Kepalaku terasa begitu berat memikirkan keadaan Mas Azka di sana. Bagaimana bis adi di klinik segala. Apa yang terjadi sebenarnya? Mungkinkah dia sakit tiba-tiba? Sebab tadi pagi saat berangkat memang agak demam. Kubilang agar istirahat saja dulu, tapi Mas Azka bilang baik-baik saja. Dia juga bilang kalau hari itu Haris mau izin setengah hari, jadi dia yang akan menggantikannya. Kasihan pelanggan yang sudah datang dari jauh harus kecewa karena martabak cintanya tutup. Awalnya aku ragu, tapi setelah dia menjelaskan sedemikian rupa dan bilang bukan demam, mungkin hanya kurang tidur saja, akhirnya aku pun mengiyakan permintaannya untuk ke gerai martabak. Berulang kali kubilang agar Mas Azka pakai mobil saja, tapi selalu ditolaknya dengan alasan berhemat, nggak macet dan lebih cepet kalau pakai motor. Lagi-lagi aku mengiyakannya. Aku tak punya firasat apa-apa bahkan saat jam tigaan dia kirim pesan akan segera pulang pun, aku tak punya feeling lain tentangnya. Kupikir dia juga a
Hening. Suasana di ruangan yang tak terlalu sempit ini mendadak sunyi beberapa saat. Semua terdiam dengan pikiran masing-masing. Ummi pun diam saja di sampingku. Pun ibu. Sementara abah masih mengetik pesan entah apa. "Assalamu'alaikum." Suara laki-laki yang begitu kukenali muncul dari arah pintu. Kami semua menoleh ke belakang. Kulihat laki-laki yang membersamaiku setahun lebih itu begitu pucat. Ada beberapa perban di kening dan lengannya. Bahkan dia harus menggunakan bantuin kruk untuk membantunya berjalan. Air mataku tak bisa terbendung lagi. Kubiarkan ia tumpah membasahi pipi. Bukannya langsung menghambur ke arahnya, aku justru terpaku di tempatku berdiri. Benar-benar tak tega melihatnya seperti ini. Apa yang sebenarnya terjadi. "Azka! Kamu dari mana saja jam segini baru datang?!" tanya Ummi. Baru mau menjawab, Ummi sudah memberondong pertanyaan lain. "Anakmu sakit dari semalam, Ka. Kamu tetap berangkat kerja? Apa kamu nggak takut dia kenapa-kenapa? Kamu nggak peduli d
Tiga hari Althaf dirawat di rumah sakit dan di hari ketiga ini, keadaannya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Dia tak lagi demam dan mau minum ASI dengan baik seperti biasanya. Malaikat kecilku itu mulai ceria, tak pucat seperti tiga hari lalu saat pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah sakit ini. Dokter Arsyi selaku dokter anak di sini pun mengizinkan Althaf untuk pulang. Syukurlah. Aku mengucap Hamdallah berulang kali karena kabar ini. Ibu dan Mas Alif sudah menjemput. Selama menginap di rumah sakit, hanya ibu yang menemaniku di sini, sebab Mas Azka juga dirawat di rumah sakit Husada, tak jauh dari sini. Luka bekas kecelakaan itu membutuhkan perawatan khusus. Tak boleh dibiarkan begitu saja karena bisa infeksi. Andai tak khawatir dengan keadaan anak lelakinya, harusnya kemarin Mas Azka belum boleh pulang. Kondisinya memang masih sangat lemah, bahkan memburuk setelah memaksakan pulang dan menjenguk Althaf di sini. Mas Azka juga jatuh pingsan setelah dia mencura
"Assalamu'alaikum." Kuucap salam saat membuka pintu kamar Mas Azka. Laki-laki kebanggaanku itu tersenyum tipis menatapku, yang mulai melangkah perlahan ke arahnya setelah menutup pintu. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Kamu ke sini? Al sama siapa?" tanyanya sedikit kaget lalu berusaha untuk duduk saat aku sampai di sampingnya. "Althaf sama ibu. Gimana keadaanmu, Mas? Sudah membaik, kan?" Laki-laki itu kembali tersenyum lalu mengangguk perlahan. "Alhamdulillah, Dek. Besok juga sudah boleh pulang. Ummi gimana?" Laki-laki ini, meski berulang kali disakiti Ummi, tetap saja menanyakan kabarnya untuk pertama kali. Mas Azka tahu Ummi sakit sejak menjenguk Althaf dua hari lalu. Aku yakin ada rasa bersalah dalam diri Mas Azka sebab kemarin suaranya sedikit meninggi saat bicara dengan Ummi. "Mas sudah minta maaf sama Ummi soal kemarin dan Alhamdulillah Ummi memaafkan. Tapi sampai sekarang Ummi masih sakit, Dek. Apa kata-kata Mas kemarin terlalu menyakitkan buat Ummi?" Ekspresi Mas Azka y
Pov : Rania Pagi ini Abah dan Ummi datang ke rumah. Tiga hari setelah Mas Azka pulang dari rumah sakit. Kulihat wajah Ummi sedikit tirus dan lesu. Tak seperti biasanya yang selalu gesit, ceria dan mudah tersenyum apalagi saat melihat cucu kesayangannya. Apakah Ummi masih memikirkan ucapan Mas Azka waktu itu? Mas Azka yang Ummi pikir tak mungkin memberontak, tak mungkin berani membantah kata-kata Ummi dan tak mungkin bicara dengan nada tinggi ternyata tak sesuai dengan prediksinya. Bukan karena Mas Azka durhaka. Bukan. Aku yakin itu hanya karena Mas Azka terlalu lelah hingga tak sengaja menyakiti hati Ummi. Mas Azka hanya ingin mengungkapkan segala sesak dalam dada dan tak pernah menyangka jika ucapannya itu membuat Ummi terluka. Aku tahu bagaimana perasaan Mas Azka. Dia hanya ingin meluapkan segala ganjalan yang selama ini tersimpan, bukan bermaksud untuk membuat Ummi disesaki kegelisahan. "Mi, sudah sehat?" tanya lelakiku itu singkat sembari mencium punggung tangan Ummi. Mas
Pov : AZKAPerlahan Abah membantuku turun dari mobil. Kembali ke rumah ini. Rumah yang penuh dengan kenangan. Meski hampir semua kenangan yang menyesakkan.Namun aku harus berusaha mengikhlaskan semuanya. Bukan hanya demiku, tapi demi orang-orang yang kucinta.Rania salah satunya. Dia tak ingin melihatku terus tenggelam dalam luka berkepanjangan. Hanya karena sebuah ketidakadilan.Terdengar suara Mas Gaza dari dalam. Sepertinya dia masih menginterogasi orang yang sengaja menabrakku beberapa hari yang lalu."Siapa bosmu?" suara itu begitu tegas, tapi tak ada jawaban yang terdengar."Siapa yang menyuruhmu meneror keluargaku, hah?!" Lagi-lagi suara Mas Gaza semakin meninggi.Aku dan Abah masuk rumah setelah mengucap salam. Kulihat lelaki itu, salah satu lelaki yang ada dalam video Rania kemarin. Tern
Pov : Azka Darah itu mulai mengalir dari dahi Ummi. Pipinya mulai memerah dan kedua matanya terpejam. Ummi pingsan setelah tertabrak mobil cukup kencang di bagian kakinya. Detik ini, kekhawatiran dan ketakutan itu mulai terbayang. Aku benar-benar takut kehilangan Ummi. Aku belum bisa membahagiakan dan membanggakan Ummi sepenuhnya. Aku belum mampu melukiskan senyum di wajahnya. Aku benar-benar tak ingin Ummi pergi. Ambulans itu membawa Ummi ke rumah sakit. Aku membawa Rania dan Althaf kembali ke rumah. Sementara Abah dan Mas Gaza mengikuti ambulans dari belakang. Di dalam mobil, Rania hanya dan terus tergugu dalam tangisnya sembari memangku Althaf yang masih terlelap. Dia belum bisa menceritakan bagaimana bisa Ummi sampai ke tengah jalan sembari memanggil namaku. Kubiarkan Rania tenang terlebih dahulu. Nanti setelah tangisnya mulai reda, dia akan menceritakan sendiri kronologi kecelakaan Ummi dari pandangannya. Sampai rumah, kubuka pintu mobil untuknya. Rania masih saja men
Pov : Azka Tiga hari sudah Ummi dirawat di rumah sakit. Aku tak ingin meninggalkannya, meski sudah ada Abah dan Mas Gaza yang menjaga. Rasanya, hati ini tak rela melihat Ummi tergeletak tak berdaya seperti itu. Sakit sekali melihatnya belum jua membuka mata. Ummi masih koma dan tak ada yang tahu kapan akan kembali seperti sedia kala. Aku rindu dengan senyumnya yang manis, rindu dengan tawanya yang nyaris terdengar setiap saat. Aku rindu nasehat-nasehatnya meski seringkali sangat menyudutkanku dan aku rindu masakan ummi yang terasa berbeda nikmatnya. Rasanya aku lebih rela selalu dibanding-bandingkan dengan Mas Gaza daripada harus melihat Ummi tak berdaya seperti ini. Aku tak tega melihat Ummi yang biasanya selalu ceria, kini bahkan tak terdengar suaranya. Hening. Aku rindu suara Ummi. Aku rindu tatapan tajamnya yang seringkali membuat hatiku terasa nyeri. "Ummi ... maafkan Azka. Maaf jika kata-kata Azka waktu itu terlalu menyakiti hati Ummi. Sungguh Azka tak bermaksud demikian