Share

Penyesalan

"Ra, buka pintunya!"

Suara Mas Fadil terdengar jelas dari balik pintu. Lelaki itu menekan pegangan pintu beberapa kali.

"Ra, kamu mau kan dimadu?" cecarnya beberapa kali, seperti anak kecil yang merengek meminta permen.

"Aku nggak mau. Sampai kapanpun aku nggak sudi dimadu!" pekikku histeris dari dalam kamar.

"Buka dulu pintunya?"

Aku membuka handle pintu perlahan. Ia masih berdiri tepat di depan pintu bercat cokelat dengan muka memelas, kemudian masuk ke dalam kamar.

"Mah, maaf. Ayah sudah terlanjur jauh dengannya."

"Maksudnya? Kamu ngapain aja sama perempuan murahan itu!"

"Sttt, kecilkan suaramu. Tetangga bisa dengar," ucapnya dengan mata membulat.

"Biar, biar semua orang denger. Biar orang-orang tahu keberengsekanmu!"

Aku tidak menurunkan volume suaraku sedikitpun. Dada ini serasa akan meledak dan panas.

"Ayah yang salah, dia nggak salah. Dia bukan perempuan murahan. Ayah yang paksa perempuan itu buat melayaniku," sergahnya dengan tatapan tajam.

Tangan kekarnya kuat mencengram kedua bahuku. Tubuh sudah ini lemas seketika dan luruh di atas lantai. 

Kata-katanya bagai petir yang menyambar. Benarkah suamiku membela perempuan selingkuhannya? 

Hati ini semakin terasa panas. Bagai ada kobaran api besar di dalamnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Baru kemarin kami bermain dan bercanda bersama anak-anak.

Tidak ada yang mencurigakan selain dirinya yang lebih pendiam. Aku tidak berfikir sejauh itu, hanya menduga beratnya pekerjaan yang membuatnya lebih diam.

Dunia seolah berputar seratus delapan puluh derajat. Rumah tanggaku yang baik-baik saja selama sebelas tahun. Berada di ujung jurang hanya dengan sehari.

"Tega, kamu, apa kamu nggak inget sama anak-anak? Pernikahan kita yang sebelas tahun? Aku selalu setia disisimu suka maupun duka. Tega, kamu ...."

Dada semakin sesak hingga sulit bernafas. Pengorbanan dan kesetiaan selama sebelas tahun dipertaruhkan saat ini. 

"Maaf."

"Maaf saja nggak cukup. Kamu sadar nggak kalau kamu sudah menghancurkan semuanya. Pernikahan kita dan masa depan anak-anak," lirihku sambil terisak.

Rinai air mata keluar tanpa henti. Membasahi wajah dan jilbab. Dunia seolah berakhir hari ini. 

Pengakuannya mencabik-cabik hati ini. Menghantamnya tanpa ampun hingga hancur. Hatiku hancur dan sakit.

Hening, suasana mendadak sepi. Tidak terdengar lagi suara Mas Fadil. Aku beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar.

"Maafin, Mas!" 

Lelaki itu menghambur dan memelukku erat sebelum kuhempas menjauh dariku.

"Jangan sentuh, aku. Jijik," ucapku seraya menyeka air mata yang masih membasahi pipi.

"Kamu sudah berhubungan dengannya? Berapa kali?" cecarku dengan tatapan nyalang.

"Maaf ... aku hilaf," jawabnya seraya menggenggam tanganku erat.

"Jangan sentuh! Menjauh!"

Aku bergegas pergi meninggalkan Mas Fadil yang masih tercenung di dalam kamar. Rasanya diri ini tidak kuasa lagi untuk melihat sosoknya. Pengkhianatan dan pengakuan yang begitu menyakitkan.

Sajadah panjang menjadi tempatku meminta kekuatan dan memohon petunjuk. Air mata kembali tumpak tidak tertahan.

"Apa ini Ya Rabb? Ujian kah? Atau teguran kah? Ampuni dosa-dosa hamba di masa lalu, Ya Rabb. Jika ini ujian kuatkanlah hamba," lirihku dalam do'a

"Maaf, mah. Ayah nggak mau pisah sama kamu. Ayah nyesel. Maafin ayah."

Lelaki itu tersungkur di pangkuanku dengan suara serak. Bulir hangat terasa membasahi tangan yang ia cium berulang kali.

"Maaf, maaf," ucapnya berulang kali dengan tersedu.

Bagai setetes air di Padang pasir. Air matanya mampu meluluhkan hati dan bisa sedikit bernafas. Aku menatap manik coklat itu lekat. Terlihat penyesalan di dalamnya.

"Berjanjilah untuk mengakhiri hubunganmu dengan perempuan itu."

"Iya, Mah. Kamu maafin, aku kan,?"

Aku hanya mengangguk perlahan. Sebenarnya hati untuk ini masih begitu sakit dan panas. 

Namun, apakah sikap kerasku nanti akan membuat semuanya baik-baik saja? Anak- anak kembali membayang di dalam benak.

Biarlah kusimpan sakit ini sendiri, asal anak-anakku tidak ikut terluka.

***

Hatiku tidak merasakan tenang seketika dengan janji Mas Fadil. Serasa masih ada yang mengganjal dan membuat sesak di dada.

Malam semakin larut, Mas Fadil terlihat sibuk dengan gawainya. Entah siapa yang ada di balik gawai hingga membuat Mas Fadil resah dan terlihat gugup.

"Perempuan itu sudah kamu putuskan?"

"Besok saja, aku langsung ketemu dia."

"Nggak perlu, aku nggak mau Ayah ketemu lagi sama perempuan itu," tukasku geram.

Ada perasaan was-was di dalam hati. Semua ini tidak akan berakhir dengan mudah. Hatiku kembali gelisah dan bergejolak.

"Biar aku saja," ucapku sembari menyambar gawai yang ada di tangan Mas Fadil.

"Kamu mau apa?" tanyanya dengan tatapan tajam.

Baru tadi sore lelaki itu menangis dan bersimpuh memohon maaf. Tetapi, tatapannya kali ini tidak mencerminkan penyesalan sama sekali.

Apa ini Ya Rabb? Aku tidak mengenali suamiku sendiri. Ia seolah bermuka dua. Beberapa jam yang lalu ia tampak sadar dan menyesal. Lalu, apa arti sikap dan kilatan di bola mata itu?

"Jadi Ayah nggak mau putus?"

"Bukan begitu, biar Ayah yang menyelesaikannya. Kamu jangan ikut campur dulu," jawabnya dengan mengecilkan volume suaranya.

Aku menatapnya tajam. Menelisik kebohongan yang mungkin tersembunyi di dalam bola matanya.

"Ini, terserah, kamu," ucapnya seraya menyodorkan gawai berwarna hitam ke tanganku.

"Yang mana kontaknya?"

Lelaki itu pun menunjukkan sebuah nomor yang dinamai ADM 2. Betapa lihainya Mas Fadil mengelabuiku dengan menamainya sebagai staf administrasi kantor agar aku tidak curiga.

Aku menatapnya penuh tanya. Lelaki itu hanya tersenyum kecut melihat eksfresi wajahku yang terlihat kaget.

[Assalamualaikum, mohon maaf, Mbak. Saya istrina Mas Fadil. Tolong jangan menghubungi atau ketemu lagi dengan suami saya. Kasian anak-anak saya masih kecil]

Pesan pertama berhasil terkirim dan terlihat centang biru.

[Mana suami kamunya? Biar dia sendiri yang ngomong]

Sebuah balasan yang membuat tubuhku gemetar. Terlihat karakter keras dan kasar perempuan itu dari pesan balasannya. 

[Asstagfirullah, Mbak. Mbak pasti sudah tahu kalau Mas Fadil sudah berkeluarga dan memiliki anak. Kenapa Mbak tega berhubungan dengan suami orang? Bukankah mbak juga perempuan. Ingat mbak, karma itu ada]

Aku mengirim balasan dengan perasaan geram. Perempuan macam apa yang engkau mau jadikan maduku, Mas?

[Itu salah kamu sendiri yang nggak becus melayani suami. Ngaca dong jangan salahin orang]

Untuk kesekian kalinya aku melafalkan istigfar. Dari bahasanya saja terlihat jelas bahwa perempuan itu memang sengaja menjerat suamiku.

"Sudah, ah. Sini."

Belum sempat membalas pesan balasan. Mas Fadil sudah merampas gawainya terlebih dahulu.

"Sudah puas?" tanyanya dengan bola mata yang berkilat.

Tatapan matanya terasa asing. Berbeda dengan Mas Fadil yang kukenal. Entah apa yang ia sembunyikan dibalik tatapannya itu. Yang pasti, itu membuatku tidak nyaman.

***

Hati ini masih saja gelisah. Suara-suara binatang malam sudah mulai terdengar. Embusan angin malam mulai menusuk hingga ke pori-pori.

Namun, netra ini tidak hendak terpejam. Begitupun dengan Mas Fadil yang terlihat sibuk dengan gawainya.

"Mas, tahajud bareng, yuk!" ajakku setelah memakai mukena.

"Iya," jawabnya, kemudian pergi ke belakang.

Kami hanyut dalam do'a masing-masih. Entah apa yang ia minta. Apakah do'anya sama seperti do'aku agar rumah tangga ini kembali baik-baik saja? 

Entahlah, aku larut dalam munajatku sendiri besama bulir bening yang menetes tanpa henti.

Benak ini dipenuhi kekhawatiran masa depan ketiga anakku. Apalah daya diri ini yang hanya ibu rumah tangga tanpa penghasilan kami benar-benar berpisah?

Aku bergegas mencari secarik kertas dan bolpoin. Apapun bisa terjadi di saat seperti ini.

Diatas semua luka yang kurasakan, masa depan anak-anak jauh lebih penting.

"Yah, tanda tangan di sini!" pintaku seraya menyodorkan secarik kertas yang sudah kutulis tangan.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan akan menghibahkan sebuah rumah di jalan kenanga dan sebuah rumah lagi di jalan jambu untuk ketiga anak saya jika saya menikah lagi.

Mas Fadil menatapku dengan sinis. Terlihat lengkungan tipis di atas bibirnya. 

"Jadi, ini yang kamu mau?"

"Hanya untuk jaga-jaga," jawabku asal.

"Baiklah," dengkusnya kesal kemudian membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang kusediakan.

"Jika kamu tidak menduakanku dan tidak menikah lagi semua akan baik-baik saja, Mas. Surat perjanjian ini tidak berlaku jika kita tetap bersama," ucapku meyakinkan.

Terlihat gurat kecewa dari wajahnya. Ia pergi ke dalam kamar. Aku mengikutinya dari belakang.

"Apa ini, Mas? Kenapa kamu bereskan baju-bajumu?"

"Kamu lebih milih harta dibanding aku, ambil saja semuanya. Aku mau pergi," jawabnya kesal.

"Pergi ke rumah sekingkuhanmu?" 

"Dia bisa menerimaku apa adanya."

Aku terdiam, habis sudah kata-kata untuk menyadarkannya jika perempuan itu bukan perempuan baik dan hanya mengincar uangnya.

"Aku yang menemanimu dari nol, Mas. Aku rela engkau bonceng naik sepeda selepas pulang kerja. Aku rela gajiku engkau pake untuk membayar tunggakan listrik orang tuamu. Aku yang menemani kamu di kontrakan kecil dan sanggup hanya makan bubur karena beras tinggal sedikit," lirihku dengan terisak.

Namun lelaki itu seperti tuli dan tidak menghiraukanku. Ia meninggalkan tumpukan baju yang telah keluar dari almari, kemudian pergi entah ke mana.

***

Mentari pagi telah bersinar di ufuk timur. Mas Fadil tengah bersiap untuk pergi bekerja.

Sudah hampir dua tahun terakhir, kami berhubungan jarak jauh. Tuntutan pekerjaan mengharuskannya bekerja di luar kota dan pulang hanya di tanggal merah.

Awalnya, aku bersikeras agar ikut bersamanya di luar kota. Aku lebih suka bertemu setiap hari dan menyiapkan semua kebutuhannya.

Namun, Mas Fadil melarang dengan alasan sekolah anak-anak. Akhirnya, kami pun menjadi jarang bertemu dan menjadi awal datangnya badai.

"Kamu janji akan memutuskan hubungan dengan wanita itu," ucapku seraya menatapnya lekat.

"Iya, insya Allah. Do'ain aja."

"Loh, kok jawabnya gitu?" tanyaku kesal.

"Iya, do'ain aja rumah tangga kita baik-baik aja," ucap lelaki itu dengan seulas senyum.

Entah kenapa, senyumannya terasa perih di hati. Aku masih tercenung menatap punggungnya yang masuk di balik kemudi mobil.

Ia pun pergi dengan sebuah koper kecil berisi beberapa baju tanpa menyapa anak-anak. Aku hanya tercenung memandangi punggungnya yang menghilang di balik kemudi.

Roda empat berwarna silver itu pun melaju cepat bersama semua rasa khawatir yang menyergap sanubari.

***

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Ndak tegas lu jd ce
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status