Aku kembali meraih gawai dan mengetik sebuah pesan.
[Tolong mba, saya mohon jangan temui suami saya lagi. Mba wanita pasti bisa merasakan bagaimana klo posisi kita ditukar. saya masih menyusui anak ketiga saya, dua anak saya masih SD mba, tolong mba]
Aku memohon dan memelas agar wanita itu luluh dan mau meninggalkan suamiku. Akan tetapi, syetan lebih kuat dan sudah menguasai Melati.
[Hah, harusnya kamu yang mundur. Mas Fadil sudah tidak mencintaimu. kamu tahu kenapa dia pulang malam. Dia habis dari sini, klo tidak ku suruh pulang dia nggak mau pulang. Suamimu sudah jijik sama kamu, coba kamu lihat lehernya]
Hatiku lebur untuk kesekian kalinya, sakit dan sesak serasa ada yang menginjak-injak harga diriku sebagai seorang perempuan.
"Bnagun! Bangun, Mas!" hardikku tertahan karena khawatir si kecil terbangun.
"Apaan, sih?" tanyanya dengan bola mata yang terlihat memerah.
"Apa ini?" tanyaku sembari membalikkan badannya kasar dan menunjuk ke arah lehernya yang ternyata berwarna merah mirip gigitan seseorang.
"Oh, ini kan kerjaan kamu," jawabnya cengengesan.
"Aku? Kapan? Tega kamu, Mas," ucapku lirih.
bulir bening yang kutahan sedari tadi pun tumpah tak terbendung lagi. Aku menangis tersedu, menatap nyalang wajah laki-laki tidak berperasaan itu.
"Maafin, Ayah," ucapnya seraya mencoba untuk memelukku.
"Pergi! Jangan sentuh aku, jijik aku!" pekikku sambil tersedu.
Lelaki berpostur sedang itu pun memukul-mukul tubuhnya beberapa kali seperti orang yang telah hilang akal.
"Aku kotor! aku menjijikan!" pekiknya sambil terus menerus melukai tubuhnya sendiri.
Aku masih terisak di pojok kamar, melihat tingkah gila lelaki yang terus menerus membuatku terluka.
selang beberapa menit, Mas Fadil membuka seluruh kain yang menempel di tubuhnya.
Lelaki itu mendekat ke arahku, tapi aku mendorongnya dengan kuat untuk menjauh.
"Aku tidak sudi disentuh olehmu. Bukankah kamu sudah puas dengan perempuan murahan itu? Menjauh dariku, pergi!"
Aku memekik untuk kesekian kalinya. Mas Fadil terlihat bingung, ia terus berusaha untuk menyentuhku sampai akhirnya ia menyerah dan terduduk di atas lantai tanpa berbusana.
Terlintas untuk memaafkan dan merangkulnya. Namun, pesan dari Melati kembali terngiang di kepala. Mereka bercumbu hati ini, disaat aku berada di dekatnya. Dada ini kembali panas dan bergemuruh.
Mas Fadil masuk ke dalam kamar mandi, tidak lama kemudian, ia keluar menuju pintu keluar. Aku yang menyadari tindakan konyolnya, segera berlari dan menyembunyikan kunci yang tergantung di pintu.
"Biar aku keluar seperti ini, biar aku jadi gila sekalian. Kamu sudah ngga mau sama aku. Kamu jijik sama aku." ucapnya sambil memelas.
"Jangan gila, inget anak-anak. Mereka akan malu punya Bapak seperti kamu," ucapku mencoba menenangkan.
"Mana kuncinya!" Hardiknya dengan tatapan nyalang.
Tubuhku mulai gemetar, apakah Mas Fadil benar-benar stress? atau hanya pura-pura saja? Aku mencoba untuk berfikir keras sambil menggenggam erat kunci pintu.
Namum, tenagaku tidak sekuat tenaga Mas Fadil. Ia berhasil merampas kunci dan hampir keluar rumah sebelum akhirnya aku menahannya dengan memeluknya dari belakang.
Mas Fadil menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku.
"Maafin, Ayah," ucapnya lirih seraya memelukku erat.
Aku hanya diam, tidak ada lagi kata yang ingin keluar dari mulutku. Semua adegan seperti di dalam drama. Aku menjadi tokoh yang selalu tertindas dan selalu tertipu, tapi, tidak mampu untuk membalas.
***
Mentri pagi membelai hangat tubuh yang lelah semalaman. Aku beranjak dari tempat tidur dan menyiapkan sarapan untuk Mas Fadil.
"Pulang cepet, ya!" pintaku kepada lelaki yang tengah menggendong Fariz.
"Diusahakan," ucapnya ragu, kemudian menyerahkan Fariz ke pangkuanku.
Mas Fadil pun pergi, hari itu, ia terlihat rapi dan menawan dengan setelan seragam kantor berpadu celana kain berwarna hitam dan sepatu pentopel hitam. Entah kenapa, hari itu hati ini serasa berat untuk melepasnya pergi walau hanya untuk bekerja.
Aku masih mematung di depan pintu kontrakan. Melihatnya menghilang bersama mobil miliknya.
"Mba, baru pindah ya?" tanya seorang wanita berhijab panjang dengan seulas senyum.
"Iya, Mba. Baru pindah kemarin malam."
"Tadi itu suaminya?" tanyanya heran.
"Iya, kenapa?"
"Seperti pernah lihat kemrin di depan, tapi yang dalam mobil sepertinya bukan Mba, eh, maaf saya salah lihat kayaknya."
Wanita itupun berlalu, meninggalkanku dengan perasaan yang tidak menentu. Mungkinkah Si Melati itu tinggal tidak jauh dari sini?
Aku bergegas mengusap gawai dan mengirim pesan agar aku ikut bekerja hari itu. Mas Fadil bekerja sebagai pengawas di lapangan. Ia lebih banyak di luar daripada di kantor. Dan itu yang membuat dirinya leluasa memadu kasih dengan Melati di jam kerja.
***
Matahari sudah berada tepat di atas kepala, tidak ada pesan balasan dari Mas Fadil. Untuk apa aku tinggal di sini jika dirinya masih leluasa bertemu selingkuhannya?
Aku memasukkan semua baju ke dalam tas ransel. Bersiap untuk kembali ke rumah. Rasanya, tidak ada gunanya aku tinggal bersamanya, hanya menambah luka hati setiap saat.
Selang beberapa menit, Mas Fadil terlihat masuk ke dalam kontrakan. Ia duduk di atas tilam seadanya. Aku memberikannya segelas air putih dan menawarinya untuk makan, tapi ia menolaknya.
"Ini buat kamu, minum biar sehat."
Lelaki itu menyodorkan katong plastik berisi susu dengan tersenyum tipis.
"Apa ini?"
"Susu murni."
Aku memasukkannya ke dalam botol pelastik dan mencicipinya seteguk. Terasa hambar dan sedikit aneh.
"Dari mana? dari perempuan itu?" tanyaku dengan tatapan tajam.
"Iya," jawabnya seraya mengangkat sebagian ujung bibirnya ke atas.
"Astagfirullah, najis!" pekikku sambil mencoba memuntahkan susu yang terlanjur termunum, kemudian membuang semua susu di dalam botol itu ke wastafel.
"Aku mau pulang, antar aku pulang sekarang!" pintaku kesal.
"Jangan becanda, aku masih kerja. kamu mau aku dipecat?"
Lelaki itu meninggikan suaranya sambil menatap nyalang ke netraku.
"Kerja? Kamu bukan kerja kamu selingkuh," ucapku geram.
Pertengkaran pun tidak terelakkan lagi. Kami saling menghardik dan menyakiti. Sesuatu yang belum pernah terjadi selama sebelas tahun membangun rumah tangga dengannya.
Dulu, Mas Fadil adalah sosok penyayang dan penyabar. Tidak pernah sekali pun berteriak ataupun bermain tangan. Aku tersadar dengan segala kekuranganku.
Sikapku yang manja dan ingin menang sendiri, mungkin membuatnya tidak bahagia disamping ku. Namun, aku selalu setia di sampingnya suka mau pun duka. Pantaskah aku menerima pengkhianatan ini?
Kami terdiam, sibuk dengan benak masing-masing. Suasana menjadi hening seketika. Hanya detik jarum jam yang terdengar memecah kesunyian. Akankah badai ini berlalu? Sampai kapan, aku harus merasakan luka ini, Ya Rabb?
"Ayo, katanya mau ikut ke lapangan?" tanyanya, kemudian pergi menuju parkiran kontrakan.
Aku mengikutinya dari belakang dengan menggendong Fariz yang sedang tertidur.
Bersambung
Mobil melaju perlahan, bersama rintik hujan yang turun teratur. Mas Fadil sesekali terdengar berdendang untuk mencairkan suasana. Baru saja hati ini merasa damai, lelaki itu kembali menabur garam di atas luka yang masih basah."Kamu mau kan, tanda tangan surat nikah lagi?" tanyanya sembari mengulum senyum."Astagfirullah, aku harus ngomong berapa kali. Pilih aku atau dia.""Aku nggak bisa, aku mau kalian berdua. Ayah mohon Mah, Ayah ke bayang-bayang terus Melati. Ayah nggak bisa lupain dia," ucapnya sembari memelas."Ayah harus berusaha, demi anak-anak. Itu semua tipu daya setan, Yah. Ayah sadar, setan menjadikan nikmat sesuatu yang dilarang oleh Allah. Kuatkan iman Ayah. Ayah pasti bisa.""Sudahlah, kamu memang tidak mengerti Ayah. Jangan ceramah di sini!""Astagfirullah, setan apa yang sudah merasukimu?"Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir bertabrakan beberapa kali. Aku mengeratkan tangan pada sabuk
Anak-anak terlihat bahagia melihat kedatanganku dan Fariz. Luna merengkuh Fariz seketika. Anak itu pasti sangat merindukan adiknya.Hampir satu minggu aku ikut bersama Mas Fadil dan belajar akan kesalahanku. Mempelajari penyebab badai ini datang dan bertekad untuk memperbaiki diri dan bersikap lebih baik kepada Mas Fadil.Bahagia rasanya kembali ke rumah sendiri. Aku segera membereskan rumah setelah Mas Fadil pamit untuk kembali bekerja."Gimana perkembangan suamimu? Apa masih ketemua sama pelakor itu?" tanya Ibu geram yang tiba-tiba sudah duduk di ruang tamu sambil menggendong Fariz, tanpa kusadari."Masih," ucapku lemas."Pelan-pelan aja, Mamah udah minta bantu do'a sama Wa Haji," ucap wanita berdaster panjang itu dengan seulas senyum yang kubalas dengan anggukan.Kepada siapa lagi aku berbagi cerita, berbagi kesedihan dan beban pikiran, selain kepada orang tua dan keluarga. Terkadang, pengalaman n
Malam semakin larut, yang ditunggu tidak kunjung datang. Aku menyibak tirai beberapa kali. Namun, tetap nihil, Mas Fadil tidak terlihat batang hidungnya.Kenangan sebelas tahun silam, terbayang kembali. Seperti sebuah slide film yang diputar ulang. Malam itu sama dinginnya seperti malam ini. Aku dan Fadil bertemu di atap lantai dua selepas bekerja.Kami bekerja di tempat yang sama dan tinggal satu atap di mes karyawan yang disediakan perusahaan. Embusan angin malam kian mengencang, menerbangkan setiap helai rambut pendekku. Menusuk ke dalam pori-pori hingga ke tulang.Dulu, aku adalah seorang gadis yang cuek dan sedikit tomboy, sedangkan Fadil, adalah pemuda yang terkenal alim dan naif.Fadil sebenarnya bukan tipe pria idamanku. Namun,ia meluluhkan hatiku dengan sifat taat dan suara merdunya ketika melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Usia kami hanya terpaut lima bulan saja. Lahir di tahun yang sama, aku lima bulan lebih muda darinya.&
Hari berganti terasa semakin lambat. Aku masih berkutat dengan anak-anak di rumah. Mulai menyibukkan diri dengan menekuni hobi menulis yang telah lama kutinggalkan.Mas Fadil semakin jarang menghubungi. Hanya beberapa kali dalam seminggu itu pun bersama Melati di sampingnya. Wanita itu seolah ingin membuat hati ini panas dan lebih terluka. Bukan sikap Melati yang membuat luka ini semakin dalam, tetapi sikap Mas Fadil yang terkesan menurut semua ucapan istri sirinya.Hari sudah agak larut ketika mereka menghubungiku lewat vidio call. Untunglah, anak-anak sudah terlelap dalam mimpi indahnya.[Gimana kabar anak-anak?] tanyanya dari balik gawai.Melati terlihat mendekati Mas Fadil di sebuah ruangan sempit yang disambut kata sayang dari Mas Fadil. Wanita itu duduk di atas pangkuan suamiku.Dada ini sesak melihat adegan itu tepat di depan mataku. Mereka seperti sengaja membuat hati ini hancur dan terluka sangat
Aku keluar dari kamar setelah mengusap air mata sebelumnya. Anak-anak tampak berkumpul di ruang tamu. Mereka sedang asik menonton TV."Mah, minta uang buat jajan!" pinta Luna seraya menatapku heran."Coba minta ke Ayah," jawabku sembari menyembunyikan netra yang mulai terlihat membengkak dengan telapak tangan.Tidak sepeserpun uang yang tersisa. Mas Fadil bahkan lupa memberikan uang belanja bulanan untuk kami. Ia hanya ingat dengan kebahagiannya sendiri dan perempuan murahan itu."Zahra!"Mas Fadil terdengar memanggil namaku. Terasa asing di telinga dan menusuk di hati. selama sebelas tahun, lelaki itu selalu memanggilku dengan panggilan Mamah. Kali ini, ia memanggil namaku.Aku tersentak untuk beberapa waktu. Dada ini sakit saat Mas Fadil hanya memanggilku dengan nama. Aku serasa orang asing di matanya. Aku bergegas menghampiri Mas Fadil di ruang tamu setelah berhasil menenangkan hati."Ini buat an
Lelah rasanya tubuh dan otak ini. Aku berbaring di atas kasur, memandangi hujan dari balik jendela. Rintik yang turun teratur dari langit.Baru pukul dua siang, tapi langit sudah gelap. Tertutup awan hitam yang menangis. Fariz sedang asik menonton televisi bersama kedua kakaknya.Aku mengusap layar gawai, memeriksa pesan yang masuk. Tapi, pesan yang ditunggu tidak muncul sama sekali.Akhirnya aku memberanikan diri untuk menghubungi Mas Fadil terlebih dahulu.Lama menunggu, tapi tidak ada jawaban.Entah apa yang ia lakukan di sana hingga tidak pernah memiliki waktu untuk sekedar memberi kabar kepada kami.Lelaki itu terlalu terbuai oleh tipu daya setan. Semua yang ada di sampingnya tidak lagi terlihat olehnya. Hanya Melati yang memenuhi hati dan pikirannya.Bagai kerbau yang di cocok hidungnya. Begitulah sikap Mas Fadil sekarang ini. Ia manut dan patuh dengan semua ucapan yang keluar dari mulut M
Aku termenung seorang diri, meratapi nasib buruk yang tidak kunjung pergi. Aku mencubit pipi beberapa kali berharap semua ini hanyalah mimpi buruk semata.Mas Fadil, satu-satunya pria di dalam hidupku. Tega menjadikan istrinya janda untuk menikahi janda yang lain. Sungguh ironi, hidup ini.Namun, semuanya adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Rasa takut menjadi seorang janda dan stigma negatif tentang janda membuat hati ini gentar."Ra, besok Adi jemput kalian. Lupakan kesedihan jangan berlarut-larut, anggap ini sebagai pembelajaran hidup," ucap Ibu dengan tatapan Iba."Hore! Kita jalan-jalan!" pekik anak-anak yang tiba-tiba berlarian ke arah kami."Mah, kita jalan-jalan ke mana? Sama Ayah kan?" tanya Kia-gadis cerewetku dengan mata berbinar."Nggak tahu, kita ikut Om aja, yang penting jalan-jalan," jawabku tanpa menghiraukan kata Ayah yang ia sebut.Detik itu, aku berharap kata Ayah i
Lelah rasanya seluruh tubuh, tapi puas karena anak-anak terlihat bahagia. Aku tidur di kamar lantai atas rumah Adi. Sengaja berlama-lama di rumah adik lelakiku karena ingin melepas beban untuk sesaat.Menjadikan waras pikiran ini di tengah badai yang menghantam selama ini. Aku berbaring malas di kamar, membuka beberapa pesan masuk di gawai.[Aku ada di rumah, kamu ke mana?]Sebuah pesan dari Mas Fadil yang membuat suasana hati menjadi keruh kembali.[Bukan urusanmu lagi, aku ada dimanapun]Pesan balasan terkirim.[Aku nanyain anak-anak, jangan ge-er.][Terserah, anak-anak baik. Mereka senang habis diajak jalan-jalan omnya][Ya sudah, jaga anak-anak]Aku mematikan gawai dengan kesal. Untuk apa lelaki itu pulang? Jangan-jangan, ia mau mengambil barang berharga dari rumah.Aku kembali mengusap layar dan memberitahu Ibu agar beliau mengawasi Mas Fadil. Untunglah semua surat be