Share

Lupa Daratan

Badan Fariz semakin panas,  bocah kecil itu terlihat lemas dan menggigil.  Aku memeluknya erat sambil berlari ke rumah Ibu. 

"Bu,  Fariz! "

"Ada apa? Astagfirullah. "

Ibu terlihat sama gemasnya dengan diriku.  Fariz semakin menggigil.  Tubuhnya kejang-kejang beberapa kali. 

"Fariz! Fariz! " pekikku dengan air mata yang terus keluar tanpa henti. 

"Cepat bawa ke dokter, " ucap Ibu spontan. 

Aku berusaha menghubungi Mas Fadil beberapa kali. Namun nihil,  tidak ada jawaban,  bahkan direject. 

Aku berlari menuju rumahku untuk mengambil dompet. Kubuka perlahan benda usang berwarna merah muda itu.  Hanya ada beberapa lembar uang puluhan. 

"Mana cukup untuk ke dokter, " gumamku pelan. 

Ibu mengantar kami menuju klinik terdekat menggunakan sepeda motor.  Ibuku memang keren,  di usinya yang sudah tidak muda lagi.  Beliau masih lincah mengendarai kuda besi kesayangannya. 

"Bu,  pinjam uang dulu. Uangku kurang, " bisikku pelan sesaat setelah tiba di parkiran klinik. 

"iya,  cepet bawa Fariz, " jawabnya tergesa. 

kami pun bergegas memasuki klinik.  Seorang perawat tampak menghampiri dan segera membawa Fariz ke ruang IGD. 

Bocah itu terlihat semakin lemas.  Dadaku sesak melihat anak laki-lakiku satu-satunya terkulai di ranjang IGD.  Sebuah selang infus dipasang di pergelangan tangannya.  Anak itu menangis kesakitan saat jarum tajam menghunjam nadi kecilnya. 

Hati ini serasa disayat sembilu.  Mas Fadil tetap tidak bisa dihubungi.  Aku mengirim pesan dan foto keadaan Fariz ke nomor whattshapnya,  hanya ceklis dua.  Kemana lekaki itu disaat anaknya sakit? Ia pasti sedang bersama selingkuhannya. Bagaimana jika terjadi sesuatu kepada Fariz? 

Benakku dipenuhi ribuan pertanyaan yang membuat sakit di dalam hati. 

"Allhamdulillah,  untung cepat dibawa ke sini, " ucap dokter yang terlihat lega. 

"Makasih, Dok, " ujar Ibu dengan seulas senyum. 

"Sama-sama."

wanita berseragam putih itu pun pergi meninggalkan kami. Aku masih termenung di ujung ranjang.  Memandangi wajah pucat si kecil. 

'Tega kamu, Mas, kamu tidak pantas menjadi Ayah lagi, ' rutukku di dalam hati. 

***

Kumandang azan subuh membuatku terbangun dan bergegas mengambil air wudhu.  Ibu sudah pulang terlebih dahulu ke rumah untuk mengurus kedua anakku. 

Ruangan kecil yang hanya memiliki dua tempat tidur dan satu kamar mandi. Pasien di sebelahku tampak masih tertidur pulas.  Aku membuka layar gawai perlahan. Membaca pesan masuk dari Mas Fadil. 

[Aku pulang besok]

Sebuah pesan singkat yang membuatku kesal.  Setega itu dia kepada darah dagingnya?  kemana kasih sayang dan cintanya dahulu?  

"Mah,  susu, " pinta Fariz pelan. 

Aku bergegas membuatkan susu formula untuknya. Bocah dua tahun itu pun meminumnya dengan lahap. 'syukurlah,  Fariz terlihat baikan. '

Uang dari Ibu sepertinya hanya cukup untuk satu hari rawat inap.  Aku pergi ke depan dan meminta salah satu staf untuk mengecek tagihanku dan benarlah perkiraanku. Uangku hanya cukup untuk membayar tagihan ini. 

***

Hari telah beranjak siang, matahari berada tepat diatas kepala.  Aku duduk di ruang tamu,  menghela nafas panjang dan membuangnya.  Fariz baru saja tertidur karena pengaruh obat yang diberikan dokter. Aku memaksa membawanya pulang ke rumah dan memilih merawatnya sendiri.  Kendala biaya membuat benak yang sudah berjejal masalah ini semakin berdenyut sakit. 

"Assalamualaikum."

Suara berat dari teras rumah itu terdengar familiar dan semakin dekat diiringi derap langkah cepat kaki. Mas Fadil tengah berdiri tepat di depan pintu yang terbuka. 

"Dimana Fariz? "

Aku hanya menatapnya tajam, kemudian menunjuk ke arah kamar. Ia melangkah ke dalam kamar dengan mimik muka lelah. 

Aku masih mematung di ruang tamu, menyaksikan sosoknya yang terasa asing. Ya,  aku baru tersadar kalau aku bukan istrinya lagi sekarang. Kami hanyalah dia orang asing yang terhubung oleh anak. 

Selang beberapa lama, Mas Fadil keluar. 

"Mana Luna? " tanyanya dengan tatapan dingin. 

"Kak,  bikinin Ayah makan! " pekiknya sambil mencari sosok si sulung. 

Tidak ada lagi kewajiban untukku melayaninya.  Luna terlihat keluar dari kamar dan menatap ke arahku yang kubalas dengan anggukan pelan. Gadis kecil itu memasak telor ceplok untuk dihidangkan kepada Ayahnya,  kemudian kembali ke kamar dengan muka masam. 

"Uangku habis, tadi pinjam uang Ibu buat bayar klinik, " ucapku memulai percakapan sesaat setelah ia menghabiskan makanannya. 

"Aku nggak punya uang, pinjam saja dulu, " jawabnya tanpa menatap ke arahku. 

Hampir dua minggu tidak bersua, dirinya semakin asing di mataku. Secepat itukah lelaki itu berubah? Sosoknya yang hangat berubah menjadi sedingin salju. Tidak terlihat lagi ketaatannya akan perintah Allah. Ia sering melewatkan kewajiban shalat selama diam di rumah, padahal, dulu, ia selalu menjadi imam mesjid dan rajin tilawah Al-Qur'an. Kemana Mas Fadil ku yang dulu?

Semua terjadi begitu cepat hingga aku tidak memiliki simpanan sedikitpun. Uang belanja yang ia berikan setiap bulannya selalu habis bahkan minus. 

Mas Fadil malah asik dengan gawainya. Sesekali terlihat senyum tipis di bibirnya. 

"Sedang apa kamu, Mas? " tanyaku geram ketika mendapatinya asik bergidik call dengan selingkuhannya. 

"Kenapa?  Aku lagi VC sama pacarku,  kamu keberatan?  Sadar, kamu sudah bukan siapa-siapa lagi, " jawabnya ketus. 

Aku terdiam sesaat, merasakan nyeri di dalam ulu hati.  Perih dan semakin sesak melihat tingkah menjijikan mantan suamiku. 

"Jaga kelakuanmu,  anak-anak bisa melihatnya,  tolong jaga perasaan mereka. Jangan hancurkan hati anak-anak juga, " lirihku penuh tekanan. 

"Oke kalau kamu nggak suka aku VC,  aku pergi sekarang, " ancamnya dengan bola mata membulat penuh. 

Baru satu jam yang lalu ia datang dan terlihat mengkhawatirkan si bungsu.  Kini,  lelaki itu tidak ubahnya seperti ABG yang tengah dimabuk cinta. Membenci siapapun yang menentangnya. 

"Ayah! " pekik Fariz yang tengah berdiri di depan pintu kamar. 

Bocah lugu itu berlari kecil dan memeluk sang Ayah.  Meluapkan rindu yang telah tersimpan. Rona bahagia terlihat jelas dari wajah Fariz.  

'Ah,  kasian kesayanganku,  maafin mamah, Dek, ' bisikku di dalam hati. 

Mas Fadil menggendong Fariz dan berjalan-jalan di pekarangan rumah. Pekarangan yang cukup luas ini tampak tidak terurus akhir-akhir ini.  Rumput liar dan ilalang tumbuh hampir memenuhi sebagian pekarangan.  Kolam ikan hias, tempat pavorit kami bercengkrama, kini telah kering dan kotor. Semua penghuni di dalamnya mati serempak sebulan sebelum badai ini menghantam rumah tanggaku. 

***

Sang surya perlahan tenggelam di balik bukit, berhiaskan warna oranye di cakrawala. Senja yang selalu datang di penghujung hari dan tidak pernah ingkar janji. Mas Fadil tengah menidurkan Fariz di dalam kamar.  Anak itu seakan tidak mau lepas dari Ayahnya. Tangan mungilnya menggenggam erat tangan kekar Mas Azam. 

"Apa rencana mu setelah selesai masa udah? " tanyanya seraya menyamankan duduknya agak jauh dari tempat dudukku. 

"Entahlah, mungkin akan cari kerja, " jawabku asal sambil memalingkan wajah darinya. 

"Lantas, anak-anak bagaimana? "

"Tentu saja di sini sama Neneknya. Aku tidak sudi jika anak-anak ikut denganmu dan tinggal dengan perempuan tidak bermoral, " jawabku geram. 

"Kenapa kamu membuat situasinya menjadi sulit. Kamu hanya perlu tanda tangani surat izin menikah lagi. Aku tidak akan menelantarkan kamu dan anak-anak. Aku akan berbuat adil dan tidak akan mengurangi jatah bulanan sama sekali. "

"Adil?  Memang seperti apa adil itu? Apakah kamu bisa menjaga hati ini agar tidak terluka?  Apakah kamu bisa membagi cinta dengan benar sesuai porsinya?  Atau membagi pendapatmu sesuai porsinya? " cecarku dengan nada penuh penekanan. 

Lelaki itu pun diam membisu untuk beberapa saat. Ia menggeser tempat duduknya mendekat ke arahku. 

"Aku janji akan adil, asal kamu mau tandatangan. Kasian anak-anak. "

"Aku nggak sudi. "

Wanita bernama Melati itu ternyata lebih pintar dari dugaanku. Ia tidak mau dinikahi siri oleh Mas Fadil Satu hal yang kutangkap dari wanita yang dua tahun lebih tua dariku itu. Ia ingin  pengakuan dan pembagian hak layaknya istri sah. 

Namun,  tidak semudah itu, semua yang kami kumpulkan selama sebelas tahun ini adalah hak anak-anakku. Untuk masa depan mereka. Logikanya, seorang janda dua kali akan berfikir materi sebelum memutuskan menikah lagi dan bodohnya Mas Fadil sangat percaya jika wanita itu tergila-gila kepadanya. 

Aku pergi meninggalkan Mas Fadil yang kembali asik dengan gawai. Semua janjinya adalah bohong semata. Janji suci di depan penghulu pun ia ingkari, apalagi janji berbuat adil setelah menikah lagi.  Ah,  bodohnya aku yang dahulu telah memilihnya dan meyakini kesetiaannya, nasi sudah menjadi bubur, penyesalan selalu datang terlambat. 

Nyatanya, semua orang berubah seiring berjalannya waktu.  Cinta pun memudar dan mungkin telah hilang. Hanya cinta dari-Nya yang tidak akan memudar dan hilang.

Terdengar gelak tawa Mas Fadil dari kamar tamu, sesekali diikuti suara desahan seorang wanita di seberang sana, yang sontak membuatku jijik. 

'Perempuan macam apa yang kamu gilai itu, Mas, ' gumamku di dalam hati. 

Malam terasa sangat panjang. Suara Mas Fadil samar terdengar. Teganya lelaki itu bermesraan dan mengumbar kata-kata gombal di rumahku. Ia sudah tidak peduli lagi dengan luka yang ia hunjam di hati ini. 

Kini, aku hanyalah seorang istri yang telah kalah. seperti sebuah layangan putus yang kehilangan arah.  Habis manis sepah dibuang, mungkin pepatah itu cocok dengan keadaanku saat ini.

Air mata ini menetes tanpa henti, potongan-potongan kenangan masa lalu berputar kembali dalam benak. Saat Mas Fadil mati-matian mengejar cintaku. Saat kami berbagi sepiring nasi berdua dan saat aku rela dibonceng naik sepeda selepas pulang bekerja. 

Janjinya akan setia hingga maut memisahkan masih terngiang di telinga. Janji akan membahagiakanku saat kami tidur hanya beralaskan kasur tipis di sebuah kontrakan kecil. Kini,  semua hanya tinggal janji. 

Aku beranjak dari tempat tidur, menatap  wajah polos ketiga anakku dan kucium mereka satu persatu. 

"Maafin, Mamah, " lirihku pelan seraya membelai lembut rambut si bungsu. 

Merekalah satu-satunya kekuatanku. Yang membuatku mampu untuk bertahan dan menghadapi semua.  Pelipur lara saat perih di hati kian terasa. 

"Mamah  janji, kalian tidak akan kekurangan apapun. "

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status