Share

Bab 5: Foto Jelek Ibu Polwan

Bab 5: Foto Jelek Ibu Polwan

Beberapa saat kemudian, pembicaraan Hekal dengan adiknya di telepon pun berakhir. Driver ojek daring itu masih belum menyadari keberadaan Olive yang berdiri tak jauh di belakangnya.

“Ehemm!” Olive berdehem.

Hekal terkejut. Ia sampai terlonjak dari posisi duduknya di lantai teras toko. Ia semakin terkejut setelah balikkan badan lantas mendapati Olive berada di belakangnya. Ia kembali tundukkan wajah, dan menelan ludah. Bingung harus apa dan bagaimana, Hekal merasa serba salah.

Masih dalam keadaan berdiri, Olive mencabut kartu identitas miliknya sendiri dari dompet dan melungsurkannya pada Hekal.

“Ini KTP saya,” katanya dengan wajah dan suara yang datar.

“Besok, kamu bawa motor kamu itu ke bengkel. Hubungi saya. Berapa pun nanti biayanya biar saya yang menanggung.”

Hekal terperangah. Ia menatap berganti-gantian pada Olive yang sudah balikkan badan dan pada kartu identitas Olive yang dipegangnya. Wajah Hekal tampilkan keragu-raguan, dan keningnya mengernyit karena heran.

“Oh, ya, satu lagi,” Olive hentikan langkah.

“Sekalian periksakan diri kamu ke klinik atau dokter, barangkali ada yang luka atau semacamnya. Jangan lupa hubungi saya besok. Semua biaya perobatan kamu saya juga yang menanggung.”

Hekal menelan ludah, seakan tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

“Lalu, kerusakan mobil Kakak ini bagaimana?” Tanya Hekal pada Olive yang sudah sampai pada mobilnya kembali.

“Tidak usah kamu pikirkan,” jawab Olive sambil menepis angin. Ia lalu masuk ke dalam mobil, men-stater mesinnya dan segera pergi dari situ, meninggalkan Hekal yang termangu.

Apakah ada yang terlupa? Sekali lagi, apakah ada yang terlupa??

Iya, benar, ada yang terlupa! Apakah itu? Apa pun itu, akan menjadi cikal bakal dari kisah panjang antara mereka berdua!

********

           

Jam dinding sudah menunjuk angka satu dini hari ketika Hekal sampai di rumah kontrakannya. Cengkerik suara jangkrik dari beberapa penjuru malam Hekal sahut dengan bunyi ‘kriet’ dari daun pintu yang ia buka.

Setelah memasukkan motornya ke dalam rumah dan mengunci pintu depan, Hekal berjalan ke arah belakang. Ia membasuh muka, mencuci tangan dan kedua kakinya di kamar mandi. Beres urusan bersih-bersih ia pun masuk ke dalam kamar untuk berganti baju.

Ia merogoh semua kantong celananya, juga memeriksa kantong tas sandang untuk mengeluarkan uang yang ada. Ia ingin menghitung berapa jumlah total pendapatannya menarik ojek malam ini, yang tadi ia mulai tepat pukul lima sore, selepas pekerjaannya sebagai teknisi elektronik rampung.

Mendadak saja Hekal tersentak. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh.

“Uang yang hanya beberapa puluh ribu di dompet ini.., ini memang uangku sedari pagi,” kata Hekal dalam hati.

 “Tapi, uang yang aku dapat dari menarik ojek tadi.., mana ya?”

“Seingatku, tadi aku punya uang selembar seratus ribuan, hasil ngojek dan juga tip dari penumpang. Tapi..,”

Hekal kembali memeriksa semua kantong yang tadi telah ia geledah. Ia pun tersentak lagi, saat teringat kejadian di lampu merah. Iya, persisnya beberapa saat sebelum insiden tabrakan dengan Polwan yang songong itu.

Di lampu merah tersebut Hekal memberi saweran kepada seorang pengamen, seorang anak kecil dengan ukulele tepat sebelum lampu hijau menyala.

“Banyak sekali ini, Om!” Pekik pengamen itu padanya.

“Iya, ambil sajalah. Itu rejeki kamu.”

“Wah, terima kasih banyak ya, Om. Saya doakan lancar rejekinya, panjang umur, sehat selalu, dapat jodoh yang..,”

Oh, pantas saja, begitu terkejut dan gembiranya pengamen itu menerima uang dari Hekal. Namun sekarang, betapa terkejutnya Hekal di dalam kamarnya, menyadari dirinya yang salah memberi uang.

“Semestinya, yang sepuluh ribu ini yang aku beri, bukan yang seratus ribu itu!” Gerutu Hekal dalam hati. Apa boleh buat? Nasi telah menjadi bubur.

“Iya, ambil sajalah. Itu rejeki kamu.” Hekal teringat kata-katanya lagi di lampu merah. Memang benar, uang itu adalah rejeki sang pengamen, bukan rejekinya.

Ada pun rejekinya..,

“Panjang umur, sehat selalu, dapat jodoh yang..,”

Entah mengapa, kata-kata sang pengamen itu mengiang lagi di telinganya.

“Dapat jodoh yang..,” Ulang Hekal dalam hati.

“Yang apa?”

“Yang seperti Polwan tadi??”

“Idiiih..! Amit-amit jabang bayi!”

Hekal merenung. Ia berusaha meredakan kekesalannya sendiri, sekaligus merelakan apa yang telah terjadi.

“Ah, sudahlah, ikhlaskan saja,” pikirnya.

Hekal pun bangkit, kembali lagi ke dapur untuk membuat segelas teh manis. Aroma teh nan harum menguar di udara dan dinikmati hidung Hekal yang kini telah mengambil duduk di ruang depan, menghadap pada sepeda motornya.

Ia memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri. Matanya mencermati beberapa kerusakan yang ada pada motornya itu. Lampu utama pecah, cover depan juga pecah. Tidak luput pula cover samping yang retak besar dan tanggal dari dudukannya. Sepertinya, di bagian pelek dan setang juga ada masalah, tidak simetris lagi dengan rangka bodi motor.

Hekal menarik nafas dalam-dalam, dan melepaskannya kuat-kuat. Mimpi apa ia semalam sampai harus mendapat musibah seperti ini? Soulmate-nya, alias motor kesayangan, sarananya mencari nafkah mendapat cedera yang lumayan parah.

Akan hal pekerjaan utamanya sebagai teknisi di sebuah dealer elektronik mungkin masih bisa ia laksanakan. Namun, pekerjaan sampingannya sebagi driver ojek online, sepertinya tidak mungkin dengan kondisi motor yang seperti ini.

“Kalau kamu mau menelepon polisi, silahkan!”

“Akulah polisi itu!”

Kata-kata wanita pemilik mobil tadi menggema di dalam kepala Hekal. Membuat dadanya tiba-tiba saja terasa sesak. Ia sekarang sudah tidak ingin lagi mencari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam insiden antara dirinya dengan wanita yang mengaku sebagai polisi itu. Karena sekarang..,

“Tunggu!” Kata Hekal dalam hati.

Tiba-tiba ia merasa penasaran pada jatidiri si wanita itu.

“Bisa saja ia bukan polisi, hanya mengaku-aku untuk menggertak aku. Iya, toh?”

Cepat ia bangkit dari kursi, meninggalkan segelas teh manis yang belum diminum dan sang ‘soulmate’ yang berdiri kuyu di pojok ruang tamu. Ia masuk ke dalam kamar dan mengambil sesuatu dari kantong jaketnya, yaitu kartu identitas wanita pemilik mobil tadi. Ia membaca data diri yang tertera pada lembar identitas di tangannya ini;

“Nama: Olivia Razak.”  

“Tempat/Tanggal Lahir: Indragiri, 21 Mei 1996.”

“Hmm, ternyata kamu masih lebih muda satu tahun dari aku,” gumam Hekal dalam hati.

“Alamat.., oh, di situ, suatu wilayah di bagian timur Bandar Baru ya? Aku tidak terlalu mengenal kawasan situ. Pernah juga sih aku.., ah, sudahlah.”

Lalu pada kolom Pekerjaan, tertera keterangan sebagai berikut;

"Kepolisian RI." 

“Oh, benar! Dia seorang Polwan!”

Maka sekarang, terbersit pula satu tanda tanya besar di dalam kepala Hekal. Bagaimana mungkin Polwan bernama Olivia Razak itu secara mendadak merubah sikapnya pada dirinya?

Dia yang semula garang dan angkuh menjadi lunak dan lembut? Dia yang semula berkeras menuntut ganti rugi untuk kerusakan mobil miliknya, tiba-tiba berbalik dan malah berniat pula akan menanggung kerusakan motor Hekal? Dan bahkan memberikan KTP miliknya pula sebagai jaminan!

“Astaghfirullahal Adzim!” Kata Hekal tiba-tiba.

Kenapa? Hekal lupa memberi nomor teleponnya pada Olive! Maka bagaimana si Polwan itu bisa menghubungi dirinya?

“Ya Allah, si Polwan dedemit itu pun tidak memberi nomor teleponnya padaku!”

“Lalu bagaimana aku bisa menghubungi dia??”

Hekal menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia lalu mengangkat tangannya lebih tinggi untuk menyejajarkan kartu identitas milik Olivia Razak dengan wajahnya. Ia juga menyipitkan matanya sedikit dan beberapa saat memandangi foto sang pemilik KTP.

“Ibu Polwan.., foto kamu jelek!”

********

Komen (3)
goodnovel comment avatar
asri Susilowati
sangat suka...
goodnovel comment avatar
pasabila okeoke
aku memang suka baca novel.terima kah gonovel telah membantuku baca ini.semoga lancar .sengattt broo
goodnovel comment avatar
Isdi Isdiyanto
top mar kotop
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status