Mobil melaju perlahan, bersama rintik hujan yang turun teratur. Mas Fadil sesekali terdengar berdendang untuk mencairkan suasana. Baru saja hati ini merasa damai, lelaki itu kembali menabur garam di atas luka yang masih basah.
"Kamu mau kan, tanda tangan surat nikah lagi?" tanyanya sembari mengulum senyum.
"Astagfirullah, aku harus ngomong berapa kali. Pilih aku atau dia."
"Aku nggak bisa, aku mau kalian berdua. Ayah mohon Mah, Ayah ke bayang-bayang terus Melati. Ayah nggak bisa lupain dia," ucapnya sembari memelas.
"Ayah harus berusaha, demi anak-anak. Itu semua tipu daya setan, Yah. Ayah sadar, setan menjadikan nikmat sesuatu yang dilarang oleh Allah. Kuatkan iman Ayah. Ayah pasti bisa."
"Sudahlah, kamu memang tidak mengerti Ayah. Jangan ceramah di sini!"
"Astagfirullah, setan apa yang sudah merasukimu?"
Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir bertabrakan beberapa kali. Aku mengeratkan tangan pada sabuk
Anak-anak terlihat bahagia melihat kedatanganku dan Fariz. Luna merengkuh Fariz seketika. Anak itu pasti sangat merindukan adiknya.Hampir satu minggu aku ikut bersama Mas Fadil dan belajar akan kesalahanku. Mempelajari penyebab badai ini datang dan bertekad untuk memperbaiki diri dan bersikap lebih baik kepada Mas Fadil.Bahagia rasanya kembali ke rumah sendiri. Aku segera membereskan rumah setelah Mas Fadil pamit untuk kembali bekerja."Gimana perkembangan suamimu? Apa masih ketemua sama pelakor itu?" tanya Ibu geram yang tiba-tiba sudah duduk di ruang tamu sambil menggendong Fariz, tanpa kusadari."Masih," ucapku lemas."Pelan-pelan aja, Mamah udah minta bantu do'a sama Wa Haji," ucap wanita berdaster panjang itu dengan seulas senyum yang kubalas dengan anggukan.Kepada siapa lagi aku berbagi cerita, berbagi kesedihan dan beban pikiran, selain kepada orang tua dan keluarga. Terkadang, pengalaman n
Malam semakin larut, yang ditunggu tidak kunjung datang. Aku menyibak tirai beberapa kali. Namun, tetap nihil, Mas Fadil tidak terlihat batang hidungnya.Kenangan sebelas tahun silam, terbayang kembali. Seperti sebuah slide film yang diputar ulang. Malam itu sama dinginnya seperti malam ini. Aku dan Fadil bertemu di atap lantai dua selepas bekerja.Kami bekerja di tempat yang sama dan tinggal satu atap di mes karyawan yang disediakan perusahaan. Embusan angin malam kian mengencang, menerbangkan setiap helai rambut pendekku. Menusuk ke dalam pori-pori hingga ke tulang.Dulu, aku adalah seorang gadis yang cuek dan sedikit tomboy, sedangkan Fadil, adalah pemuda yang terkenal alim dan naif.Fadil sebenarnya bukan tipe pria idamanku. Namun,ia meluluhkan hatiku dengan sifat taat dan suara merdunya ketika melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Usia kami hanya terpaut lima bulan saja. Lahir di tahun yang sama, aku lima bulan lebih muda darinya.&
Hari berganti terasa semakin lambat. Aku masih berkutat dengan anak-anak di rumah. Mulai menyibukkan diri dengan menekuni hobi menulis yang telah lama kutinggalkan.Mas Fadil semakin jarang menghubungi. Hanya beberapa kali dalam seminggu itu pun bersama Melati di sampingnya. Wanita itu seolah ingin membuat hati ini panas dan lebih terluka. Bukan sikap Melati yang membuat luka ini semakin dalam, tetapi sikap Mas Fadil yang terkesan menurut semua ucapan istri sirinya.Hari sudah agak larut ketika mereka menghubungiku lewat vidio call. Untunglah, anak-anak sudah terlelap dalam mimpi indahnya.[Gimana kabar anak-anak?] tanyanya dari balik gawai.Melati terlihat mendekati Mas Fadil di sebuah ruangan sempit yang disambut kata sayang dari Mas Fadil. Wanita itu duduk di atas pangkuan suamiku.Dada ini sesak melihat adegan itu tepat di depan mataku. Mereka seperti sengaja membuat hati ini hancur dan terluka sangat
Aku keluar dari kamar setelah mengusap air mata sebelumnya. Anak-anak tampak berkumpul di ruang tamu. Mereka sedang asik menonton TV."Mah, minta uang buat jajan!" pinta Luna seraya menatapku heran."Coba minta ke Ayah," jawabku sembari menyembunyikan netra yang mulai terlihat membengkak dengan telapak tangan.Tidak sepeserpun uang yang tersisa. Mas Fadil bahkan lupa memberikan uang belanja bulanan untuk kami. Ia hanya ingat dengan kebahagiannya sendiri dan perempuan murahan itu."Zahra!"Mas Fadil terdengar memanggil namaku. Terasa asing di telinga dan menusuk di hati. selama sebelas tahun, lelaki itu selalu memanggilku dengan panggilan Mamah. Kali ini, ia memanggil namaku.Aku tersentak untuk beberapa waktu. Dada ini sakit saat Mas Fadil hanya memanggilku dengan nama. Aku serasa orang asing di matanya. Aku bergegas menghampiri Mas Fadil di ruang tamu setelah berhasil menenangkan hati."Ini buat an
Lelah rasanya tubuh dan otak ini. Aku berbaring di atas kasur, memandangi hujan dari balik jendela. Rintik yang turun teratur dari langit.Baru pukul dua siang, tapi langit sudah gelap. Tertutup awan hitam yang menangis. Fariz sedang asik menonton televisi bersama kedua kakaknya.Aku mengusap layar gawai, memeriksa pesan yang masuk. Tapi, pesan yang ditunggu tidak muncul sama sekali.Akhirnya aku memberanikan diri untuk menghubungi Mas Fadil terlebih dahulu.Lama menunggu, tapi tidak ada jawaban.Entah apa yang ia lakukan di sana hingga tidak pernah memiliki waktu untuk sekedar memberi kabar kepada kami.Lelaki itu terlalu terbuai oleh tipu daya setan. Semua yang ada di sampingnya tidak lagi terlihat olehnya. Hanya Melati yang memenuhi hati dan pikirannya.Bagai kerbau yang di cocok hidungnya. Begitulah sikap Mas Fadil sekarang ini. Ia manut dan patuh dengan semua ucapan yang keluar dari mulut M
Aku termenung seorang diri, meratapi nasib buruk yang tidak kunjung pergi. Aku mencubit pipi beberapa kali berharap semua ini hanyalah mimpi buruk semata.Mas Fadil, satu-satunya pria di dalam hidupku. Tega menjadikan istrinya janda untuk menikahi janda yang lain. Sungguh ironi, hidup ini.Namun, semuanya adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Rasa takut menjadi seorang janda dan stigma negatif tentang janda membuat hati ini gentar."Ra, besok Adi jemput kalian. Lupakan kesedihan jangan berlarut-larut, anggap ini sebagai pembelajaran hidup," ucap Ibu dengan tatapan Iba."Hore! Kita jalan-jalan!" pekik anak-anak yang tiba-tiba berlarian ke arah kami."Mah, kita jalan-jalan ke mana? Sama Ayah kan?" tanya Kia-gadis cerewetku dengan mata berbinar."Nggak tahu, kita ikut Om aja, yang penting jalan-jalan," jawabku tanpa menghiraukan kata Ayah yang ia sebut.Detik itu, aku berharap kata Ayah i
Lelah rasanya seluruh tubuh, tapi puas karena anak-anak terlihat bahagia. Aku tidur di kamar lantai atas rumah Adi. Sengaja berlama-lama di rumah adik lelakiku karena ingin melepas beban untuk sesaat.Menjadikan waras pikiran ini di tengah badai yang menghantam selama ini. Aku berbaring malas di kamar, membuka beberapa pesan masuk di gawai.[Aku ada di rumah, kamu ke mana?]Sebuah pesan dari Mas Fadil yang membuat suasana hati menjadi keruh kembali.[Bukan urusanmu lagi, aku ada dimanapun]Pesan balasan terkirim.[Aku nanyain anak-anak, jangan ge-er.][Terserah, anak-anak baik. Mereka senang habis diajak jalan-jalan omnya][Ya sudah, jaga anak-anak]Aku mematikan gawai dengan kesal. Untuk apa lelaki itu pulang? Jangan-jangan, ia mau mengambil barang berharga dari rumah.Aku kembali mengusap layar dan memberitahu Ibu agar beliau mengawasi Mas Fadil. Untunglah semua surat be
Hari ini langit terlihat cerah. Tidak panas pun tidak mendung. Aku masih sibuk menemani Fariz bermain.Netraku beralih ke arah benda pipih yang menyala. Sebuah notif terlihat dari layar. Pesan gambar dari salah satu sahabatku-vera yang lama sudah tidak bertemu.Entah angin apa yang membuat wanita berdarah Jawa itu menghubungiku tiba-tiba. Mataku membelakangi ketika melihat beberapa foto yang di kirim Vera.Foto Fadil, Melayu dan Ibu mertuaku. Hati ini perih seketika. Bahkan, Ibu mertua pun melupakanku.Aku menahan bulir bening yang mulai mendesak hendak keluar sekuat tenaga. Air mata ini terlalu berharga untuk menangisi keluarkan kejam seperti itu.Belum ada satu bulan, Fadil menyalak diriku. Mereka sudah menerima pelakor yang menghancurkan rumah tangga anaknya dengan tangan terbuka.Dadaku terasa panas dan bergemuruh menahan amarah yang telah naik ke ubun-ubun.Teganya mertua dan saudara Fadi