekarang. Ia masih belum ingin pergi dari situ.

Sejauh yang Olive ingat, ia mengetahui bahasa isyarat hanyalah dari televisi. Ia kemudian menyadari ada sesuatu yang menarik dari diri Hekal, si penutur bahasa isyarat itu. Menurut Olive, wajah Hekal tampak lucu, dan itu membuatnya sedikit gemas. Sang Polwan ini menduga Hekal sedang memarahi atau mengomeli orang tunarungu di seberang teleponnya itu.

Ah, Olive semakin penasaran saja. Pelan-pelan ia membuka pintu mobilnya kembali dan keluar. Tanpa menimbulkan suara ia berjalan perlahan menuju Hekal, yang terus asyik dengan pembicarannya di telepon. Sampai-sampai lelaki si driver Ayo-Jek itu tidak menyadari keberadaan Olive yang telah berdiri di sampingnya, sedikit menyisi ke arah belakang.

Olive memiringkan kepalanya sedikit. Matanya mengintip pada layar ponsel Hekal. Lewat sebuah sudut pandang, Olive melihat wajah seorang perempuan muda di layar ponsel Hekal. Cantik dan manis, masih remaja, usianya mungkin masih sekitar lima belas tahun.

Olive menduga remaja di layar ponsel itu pastilah adik Hekal si driver Ayo-Jek ini. Tampak jelas sebuah keakraban khas kakak adik, antara Hekal dan remaja tunarungu di seberang sana. Terus menyaksikan bagaimana ekpresi wajah tercipta dalam berkomunikasi itu, Olive pun termangu. Hatinya tersentuh. Ada rasa kasih, rasa sayang, juga rasa iba.

Ponsel yang dipegang remaja tunarungu di seberang sana sepertinya bergoyang-goyang. Hingga sesaat kemudian, wajah yang muncul di layar ponsel Hekal berganti dengan orang lain. Remaja juga, cantik dan manis, dengan wajah yang mirip dengan remaja pertama tadi. Namun, remaja yang kedua ini bukan tunarungu.

“Assalamu’alaikum, Kak,” sapa remaja kedua dari seberang sana.

“Wa’alaikumsalam, Eci.” Hekal menyahut di sini, tanpa menyadari ada Olive di belakangnya.

“Apa kabar, Dik?”

“Kabar Eci baik, Kak.”

“Bohong kamu. Tadi Eca bilang ke Kakak, kamu sakit lagi ya?”

“Mmm, tidak juga sih. Cuma demam saja sedikit.”

“Kenapa? Kamu kecapean lagi?”

“Tidak juga. Eca-nya saja yang suka berlebihan kalau..,“

“Hei, Eci. Dengarkan Kakak.”

“Eca tuh suka menambah-nambahin cerita yang..,”

“Hei, Eci! Dengar, dengarkan Kakak dulu.”

“Iya, aku dengar, Kak.”

“Kamu tuh belum boleh beraktifitas yang berat-berat dulu. Kondisi fisik kamu belum fit benar. Nanti kalau tipes kamu kambuh lagi bagaimana?”

“Aku tidak kerja apa-apa, kok.”

“Eca tadi bilang kamu menimba air dari sumur! Tuh, apa namanya??”

“Cuma menimba air saja kok, tidak berat.”

“Tidak berat apanya?! Kamu membawa air ke dapur pakai ember putih yang bekas cat itu kan?”

“Iya, Kak.”

“Itu berat, Eci!”

“Cuma ke dapur saja kok Kak, untuk masak air minum.”

“Kalau cuma itu kan, Eca bisa, kenapa harus kamu??”

Beberapa saat Hekal terus mengomeli perempuan remaja di seberang sana. Semakin disimak, Olive semakin yakin bahwa dua remaja itu adalah adik-adik Hekal.

“Eh, Kak. Aku mau tanya sesuatu boleh?”

“Hemm, apa itu?”

“Kapan Kakak pulang kampung?”

“Nanti.”

“Nanti? Nanti kapan?”

“Bulan depan. Kenapa rupanya?”

“Eca kangen, tuh.”

“Eca-nya yang kangen atau kamu?”

“Hehe.., aku juga kangen, tapi sedikit saja. Eca yang paling banyak kangennya.”

“Huh, lagak kamu, banyak gengsi!”

“Hehe.., Ibu juga kangen Kakak. Setiap hari Ibu nanyain Kakak terus.”

“Sekarang Ibu mana? Berikan teleponnya ke Ibu.”

“Ibu sudah tidur. Kakak sih, dari tadi ditelepon tidak diangkat.”

“Kakak tadi sedang bekerja, sedang mengantarkan penumpang. Jadi tidak tahu kalau kalian menelepon. Ya sudah. Sudah dulu ya? Besok Kakak telepon lagi.”

“Eh, tunggu, Kak! Tunggu!”

“Apa lagi?”

“Mmm, ini, eee..,”

“Apa?”

“Kakak punya uang?”

“Untuk apa?”

“Sepatu sekolahku sudah rusak, solnya sudah hampir jebol.”

“Mmm, iya, iya, nanti Kakak belikan.”

“Serius?”

“Iya, serius, nanti Kakak belikan di sini. Tapi maaf, Kakak tidak bisa membelikan yang baru. Nanti Kakak cari di pasar loak, yang masih bagus untuk kamu. Nomor kaki kamu berapa?”

“Nomor 38.”

“Hah?? Besar sekali! Itu ukuran kaki gajah, Ci!”

“Aaaakh, Kakak ini! Masak kaki aku dibilang kaki gajah?!”

“Hehehe.., jangan ngambek dong. Kakak cuma bercanda.”

“Tapi janji ya, belikan aku sepatu?”

“Iya, Kakak janji, besok atau lusa Kakak pergi ke pasar loak mencari sepatu kamu.”

“Yeee..! Terima kasih kakakku yang ganteng.” 

Perbincangan di video call itu terus berlanjut. Olive yang mencuri dengar dan mencuri lihat pun menelan ludah. Sedikit, ia merasa terharu pada bagaimana Hekal menunjukkan kasih sayang pada adik-adiknya.

Sang Polwan ini semakin terharu ketika mengetahui adik yang bernama Eca adalah seorang tunarungu. Lalu, hati Olive pun kian tersentuh ketika mendengar Eci yang sedang sakit, dan meminta dibelikan sepatu sekolah oleh Hekal, namun kakaknya itu hanya bisa membelikan sepatu bekas di pasar loak.

Olive kemudian berpikir. “Berapakah penghasilan driver ojek online seperti Hekal ini dalam satu hari?” Pasti tidak banyak. Lalu dari yang tidak banyak itu, menyusul kemudian Olive tahu bahwa Hekal-lah yang membiayai sekolah kedua adiknya itu.

“Eca bersekolah di SLB—Sekolah Luar Biasa, dan Eci masih kelas tiga SMP di sekolah yang berbeda.” Olive membatin.  

Kemudian dari penghasilannya yang tidak banyak itu Hekal harus membiayai perbaikan mobil Olive yang nilainya pasti jutaan rupiah?

Bahkan, hanya untuk membelikan sepatu adiknya Hekal akan mencari di pasar loak, pasar barang-barang bekas! Olive pun menelan ludah. Pelan-pelan kepalanya menggeleng. 

“Di mana? Di mana hati nuraniku?”

********

           

           

             

           

             

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status