Semua Bab Taruhan Cinta CEO: Bab 11 - Bab 20
207 Bab
Bab 11. Surat Kesepakatan
Bunda Anin membuka pintu kamar Andin tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu membuat Andin dan Sisil terkejut. “Andin, Sisil, ayo kita makan malam!” “Bunda, kenapa nggak ketuk pintu dulu? Ngagetin kita aja,” ucap Andin sambil mengelus dada. “Emangnya kalian lagi ngomongin apaan?” tanya Bunda Anin yang masih berdiri di ambang pintu. “Kepo!” jawab Andin sambil bangun dari duduknya, kemudian menghampiri sang bunda. “Sil, kamu panggil suamimu dulu ya!” titah Bunda Anin pada menantunya. Bukannya ia lupa dengan permasalahan anak dan menantunya, tapi Bunda Anin tidak mau Aldin dan Sisil semakin menjauh. “Iya, Bun,” jawab Sisil sambil tersenyum pada mertuanya. Ia akan bersikap seolah-olah sudah baikan dengan sang suami supaya sang mertua tidak kepikiran terus tentang masalahnya. “Bukannya Aban
Baca selengkapnya
Bab 12. Raja Di Hatiku
Sisil segera mengemas pakaiannya setelah menandatangani surat kesepakatan. Ia memasukan semua pakaiannya ke dalam koper. “Jangan bawa terlalu banyak! Nanti kalau kamu main ke sini nggak perlu bawa baju ganti,” titah Aldin yang juga sedang mengemas pakaiannya. Sisil kembali menaruh sebagian pakaiannya ke lemari tanpa menyahuti ucapan suaminya. Setelah selesai berkemas Sisil keluar dari kamar tanpa bicara sepatah kata pun pada Aldin. Aldin membaringkan tubuhnya di tempat tidur sambil memegang ponsel baru yang ia beli untuk istrinya. “Apa aku buang aja. Dia juga udah nggak mau menyimpan kenangan aku dan dia. Aku juga nggak mau menyimpannya, cuma menambah luka di hati aja.” Ketika ia hendak mengeluarkan kartu memori dari dalam ponsel tersebut, ia ingat tentang ayah Sisil yang sudah meninggal. “Jangan-jangan di sini banyak foto ayahnya.” Aldin memer
Baca selengkapnya
Bab 13. Rumah Baru
“Hari yang cerah,” ucap Sisil sambil menarik kopernya keluar dari rumah Pradipta. “Lupakan semuanya, Sil. Anggap aja lo lagi ngekos sama beruang kutub.” Andin segera masuk ke dalam mobil suaminya. “Nanti kita tidur di kamar yang berbeda,” ucap Aldin ketika mereka dalam perjalanan ke rumah barunya. “Baguslah,” sahut Sisil dengan sinis. “Aku nggak pake pembantu supaya nggak ada yang tahu kalau kita tidur terpisah. Untuk membersihkan rumah, kita bagi tugas. Pakaian di laundry aja. Kalau mau makan beli, kalau kamu mau masak silakan,” ujar Aldin panjang lebar. “Ok.” Sisil menganggukkan kepalanya tanda setuju. Perjalanan dari rumah orangtuanya menuju rumah barunya memakan waktu satu jam. Kini Aldin dan Sisil berada di rumah baru mereka. Rumahnya tidak terlalu besar. Namun, sangat nyaman. Aldin
Baca selengkapnya
Bab 14. Suami Di Buku Nikah
“Astaga! Dasar beruang kutub, nggak bisa lihat orang seneng,” gerutu Sisil sambil mengekori suaminya yang berjalan lebih dulu sambil menenteng kantung belanjaan. Sisil masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu mobil dengan keras. Aldin segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Mereka berdua hanyut dalam keheningan. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan ‘Kalau sampai rumah, mau aku unjukin surat kesepakatan itu. Dia udah melanggarnya,’ batin Sisil. “Status kamu itu masih istriku. Berprilaku yang baiklah jika di tempat umum, jangan mempermalukan suamimu.” Aldin memecah keheningan di antara mereka. “Kamu itu masih suamiku di buku nikah, bersikaplah selayaknya seorang suami, Tidak membentak-bentak istrimu di depan umum,” balas Sisil sambil mencebikkan bibirnya. Kemudian menggeser duduknya membelakangi sang suami.&nb
Baca selengkapnya
Bab 15. Hati Yang Terbakar
Satu minggu sudah mereka berada di rumah barunya. Kini Sisil sudah mulai bekerja dengan Gilang. Sejak ciuman panas itu, mereka tidak pernah bertegur sapa walaupun tinggal satu atap. Semakin ada jarak di antara mereka berdua. Tembok yang tinggi yang mereka bangun sendiri dengan ego masing-masing. Sisil merasa kecewa karena Aldin menciumnya bukan karena cinta, tapi hanya ingin menyakitinya. Sementara Aldin menyesali perbuatannya yang hampir saja merenggut kegadisan sang istri dengan cara paksa. Aldin menyadari kesalahannya karena sudah sangat menyakiti istrinya. Ia menyesal telah menyakiti hati wanita yang sangat ia cintai itu, tapi egonya menghalangi ia untuk mengakui kesalahannya. Aldin seorang CEO dari RPP Group, ia menjadi pewaris perusahaan sang kakek karena ayahnya mempunyai perusahaan sendiri yang ia bangun dengan kerja keras sendiri yang dibantu oleh sahabatnya. Jam sudah menunjukkan pukul tuju
Baca selengkapnya
Bab 16. Kesepakatan Baru
“Kita buat kesepakatan baru.” Aldin mengeluarkan selembar kertas dan pulpen. Ia menuliskan beberapa poin di surat kesepakatan itu. “Kamu nulis apa, banyak banget.” Sisil mencondongkan wajahnya ke depan melihat apa yang ditulis suaminya. Aldin menulis surat kesepakatan itu dengan serius. “Aku cuma menulis empat poin aja, silakan kamu tulis apa yang mau kamu tambahkan, selain dari tugas rumah karena tugas rumah sudah disepakati sebelumnya,” jelas Aldin sambil mengulurkan tangan menyerahkan kertas dan pulpennya pada Sisil. “Apa ini? Kenapa banyak sekali.” Sisil membaca satu persatu poin-poin yang ditulis suaminya. Lalu ia menambahkan dua poin di kertas itu. Setelah selesai menulis dia memberikan kembali pada suaminya. “Yakin cuma nambahin dua aja?” tanya Aldin pada Sisil sambil menatap sang istri dengan serius. Sisil mengan
Baca selengkapnya
Bab 17. Sisil Pingsan
Sisil masuk ke dalam kamarnya dengan langkah sempoyongan. “Kalau mandi seger lagi kali ya,” gumamnya. Ia segera masuk ke kamar mandi setelah mengambil baju tidurnya terlenih dulu. Lima menit kemudian Sisil sudah selesai mandi dan berpakaian. Saat membuka pintu kamar mandi, kepalanya tiba-tiba terasa berputar. Tangannya berpegangan pada kenop pintu, tapi ia tidak bisa menahan tubuhnya lagi, dan akhirnya terkulai lemas di depan kamar mandi. Tok tok tok “Sil, aku masuk ya!” teriak Aldin dari luar kamar. Aldin terus saja mengetuk pintu sambil berteriak memanggil istrinya. “Apa dia udah tidur?” gumam Aldin sambil membawa susu hangat untuk Sisil. Aldin kembali ke kamarnya karena tidak ada sahutan dari dalam kamar Sisil. Ia merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu. Aldin mencoba memejamkan matanya, tapi ia terus saja terbayang-bayang wajah sang istri.
Baca selengkapnya
Bab 18. Kalau Masih Cinta Jangan Jual Mahal
“Udah tengah malam begini, mau makan apa?” gumam Aldin sembari membuka pintu kulkas. “Masak omlet aja lah.” Aldin pun mempersiapkan bahan-bahannya. Setelah semua bahan siap,  ia segera memasaknya. “Yang penting kenyang,” ucapnya sambil menuang omletnya di atas piring. Ia pun segera menyantapnya. Tidak butuh waktu lama, omlet itu sudah ludes dilahapnya. Setelah selesai makan ia segera kembali ke kamarnya. Aldin berpapasan dengan Sisil saat kakinya baru selangkah menapaki tangga. Aldin tidak menyapanya begitu pun dengan Sisil. Tapi, Aldin terus memperhatikan istrinya sampai di dapur. Ia terus memantau sang istri dari kejauhan. Khawatir Sisil jatuh pingsan lagi. Setelah Sisil bangun dari duduknya hendak kembali ke kamar, Aldin baru masuk ke kamarnya. “Tidur lagi ah.” Aldin merentangkan otot-ototnya, lalu kembali terlelap karena perutnya sudah kenyang. 
Baca selengkapnya
Bab 19. Pulang Ke Rumah Ibu
“Bos, hari ini aku pulang duluan ya, badanku lagi kurang sehat. Tapi, tenang aja, kerjaanku udah beres semua kok.” Sisil duduk di kursi di depan meja bosnya. “Iya, Sil, kalau udah selesai pulang aja. Tapi, hari ini aku nggak bisa nganter, masih ada sedikit kerjaan.” Gilang menatap istri dari sepupunya sambil tersenyum manis. “Iya, Lang, nggak apa-apa,” sahut Sisil. “Eh, maksudku, Bos,” lanjutnya sambil tertawa pelan. Gilang pun ikut tertawa. “Nggak apa-apa, Sil, kalau lagi berdua gini panggil nama aja! Kalau lagi ada pegawai lain baru panggil Bos, kalau cuma nama, bisa ada fitnah nantinya. Kamu ‘kan tahu sendiri siapa aku,” jelas Gilang sembari tertawa. Sebrengsek-brengseknya dia, nggak mungkin menikung istri saudaranya sendiri. “Bener juga. Mereka pasti berprasangka buruk tentang kita,” kata Sisil sambil tertawa. “Ya
Baca selengkapnya
Bab 20. Buku Harian Sisil
Aldin sampai di rumah mertuanya pada pukul tujuh malam. Dari kantor langsung menyusul sang istri ke rumah ibunya.Aldin mengetuk pintu rumah mertuanya yang sederhana itu sambil mengucapkan salam. Tidak lama kemudian Bu Lastri membukakan pintu untuk menantunya.“Nak Al, ayo masuk dulu! Kamu baru pulang kerja?” tanya Bu Lastri yang melihat menantunya masih menggunakan baju setelan kerja dengan dasi yang sudah mengendur, tapi masih menyangkut di lehernya.“Iya, Bu,” jawab Aldin sambil menyalami mertuanya.“Kamu istirahat dulu aja di kamar Sisil. Dia lagi Ibu suruh beli bahan-bahan untuk membuat kue,” kata Bu Lastri dengan ramah pada menantunya. “Mari Ibu antar ke kamarnya.”Aldin melangkahkan kakinya menuju kamar tidur sang istri, diantar oleh mertuanya.“Ibu tinggal dulu ya, Nak,” kata Bu Lastri dengan ramah.Bu Lastri hendak membuat minuman untuk menant
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
21
DMCA.com Protection Status