Sisil masuk ke dalam kamarnya dengan langkah sempoyongan. “Kalau mandi seger lagi kali ya,” gumamnya.
Ia segera masuk ke kamar mandi setelah mengambil baju tidurnya terlenih dulu. Lima menit kemudian Sisil sudah selesai mandi dan berpakaian. Saat membuka pintu kamar mandi, kepalanya tiba-tiba terasa berputar.
Tangannya berpegangan pada kenop pintu, tapi ia tidak bisa menahan tubuhnya lagi, dan akhirnya terkulai lemas di depan kamar mandi.
Tok tok tok
“Sil, aku masuk ya!” teriak Aldin dari luar kamar. Aldin terus saja mengetuk pintu sambil berteriak memanggil istrinya. “Apa dia udah tidur?” gumam Aldin sambil membawa susu hangat untuk Sisil.
Aldin kembali ke kamarnya karena tidak ada sahutan dari dalam kamar Sisil. Ia merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu. Aldin mencoba memejamkan matanya, tapi ia terus saja terbayang-bayang wajah sang istri.
“Udah tengah malam begini, mau makan apa?” gumam Aldin sembari membuka pintu kulkas. “Masak omlet aja lah.” Aldin pun mempersiapkan bahan-bahannya. Setelah semua bahan siap, ia segera memasaknya.“Yang penting kenyang,” ucapnya sambil menuang omletnya di atas piring. Ia pun segera menyantapnya. Tidak butuh waktu lama, omlet itu sudah ludes dilahapnya. Setelah selesai makan ia segera kembali ke kamarnya.Aldin berpapasan dengan Sisil saat kakinya baru selangkah menapaki tangga. Aldin tidak menyapanya begitu pun dengan Sisil. Tapi, Aldin terus memperhatikan istrinya sampai di dapur. Ia terus memantau sang istri dari kejauhan. Khawatir Sisil jatuh pingsan lagi.Setelah Sisil bangun dari duduknya hendak kembali ke kamar, Aldin baru masuk ke kamarnya. “Tidur lagi ah.” Aldin merentangkan otot-ototnya, lalu kembali terlelap karena perutnya sudah kenyang.
“Bos, hari ini aku pulang duluan ya, badanku lagi kurang sehat. Tapi, tenang aja, kerjaanku udah beres semua kok.” Sisil duduk di kursi di depan meja bosnya.“Iya, Sil, kalau udah selesai pulang aja. Tapi, hari ini aku nggak bisa nganter, masih ada sedikit kerjaan.” Gilang menatap istri dari sepupunya sambil tersenyum manis.“Iya, Lang, nggak apa-apa,” sahut Sisil. “Eh, maksudku, Bos,” lanjutnya sambil tertawa pelan.Gilang pun ikut tertawa. “Nggak apa-apa, Sil, kalau lagi berdua gini panggil nama aja! Kalau lagi ada pegawai lain baru panggil Bos, kalau cuma nama, bisa ada fitnah nantinya. Kamu ‘kan tahu sendiri siapa aku,” jelas Gilang sembari tertawa. Sebrengsek-brengseknya dia, nggak mungkin menikung istri saudaranya sendiri.“Bener juga. Mereka pasti berprasangka buruk tentang kita,” kata Sisil sambil tertawa. “Ya
Aldin sampai di rumah mertuanya pada pukul tujuh malam. Dari kantor langsung menyusul sang istri ke rumah ibunya.Aldin mengetuk pintu rumah mertuanya yang sederhana itu sambil mengucapkan salam. Tidak lama kemudian Bu Lastri membukakan pintu untuk menantunya.“Nak Al, ayo masuk dulu! Kamu baru pulang kerja?” tanya Bu Lastri yang melihat menantunya masih menggunakan baju setelan kerja dengan dasi yang sudah mengendur, tapi masih menyangkut di lehernya.“Iya, Bu,” jawab Aldin sambil menyalami mertuanya.“Kamu istirahat dulu aja di kamar Sisil. Dia lagi Ibu suruh beli bahan-bahan untuk membuat kue,” kata Bu Lastri dengan ramah pada menantunya. “Mari Ibu antar ke kamarnya.”Aldin melangkahkan kakinya menuju kamar tidur sang istri, diantar oleh mertuanya.“Ibu tinggal dulu ya, Nak,” kata Bu Lastri dengan ramah.Bu Lastri hendak membuat minuman untuk menant
Aldin segera menutup buku harian Sisil saat ada yang mengetuk pintu. Ia segera mengusap sisa air mata yang membasahi pipinya. Kemudian ia segera membuka pintu.“Nggak usah repot-repot, Bu!” ucap Aldin saat membuka pintu kamar, ibu mertuanya berdiri di depan pintu sambil membawa secangkir teh dengan asap yang masih mengepul.“Nggak apa-apa, Nak,” ucap Bu Lastri sambil tersenyum. “Matamu kenapa merah seperti itu?” tanya wanita yang sudah berumur lebih dari setengah abad.“Aku udah ngantuk, Bu,” jawab Aldin pura-pura menguap. “Aku boleh numpang bersih-bersih?” tanyanya dengan sopan pada sang mertua.“Boleh, Nak. Anggap aja rumah sendiri, walaupun rumah Ibu nggak sebagus rumahmu,” jawab Bu Lastri sambil tersenyum.“Terima kasih, Bu,” jawab Aldin.“Ya udah sana bersih-bersih!
Sisil menjerit saat membuka mata, kaki Aldin membelit kakinya, tubuh mungilnya di peluk dengan erat oleh laki-laki yang hanya menggunakan celana boxer berwarna hitam. Sedangkan tangan sang suami menjadi bantalan kepalanya."Kenapa begini?" Sisil merasa bingung, sejak kapan ia menjadikan tangan Aldin sebagai bantalan kepalanya. "Al, bangun! Kenapa kamu nggak pake baju?" Sisil mendorong wajah suaminya dengan telapak tangan. Ia berusaha melepas pelukan sang suami, tapi laki-laki yang bertelanjang dada itu semakin erat memeluknya.Sisil tidak pantang menyerah, ia berusaha melepas pelukan suaminya. Namun, tubuhnya yang mungil tentu saja kalah dengan tubuh sang suami yang kekar.Sebenarnya Aldin hanya berpura-pura tertidur, ia sudah bangun sejak sang istri berteriak. Namun, ia memanfaatkan kesempatan demi memeluk istri yang sangat ia cintai."Al, bangun! Kamu udah melanggar kesepakatan kita." Sisil mendorong tubuh kekar sang suami dengan kuat, tapi
"Kamu ngapain aja?" tanya Sisil sambil menutupi dadanya dengan selimut. Walaupun kain penutup itu tidak lepas dari tubuhnya, tapi penutup bukit kembarnya sudah tidak menutupi gundukan kenyal itu."Ya melakukan apa yang seharusnya seorang suami lakukan terhadap istrinya. Memangnya apalagi," sahut Aldin yang masih meringkuk di tempat tidur dengan mata yang masih terpejam."Kamu udah melanggar kesepakatan itu. Kamu yang akan bersih-bersih rumah selama satu bulan ke depan," ucap Sisil dengan sedikit emosi. Ia tidak mau melakukan hubungan itu dengan paksaan, apalagi dengan kondisi rumah tangga mereka yang entah bagaimana akhirnya nanti.Aldin membuka matanya, lalu bangun dan terduduk. "Itu tidak masalah My lovely," sahut Aldin sambil menjawil dagu istrinya. "Seharusnya kamu nggak kerja yang berat-berat, supaya benih cinta kita cepat tumbuh di sini," imbuhnya sambil meraba perut rata sang istri.Sisil menepis tangan suaminya. Ia sangat kecewa dengan laki-laki y
Sisil mendesah saat tangan sang suami meremas pelan bukit kembarnya."Bagaimana, Sayang? Nikmat bukan?" bisik Aldin di telinga Sisil. Bibirnya menempel pada daun telinga sang istri yang membuat bulu tengkuk istrinya meremang."Al ...." Sisil menggeliatkan tubuhnya. "Lepasin, Al!"Bibirnya berucap penolakan, tapi tidak dengan tubuhnya. Tidak dipungkiri ia menikmati sentuhan suaminya.Aldin tidak mendengarkan ucapan istrinya, ia yakin walaupun Sisil mengucapkan penolakan tapi tubuhnya merespon lain.Tangan Aldin semakin nakal, menelusuri paha istrinya sampai dengan pangkal paha, diusapnya milik Sisil yang paling berharga itu yang sudah tidak tertutup apa-apa.Jarinya bermain di dalam lubang inti sang istri yang membuat Sisil mendesah manja. Menggelinjangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri saat tangan suaminya menari-nari di dalam sana.
Terdengar suara sirine dari mobil kebakaran. Suaranya terdengar sangat nyaring sehingga Aldin dan Sisil beserta Bu Lastri dan Mbak Tati bergegas keluar rumah.“Bu, apa di rumah Bu Ina ada orang?” tanya Bu Lastri pada tetangganya yang baru saja dari tempat kejadian.“Tidak ada, Bu. Rumahnya kosong,” jawab tetangga Bu Lastri.Bu Lastri mengusap dadanya, ia merasa lega, setidaknya tidak ada korban jiwa dalam peristiwa kebakaran itu. “Syukurlah.”Terlihat kepulan asap yang menghitam di langit gelap. Dengan cepat para petugas pemadam kebakaran itu mematikan api di rumah Bu Ina. Untung saja jarak rumah mereka tidak terlalu berdekatan sehingga tidak merembet ke rumah warga yang lain. “Untung saja Pak Imam yang baru pulang dari pasar melihat api yang belum membesar, beliau beserta warga yang lain segera melapor dan berusaha memadamkannya s