All Chapters of IZINKAN AKU MENCINTAIMU: Chapter 51 - Chapter 60
97 Chapters
Bab 51
Pov : AZKA |Ka, kamu tak perlu risau soal perasaanku pada Rania. Memang masih ada cinta di sana. Namun aku mulai menyadari, mungkin dia memang bukan jodohku. Semua salahku dan aku tak mungkin bisa mengulang apa yang telah terjadi. Tapi kejadian kemarin sungguh tak seperti yang kamu pikir. Aku hanya diminta Ummi menolong Althaf yang nangis, Ka. Ummi masih buang air, sementara istrimu dipanggil tetangga sebelah entah untuk apa. Hanya itu. Nggak ada maksud lain.| |Aku, Mas. Aku juga percaya kalau Rania tak akan mungkin mengkhianati cintaku padanya. Meski mungkin cinta ini terlalu sederhana, tapi aku begitu menjaganya dengan baik. Aku sangat percaya Rania bisa menjaga dan mengendalikan hatinya. Aku tak tahu apakah dia masih memiliki rasa yang sama dengan Mas Gaza, tapi bagiku itu tak jadi soal. Aku fokus mencintainya, sebab cinta yang tulus akan meluluhkan benteng yang tinggi dan kaku| |Iya, Ka. Kamu benar, menjadi suami Rania adalah sebuah keberuntungan besar dan kamu harus bersyuku
Read more
Bab 52
|Ka, Rania sudah siap-siap, kan? Soalnya Ummi telpon nggak diangkat. Kamu jaga Althaf dulu kalau Rania sibuk. Suami istri itu harus saling membantu satu sama lain. Jangan semua dibebankan ke istri, apalahi Rania baru melahirkan bulan lalu. Ummi tunggu kalian di rumah. Datang segera, ya?| Pesan dari Ummi kembali masuk ke whatsappku. Ummi seolah lupa, jika ⁶,setiap hari aku membantu Rania. Tak pernah kubiarkan dia kecapekan dengan segala aktivitas rumah tangga. Sejak awal menikah, justru aku yang mengajarinya banyak hal. Dia tak bisa memasak saat itu dan aku berusaha mengajarinya meski masak ala kadarnya. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai belajar dari internet untuk memasak beragam menu keluarga. Masakan Rania sangat enak menurutku. Tak hanya menurutku, bahkan Mas Gaza pun sempat memuji masakannya saat di rumah Ummi dulu. Aku tak pernah mencela apapun yang ada padanya sebab cintaku tulus. Tak hanya menyukai kelebihannya saja, tapi aku juga menerima segala kekurangannya. Te
Read more
Bab 53
Pov : Rania Rumah berlantai dua itu sudah cukup ramai. Beberapa mobil parkir di tepi jalan tak jauh dari rumah Tante Delia. Ummi menggendong Althaf beriringan dengan ibu. Sementara aku berjalan di belakangnya. Mas Azka kulihat sibuk membawa beberapa kado untuk calon iparnya. Dia beriringan dengan Mas Gaza dan Abah masuk ke ruang tamu. Kulihat beberapa ibu saling bisik, mungkin karena baru tahu jika calon Aisyah memiliki saudara kembar. Aku duduk lesehan di samping Ummi. Ada karpet panjang berwarna biru sebagai alasnya. Tak banyak saudara Aisyah yang datang, sepertinya hanya sekitar sepuluh orang saja. Wajah perempuan itu terlihat begitu cantik dan berbinar ceria. Bulu matanya yang lentik dan hidung mancungnya menambah kecantikan di wajahnya. Ummi pun memberikan Althaf yang masih terlelap itu padaku lalu berbaur dengan Tante Delia yang baru saja melambaikan tangan ke arahnya. "Calon istrinya Gaza cantik banget, Nia," bisik ibu di telinga kananku yang tertutup hijab berwarna
Read more
Bab 54
Pov : Rania Langit begitu gelap. Awan tebal menggulung, hujan pun mulai turun. Membasahi bumi yang gersang beberapa hari belakangan. Petrichor mulai tercium. Aroma tanah yang menenangkan saat hujan mulai membasahi tanah kering. Mbak Nisa dan Mbak Arum baru saja pulang. Sengaja aku minta dia pulang cepat sebelum jam kerja habis, sebab kasihan kalau sampai mereka kehujanan di jalan. Mbak Nisa lupa membawa jas hujan dan akupun tak punya untuk dipinjamkan. Kututup jendela kamar yang tadi terbuka. Pintu dan gerbang depan kebetulan sudah kukunci setelah mengantar dua karyawanku itu pulang. Aku mengikuti pesan Mas Azka untuk mengunci gerbang dan pintu saat tak ada yang menemaniku di rumah. Sebab banyak sekali orang yang sepertinya ingin mencelakakanku. Meski aku sendiri tak tahu apa salahku. Setelah jendela tertutup rapat, kugendong Althaf yang masih terlelap. Petir sesekali terdengar menggelegar di angkasa. Aku tak ingin Althaf terjaga karenanya. Duh, demamnya belum turun juga. S
Read more
Bab 55
Menjelang isya' ibu datang. Terpaksa naik taksi sendirian malam-malam dari rumah sebab Mas Alif lembur kerja jadi tak bisa mengantarnya ke sini. Beruntung hujan sudah mulai reda, tapi Mas Azka belum juga pulang. Nomornya pun nggak bisa dihubungi. Entah kemana dia. Aku hanya bisa berharap Mas Azka baik-baik saja. Yang penting sekarang keselamatan Althaf lebih dulu. Ibu meminta Pak Supir untuk menunggu. Aku segera menggendong Althaf, sedangkan ibu membawa tas kecil berisi peralatan Al dan buru-buru menutup pintu. Lelaki kecilku itu masih terlelap, suhu badannya pun belum juga menurun. Aku dan ibu duduk di jok belakang. Althaf masih dalam gendonganku. Setelah menutup pintu rapat, ibu gegas meminta Pak Supir untuk melaju ke Rumah Sakit Khadijah. Rumah sakit khusus ibu dan anak di kotaku. Kalau tak macet sekitar setengah jam perjalanan dari rumah. Semoga saja perjalanan lancar hingga Althaf bisa segera ditangani dengan baik oleh dokter. "Azka belum bisa dihubungi, Nia?" tanya ibu
Read more
Bab 56
Kepalaku terasa begitu berat memikirkan keadaan Mas Azka di sana. Bagaimana bis adi di klinik segala. Apa yang terjadi sebenarnya? Mungkinkah dia sakit tiba-tiba? Sebab tadi pagi saat berangkat memang agak demam. Kubilang agar istirahat saja dulu, tapi Mas Azka bilang baik-baik saja. Dia juga bilang kalau hari itu Haris mau izin setengah hari, jadi dia yang akan menggantikannya. Kasihan pelanggan yang sudah datang dari jauh harus kecewa karena martabak cintanya tutup. Awalnya aku ragu, tapi setelah dia menjelaskan sedemikian rupa dan bilang bukan demam, mungkin hanya kurang tidur saja, akhirnya aku pun mengiyakan permintaannya untuk ke gerai martabak. Berulang kali kubilang agar Mas Azka pakai mobil saja, tapi selalu ditolaknya dengan alasan berhemat, nggak macet dan lebih cepet kalau pakai motor. Lagi-lagi aku mengiyakannya. Aku tak punya firasat apa-apa bahkan saat jam tigaan dia kirim pesan akan segera pulang pun, aku tak punya feeling lain tentangnya. Kupikir dia juga a
Read more
Bab 57
Hening. Suasana di ruangan yang tak terlalu sempit ini mendadak sunyi beberapa saat. Semua terdiam dengan pikiran masing-masing. Ummi pun diam saja di sampingku. Pun ibu. Sementara abah masih mengetik pesan entah apa. "Assalamu'alaikum." Suara laki-laki yang begitu kukenali muncul dari arah pintu. Kami semua menoleh ke belakang. Kulihat laki-laki yang membersamaiku setahun lebih itu begitu pucat. Ada beberapa perban di kening dan lengannya. Bahkan dia harus menggunakan bantuin kruk untuk membantunya berjalan. Air mataku tak bisa terbendung lagi. Kubiarkan ia tumpah membasahi pipi. Bukannya langsung menghambur ke arahnya, aku justru terpaku di tempatku berdiri. Benar-benar tak tega melihatnya seperti ini. Apa yang sebenarnya terjadi. "Azka! Kamu dari mana saja jam segini baru datang?!" tanya Ummi. Baru mau menjawab, Ummi sudah memberondong pertanyaan lain. "Anakmu sakit dari semalam, Ka. Kamu tetap berangkat kerja? Apa kamu nggak takut dia kenapa-kenapa? Kamu nggak peduli d
Read more
Bab 58
Tiga hari Althaf dirawat di rumah sakit dan di hari ketiga ini, keadaannya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Dia tak lagi demam dan mau minum ASI dengan baik seperti biasanya. Malaikat kecilku itu mulai ceria, tak pucat seperti tiga hari lalu saat pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah sakit ini. Dokter Arsyi selaku dokter anak di sini pun mengizinkan Althaf untuk pulang. Syukurlah. Aku mengucap Hamdallah berulang kali karena kabar ini. Ibu dan Mas Alif sudah menjemput. Selama menginap di rumah sakit, hanya ibu yang menemaniku di sini, sebab Mas Azka juga dirawat di rumah sakit Husada, tak jauh dari sini. Luka bekas kecelakaan itu membutuhkan perawatan khusus. Tak boleh dibiarkan begitu saja karena bisa infeksi. Andai tak khawatir dengan keadaan anak lelakinya, harusnya kemarin Mas Azka belum boleh pulang. Kondisinya memang masih sangat lemah, bahkan memburuk setelah memaksakan pulang dan menjenguk Althaf di sini. Mas Azka juga jatuh pingsan setelah dia mencura
Read more
Bab 59
"Assalamu'alaikum." Kuucap salam saat membuka pintu kamar Mas Azka. Laki-laki kebanggaanku itu tersenyum tipis menatapku, yang mulai melangkah perlahan ke arahnya setelah menutup pintu. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Kamu ke sini? Al sama siapa?" tanyanya sedikit kaget lalu berusaha untuk duduk saat aku sampai di sampingnya. "Althaf sama ibu. Gimana keadaanmu, Mas? Sudah membaik, kan?" Laki-laki itu kembali tersenyum lalu mengangguk perlahan. "Alhamdulillah, Dek. Besok juga sudah boleh pulang. Ummi gimana?" Laki-laki ini, meski berulang kali disakiti Ummi, tetap saja menanyakan kabarnya untuk pertama kali. Mas Azka tahu Ummi sakit sejak menjenguk Althaf dua hari lalu. Aku yakin ada rasa bersalah dalam diri Mas Azka sebab kemarin suaranya sedikit meninggi saat bicara dengan Ummi. "Mas sudah minta maaf sama Ummi soal kemarin dan Alhamdulillah Ummi memaafkan. Tapi sampai sekarang Ummi masih sakit, Dek. Apa kata-kata Mas kemarin terlalu menyakitkan buat Ummi?" Ekspresi Mas Azka y
Read more
Bab 60
Pov : Rania Pagi ini Abah dan Ummi datang ke rumah. Tiga hari setelah Mas Azka pulang dari rumah sakit. Kulihat wajah Ummi sedikit tirus dan lesu. Tak seperti biasanya yang selalu gesit, ceria dan mudah tersenyum apalagi saat melihat cucu kesayangannya. Apakah Ummi masih memikirkan ucapan Mas Azka waktu itu? Mas Azka yang Ummi pikir tak mungkin memberontak, tak mungkin berani membantah kata-kata Ummi dan tak mungkin bicara dengan nada tinggi ternyata tak sesuai dengan prediksinya. Bukan karena Mas Azka durhaka. Bukan. Aku yakin itu hanya karena Mas Azka terlalu lelah hingga tak sengaja menyakiti hati Ummi. Mas Azka hanya ingin mengungkapkan segala sesak dalam dada dan tak pernah menyangka jika ucapannya itu membuat Ummi terluka. Aku tahu bagaimana perasaan Mas Azka. Dia hanya ingin meluapkan segala ganjalan yang selama ini tersimpan, bukan bermaksud untuk membuat Ummi disesaki kegelisahan. "Mi, sudah sehat?" tanya lelakiku itu singkat sembari mencium punggung tangan Ummi. Mas
Read more
PREV
1
...
45678
...
10
DMCA.com Protection Status