Share

A Wife's Diary
A Wife's Diary
Penulis: Yani m

Ijin Poligami

Hari itu aku tengah sibuk berkutat membantu anak-anak yang akan tampil berpidato di acara maulid nabi. 

Baju berwarna hijau tosca senada dengan hijabnya sudah kupersiapkan untuk kedua putri kecilku.

"Mah, aku mau didandan!" pinta Kia-anak keduaku.

Ia menatapku tajam sambil memonyongkan sebagian bibirnya. Ingin rasanya kucubit bibir mungil gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun itu.

"Iya," jawabku sambil mengangguk.

"Kakak juga mau didandan?" tanyaku kepada si sulung.

"Enggak, ah. Malu."

Luna-sulung dari tiga bersaudara itu mencebik kesal. Ia memang agak pemalu dibanding adiknya.

***

Waktu berjalan cepat, acara anak-anak akan dimulai selepas ashar. Kedua anakku tampil cantik dan anggun. 

Aku mengabadikan gambar mereka beberapa kali di layar gawai. Suasana mesjid pun semakin ramai.

Semua mata tertuju pada anak-anak yang tampil di atas panggung ketika perhatianku beralih ke layar gawai yang menyala.

Terlihat sebuah pesan gambar dari Mas Fadil-suamiku. Aku bergegas membuka layar benda pipih itu.

Nafas serasa berhenti untuk sesaat. Dada terasa sesak dan nyeri seperti di lempar sebongkah batu besar saat netra ini menatap pesan yang dikirim belahan jiwaku.

Sebuah foto Mas Fadil dan seorang perempuan asing yang bertelanjang dada membuat sendi-sendi dan seluruh tulang lumpuh.

Aku terduduk di antara keramaian untuk beberapa waktu lamanya. Kemudian bangkit dan bergegas pulang ke rumah.

[Mas, apa ini? Siapa perempuan itu]

Cecarku di balik gawai.

[Maaf, Mah. Dia Melati-pacarku]

[Asstagfirullahaladzim]

Aku beristigfar berkali-kali. Langit seolah runtuh, nyeri di dalam dada semakin terasa perih. Bagai tersayat sembilu.

[Cepat pulang!]

Aku memekik nyaring dari balik gawai, tidak perduli terdengar oleh tetangga. Bulir bening tumpah tidak terbendung lagi. 

[Iya, tapi izinkan aku kawin lagi. Aku ingin memperistri perempuan itu]

[Pulang!] pekikku semakin kencang.

Aku menangis sekencang-kencangnya bersama suara derasnya hujan yang turun. Langit seolah menangis bersamaku.

Suara petir dan kilat yang bersahutan turut mengiringi awal nestapa pernikahan yang telah berusia sebelas tahun.

Embusan angin kencang membawa bulir-bulir air hujan lewat pintu rumah yang terbuka lebar. 

Aku menatap lantai yang basah kemudian masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.

Entah berapa lama air mata ini keluar. Aku hanya terduduk di atas lantai, di balik pintu kamar. Meratapi semua yang baru saja terjadi.

"Mah, dedek nangis."

Suara Si sulung terdengar dari balik pintu kamar diiringi suara tangisan Fariz-si bungsu yang beradu dengan suara hujan.

Aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk bangkit dan membuka pintu.

Kuusap kedua pipi yang telah basah itu kasar.

Aku segera mengambil Fariz dari gendongan Luna dan pergi ke rumah Ibu tanpa bicara.

Anak sulungku terlihat bingung dan cemas. Ia hanya menatapku heran, tanpa berani bertanya. 'Ah, anak yang baru berumur sebelas tahun tidak akan mengerti apapun,' pikirku dalam hati.

Aku setengah berlari menuju rumah Ibu yang terletak di depan rumah dengan membawa Farhan yang sudah agak tenang di dalam gendongan.

"Pak, lihat ini!" 

Aku menyodorkan gambar yang dikirim Mas Fadil di dalam gawai. Bapak menatapku lekat, kemudian memeriksa gambar itu.

Lelaki paruh baya itu menatapku iba. 

"Tenang dulu, mungkin itu hanya teman," ucap Bapak bijak.

"Dia pacarnya, tadi aku telp, Mas Fadil minta izin kawin lagi," jawabku lirih.

Embun yang masih menganak sungai pun kembali tumpah di depan Ibu dan Bapak.

"Asstagfirullah .... "

Ibu beristgfar berkali-kali. Wajah wanita yang paling tulus itu pun tampak basah dengan air mata. Mendung bergelayut di atap rumah.

Badai yang akan datang tidak bisa terelakkan lagi. Siap menghempas dan memporak porandakan bahtera yang sudah dibangun.

***

Siang berganti malam. Cakrawala mulai gelap. Mas Fadil datang tepat ba'da Isya. Ia duduk di ujung sofa biru tua setelah memarkirkan roda empat warna putih kesayangannya .

Aku membisu di ujung sofa lainnya. Bergelut dengan hati yang masih bergemuruh. Mencoba menenangkan ombak yang mengamuk di dalamnya.

"Mah, izinkan Ayah menikahi Melati!"

Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut Ayah dari ketiga anakku, sesampainya di rumah. 

Ia mendekat ke arahku, mencoba menggapai jemariku sebelum kuhempas kedua tangan kekar itu.

"Tidak, aku nggak mau di madu," jawabku tegas.

"Tapi Ayah sudah terlanjur jatuh cinta dan sudah melamarnya."

"Dia tahu kamu punya anak dan istri?" tanyaku geram.

"Tahu, dia itu perempuan baik. Dia mau jadi istri keduaku," jawab lelaki itu sambil tersenyum tipis.

"Perempuan baik tidak mungkin mau jadi duri dalam hubungan orang lain," jawabku sembari menatapnya tajam.

"Sudahlah, kamu izinin atau nggak?" tanyanya sambil membentak.

Mas Fadil menatapku nyalang. Lelaki itu tengah menunggu jawabanku. Sorot matanya tajam menghujam ke jantungku.

Namun, aku masih membisu dan bergelut dengan segala pikiran dan kemungkinan yang akan terjadi.

Terlintas wajah polos ketiga anakku. Bagaimana masa depannya jika kami berpisah? 

Si sulung yang akan masuk ke sekolah menengah pertama tahun depan. Azkia yang masih manja dan si bungsu yang masih menyusu. Bagaimana nasib mereka?

Namun, satu hal yang pasti. Aku tidak akan pernah memberinya izin untuk menikah lagi. Apapun yang terjadi.

"Pilih aku atau dia," jawabku tegas.

"Aku mau kalian berdua."

"Tapi aku nggak mau ada yang kedua. Kalau  Mas pilih dia, ceraikan aku."

"Jangan paksa aku. Aku cuma minta tanda tanganmu di surat izin nikah lagi nanti."

"Aku takkan sudi tanda tangan."

Kami pun terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing sebelum akhirnya Bapak datang menengahi.

"Ada apa ini?" tanya Bapak sembari mengalihkan pandangan ke arah Mas Fadil.

"Ouh, ini pak. Saya mau minta izin ke Zahra untuk menikah lagi," jawab lelaki itu tak berperasaan.

Bapak diam untuk sesaat, tampak menarik nafas panjang. Aku bisa melihat luka dan embun yang bersarang di ujung manik hitam lelaki paruh baya itu.

Bapak pasti merasakan sakitnya seperti yang kurasakan. Ayah mana yang rela anak perempuannya disakiti dan dimadu? 

"Bapak sebenarnya tidak mau ikut campur. Semua keputusan ada pada Azahra," jawab Bapak sambil menatapku iba.

"Zahra nggak mau, Pak. Zahra nggak mau dimadu. Hiks."

Tangisku pun pecah. Air mata yang kubendung sedari tadi mengalir tanpa henti.

"Zahra tidak bersedia dimadu. Walaupun ajaran agama kita membolehkan tapi harus ada keikhlasan dari istri tua."

"Iya, Pak. Tapi saya terlanjur berjanji untuk menikahi perempuan itu."

"Bapak ngerti, tapi keluarga lebih penting dari orang lain. Lihat anak-anak kamu."

"Dia perempuan baik kok, Pak."

"Sudahlah, Zahra. Ikuti kata hatimu, yakinlah Allah akan menggantinya dengan yang jauh lebih baik."

Bapak pergi dengan kesal setelah menepuk kedua bahuku. Lelaki itu terlihat murung dan kecewa. 

Lelaki yang kunikahi sebelas tahun itu, kini telah asik memainkan gawainya sambil tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Rasa cinta dan simpati perlahan terkikis. Tidak sadarkah dia telah menyakitiku dan keluargaku?

Setega dan sebuta itukah cinta? Sampai tidak bisa melihat luka yang di tebar karenanya. 

Aku pergi ke kamar dan menguncinya dari dalam. Meninggalkan Mas Fadil yang tengah dimabuk cinta.

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
goodnovel comment avatar
Morire
I don’t understand the language
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status