Share

(bukan) Perempuan Biasa. (buku ketiga)
(bukan) Perempuan Biasa. (buku ketiga)
Penulis: Suzy Wiryanty

Chapter 1

Vina tengah mengaduk teh saat seseorang memeluk erat pinggangnya. Tanpa menoleh pun Vina tahu tangan siapa yang melingkari pinggangnya ini. Aria Wardana, atasan sekaligus mantan pacarnya. Vina tidak menyangka kalau atasannya ini mengikutinya hingga ke pantry. 

"Pak Ari, jangan seperti ini. Ini kantor. Lagi pula saya ini adalah staff Bapak. Tolong hormati saya." Vina menggeliat. Mencoba melepaskan diri dari dekapan erat Aria. 

"Bapak... Bapak... saya ini pacar kamu, Vina. Panggil saya Mas Ari seperti biasa." Alih-alih melepaskan pelukan, Aria malah mempererat pelukannya. Kedua tangannya membelit pinggang Vina, hingga si empunya pinggang merasa sesak napas. 

"Lepaskan, Pak! Ini tempat umum. Nanti ada yang melihat." Vina gelagapan. Terlebih lagi saat ia merasa napas Aria menderu-deru di lehernya. Aria pasti bermaksud untuk menciumnya. 

"Kenapa kalau ada yang melihat? Kantor ini, kantor saya. Kamu juga pacar saya. Jadi saya tidak punya urusan dengan mereka. Jangan bergerak-gerak, Sayang. Saya ingin menikmati kemanisan bibirmu." 

Apa boleh buat. Saat Vina merasa bibir panas Aria mulai merambati ceruk lehernya, Vina pun menggerakkan kedua sikunya ke belakang. Menghantam keras perut Aria. Pelukan terurai seiring dengan umpatan sumpah serapah dari mulut Aria. Aria kini mencengkram rahangnya erat. Menekannya geram hingga jari-jemarinya memutih. Vina mendesis kesakitan. Namun ia bertahan untuk tidak memohon. Orang seperti Aria ini sangat suka melihat orang tertindas dan kemudian memohon-mohon. Aria berjiwa psikopat. Selama tiga bulan berpacaran, Vina mulai bisa merasakan sikap superior Aria. 

"Sialan! Sudah mulai berani kamu ya? Ingat baik-baik, Vina. Nasibmu itu berada di tangan saya. Kalau kamu macam-macam, kamu akan saya pecat! Selain itu saya bisa membuat hidupmu bagai dalam neraka. Coba saja lawan saya. Nanti akan kamu rasakan sendiri akibatnya!" 

Aria menghempaskan wajah Vina hingga ia terdorong ke belakang. Vina meringis saat merasakan pinggulnya menghantam bak cuci piring. Namun seperti tadi, ia tidak mau memperlihatkan kesakitannya. Ia hanya mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Menahan kesakitan dalam diam. 

"Ingat, saya tidak menyetujui perpisahan kita. Saya tetap menganggap kamu adalah pacar saya. Titik." 

Vina menghapus air mata. Mengutuki kecerobohannya tiga bulan lalu. Ia baru bekerja di kantor ini selama empat bulan. Setelah bekerja kurang lebih sebulan, Aria menyatakan jatuh cinta padanya. Dan dirinya yang masih dipengaruhi hormon endorphin kala itu menerima pernyataan cinta Aria dengan suka cita. Waktu itu ia terlalu bahagia karena merasa dicintai oleh seorang pria serupawan Aria. Atasannya sendiri lagi. Yang artinya status sosialnya di atas rata-rata. Mapan dan rupawan. Dua hal yang memang sulit ditolak oleh wanita mana pun. Karena waktu itu hatinya tengah berbunga-bunga, ia melupakan satu hal. Bahwa seorang pria sedewasa Aria, mustahil rasanya apabila belum mempunyai pasangan. Kecuali ia mempunyai orientasi seksual yang berbeda atau mempunyai penyakit tertentu. 

Waktu berlalu. Hari berganti minggu, bulan, hingga empat bulan pun berlalu. Dan minggu lalu kebenaran terkuak saat seorang wanita cantik mengunjungi Aria di kantor. Wanita cantik yang bernama Alana Bagaskara itu mengaku sebagai istri Aria. Ternyata Aria telah membohonginya selama ini. Menurut salah seorang rekan kerjanya, Alana dan Aria telah menikah selama dua tahun lamanya. Hanya saja belum ada kehadiran seorang anak dalam rumah tangga mereka. Pantas saja Aria merahasiakan hubungan mereka di kantor. Aria beralasan soal kode etik. Tidak elok kalau seorang atasan berpacaran dengan staffnya sendiri. Vina merasa sangat bersalah. Ia akhirnya meminta putus dari Aria saat itu juga. Namun beginilah akhirnya. Aria tidak ingin putus dan mengancamnya dengan ini dan itu. 

Vina mencuci wajahnya di wastafel. Mencoba menyamarkan jejak-jejak air mata dengan basuhan air. Setelah menutup keran, Vina memandangi pantulan dirinya di kaca wastafel.

Seorang gadis berwajah pucat, balas menatapnya sendu. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin membuat wajah lelahnya tampak mengenaskan. Cobaan hidup bertubi-tubi menghantamnya tanpa henti. 

Dimulai dari perceraian kakaknya, Dina dengan Rayhan, karena Dina diduga mandul. Hingga Dina ketahuan melakukan affairs dengan suami sahabatnya, Kanaya. Masalah makin pelik karena Dina kini hamil, sehingga membuat pernikahan Kanaya dan Ghifari, suaminya berantakan. 

Masalah tidak berhenti di situ saja. Pada akhirnya diketahui bahwa Dina bukan mengandung anak dari Ghifari. Melainkan anak dari salah seorang mantannya saat sekolah dulu. Reuni membuat mereka terkenang akan romansa masa lalu, yang berakhir dengan cinta satu malam. 

Ghifari yang dijebak, murka. Apalagi akibat perbuatan Dina, Kanaya meminta cerai dan kini telah menikah dengan Haikal. Ghifari yang menganggap Dina sebagai biang masalah yang menghancurkan rumah tangganya, membalas dengan menghancurkan usaha keluarga mereka. Delapan gerai warung bakso ayahnya telah ditutup akibat ulah Ghifari minggu lalu. Kini keluarganya hanya mengandalkan gajinya sebagai staff di perusahaan properti milik Aria ini. Namun sepertinya nasibnya juga akan berakhir lara. Karena Aria terus mengancam akan memecatnya kalau ia tidak mau menuruti semua keinginannya. Makanya sudah seminggu ini Vina merasa tidak enak makan dan juga tidak enak tidur. Ia gelisah memikirkan masa depan keluarganya.

"Lho, Vin. Lo kok masih di sini? Oh lo lagi buat teh ya? Udah ntar aja lo minumnya. Mending sekarang lo ikut gue ke ruangan meeting. Kita kedatangan boss besar." Suci, salah seorang rekan kerjanya menarik pergelangan tangannya. Suci ini adalah rekannya yang paling baik. Suci berasal dari keluarga sederhana. Makanya Suci merasa cocok berteman dengannya.

"Boss besar?" Vina membeo.

"Bukannya boss besar kita itu Pak Aria ya?" ujar Vina bingung. Setahunya di perusahaan ini, boss besarnya adalah Aria.

"Ck. Bukan, Vin. Jabatan tertinggi emang sih dipegang Pak Aria. Tapi pemilik perusahaan ini adalah Pak Rajata Bagaskara. Kakak ipar Pak Aria. Dulu Pak Aria itu karyawan di sini. Nah Pak Aria itu akhirnya menikahi Bu Alana Bagaskara. Terus Pak Aria naik jabatan deh. Jadi boss di sini," terang Suci lagi.

"Oh, begitu ya? Gue nggak tau, Ci."

"Ya iyalah lo nggak tahu. Kapan lo baru empat bulan di sini." Suci memutar bola mata.

"Yuk ah. Cus, kita ke sana. Ntar aja lo minum tehnya. Semua staff sekarang sudah stand by tuh di ruangan meeting. Mereka bersiap-siap untuk menyambut kehadiran Pak Rajata yang baru pulang dari Amsterdam. Biasanya kalau baru pulang kandang begini, Pak Rajata suka memberi kata sambutan untuk semua staff. Kayak wejangan ala-ala motivatorlah. Ayo kita ke sana, Vin." 

Suci, kini menarik paksa lengannya. Walau bingung, Vina mengikuti juga langkah-langkah bergegas Suci. Berdua mereka melangkah lebar-lebar menuju ruangan meeting. Dan benar saja, pintu ruangan meeting telah terbuka lebar. Beberapa staff tampak berjalan bergegas masuk ke dalam ruangan. 

"Tuh kan. Apa gue bilang. Anak-anak udah pada ngumpul. Ayo buruan. Jangan ntar duluan Pak Rajata masuk lagi. Bisa habis kita." 

Seiring kalimat yang diucapkan Suci, mereka berdua pun mempercepat langkah. Sayangnya, karena terburu-buru kakinya terpelecok dan nyaris jatuh terjerembab. Ia bersiap menahan rasa sakit dan juga malu. Bayangkan, ia terjatuh seperti nangka busuk di hadapan boss besarnya dan juga para staff. Sakitnya mungkin bisa ia tahan. Namun malunya itu yang tidak bisa ia lupakan. 

Syukurnya ada sepasang lengan kuat yang menahan bahunya dari belakang. Sehingga tubuhnya tidak sampai terjerembab. Alhamdullilah.

"Terima kasih---" 

Vina membalikkan badan dengan cepat. Berniat mengucapkan terima kasih pada orang yang telah menolongnya. Namun ia kaget saat melihat siapa orang yang telah menolongnya. Ia mendapati sosok Bu Alana dalam versi pria dalam balutan jas mahal. Dan sosok itu kini menatapnya tajam.

Astaga, ini pasti boss besarnya. Rajata Bagaskara!

"... dan se--selamat datang Pak Rajata," lanjut Vina gugup. Ia buru-buru menegakkan tubuh dan mengangguk sopan pada Pak Rajata. Setelahnya ia meper-meper mendekati tempat Suci berdiri. Rajata tidak merespon ucapannya. Ia melanjutkan langkahnya menuju ke depan podium. Di ruangan meeting ini memang disediakan podium kecil, yang berfungsi sebagai tempat para atasan menyampaikan aspirasi seperti saat ini, atau mempresentasikan proposal.

"Yaelah, Vina. Lo ini kalo mau main akrobat liat-liat tempat dong, shay. Jangan di depan mata boss besar. Siap-siap aja lo diceramahin dua hari dua malam," desis Suci dengan suara tertahan.

"Ya, gue nggak sengaja juga kali, Ci." Vina balas berbisik. Ia sama sekali tidak berani melirik ke arah Rajata. Namun sekilas ia sempat melihat Aria memelototinya. Vina pura-pura tidak melihat tatapan Aria. Ia tahu kalau Rajata ini adalah adik kakak ipar Aria. Bisa habis karirnya kalau Rajata mencurigai hubungannya dengan Aria.

"Selamat pagi semuanya. Saya yakin kalian yang bekerja lebih dari dua tahun di PT. Inti Karya Mandiri ini, pasti telah mengenal saya dengan baik. Kalian pasti juga tahu, bahwa sudah dua tahun saya mengurus kantor cabang di Amsterdam. Dan hari ini saya umumkan bahwa saya akan kembali berkantor di sini, karena ada sesuatu hal yang perlu saya bereskan."

Entah mengapa saat Rajata mengatakan bahwa ia kembali karena ada sesuatu hal yang harus ia bereskan, Vina bergidik. Karena Rajata seperti memandangnya lurus-lurus. Atau ini hanya perasaannya saja? 

"Hari ini saya kembali ke kantor dan kembali menjadi atasan kalian semua. Dan saya harap kita semua mampu bekerja sama, saling mengadu prestasi dan kerja keras. Bukannya saling menjatuhkan dan sikut kanan kiri. Ingat, saya tidak akan mentolerir kecurangan dalam bentuk apapun. Saya sangat membenci penghianatan dan segala dedengkotnya."

Dan lagi-lagi, Vina merasa Rajata menyambarnya dengan lirikan sinis, saat mengucapkan kata penghianatan dalam bentuk apapun.

"Eh, Vin. Lo ngerasa nggak kalo Pak Rajata terus terusan ngelirik lo. Jangan-jangan ia mengingat lo sebagai karyawati paling ceroboh, karena kasus nyaris ngejengkangnya lo tadi." Suci berbisik pelan di telinganya. Berarti bukan perasannya saja. Suci juga merasakannya.

Mudah-mudahan saja, memang karena kasus nyaris jatuhnya tadi. Dan bukan karena masalahnya dengan Aria yang Rajata ketahui.

"Nggak tau juga, Ci. Mudah-mudahan dia nggak terus nginget tingkah memalukan gue ya, Ci?" Vina balas berbisik. 

"Aamiin."

"Ingat, rekan-rekan sekalian. Sebatang lidi sudah pasti tidak akan mungkin membersihkan halaman rumah yang kotor. Akan tetapi jika lidi tersebut terkumpul dalam jumlah yang besar, serta terkemas dan menjadi sebuah benda yang dinamakan sapu lidi, maka jangankan hanya satu sampah. Tapi beratus-ratus sampah pun akan disapu bersih tak bersisa. Demikianlah perumpamaan yang saya jabarkan tentang sebuah kerjasama. Untuk itu mari kita jaga rasa tanggung jawab kita dan kita pelihara bersama-sama agar menuju kekuatan yang besar pula. Demikianlah kata-kata sambutan singkat dari saya, agar kalian semua lebih termotivasi. Sekarang kalian boleh kembali ke ruangan kalian masing-masing."

Vina, Suci berikut semua staff, tetap diam di tempat hingga kelebat bayangan tubuh Rajata menghilang di ambang pintu. Setelahnya terdengar helaan napas panjang berjamaah. Sepertinya para staff juga mengalami kegelisahan sama seperti dirinya. 

Tatapan Rajata tadi, mungkin hanya perasaannya dan Suci saja. Insyallah.

"Ayo kita segera kembali ke kubikel kita, Vin. Pokoknya setelah hari ini, suasana kantor kita akan berbeda atmospherenya." Sembari berjalan Suci terus berbicara. Beginilah Suci apabila ia sedang gelisah. Mulutnya akan mengoceh tiada henti. Empat bulan mengenalnya membuat Vina kurang lebih mengetahui karakternya.

***

Vina memindai pergelangan tangannya. Pukul 12.00 WIB. Waktunya makan siang. Vina melirik ke kanan dan ke kiri. Ia menunggu rekan-rekannya meninggalkan kubikel masing-masing dulu, barulah ia berniat menikmati makan siang. Bukan apa-apa. Sudah seminggu ini ia tidak pernah lagi makan di luar atau di kantin seperti dulu. Ia sekarang selalu membawa bekal dari rumah. Ia harus berhemat, agar mampu mencukupi pengeluaran keluarga. Apalagi sekarang ibunya sakit-sakitan akibat ulah Dina. Kakaknya itu memang tidak pernah berubah. Selalu membuat mereka sekeluarga sakit kepala. 

"Vin, kita makan di kantin, yuk? Tenang aja, gue yang traktir. Kan kita baru gajian?" Suci muncul di sampingnya, sembari menggesek-gesekkan jempol dan jari telunjuknya. Mengisyaratkan kalau dirinya tengah memiliki banyak uang.

"Nggak usah deh, Ci. Gue udah bawa bekal. Sayang kalau nggak dimakan."

"Yaelah, siapa bilang kagak usah lo makan? Lo makan aja bekal lo. Tapi makannya di kantin. Ntah ditambah lauk lain lagi. Gue takut lo bisulan tiap hari makan telur. Senin telur ceplok. Selasa telur dadar. Rabu telur balado. Jumat telur orak-arik. Nah ini telur apaan?" Suci memanjangkan lengannya. Bermaksud membuka kota bekalnya di atas meja. Vina bermaksud menyembunyikan bekalnya. Namun tangan Suci lebih cepat menyambarnya. 

"Astaga, telur rebus tok! Vina... Vina... irit boleh. Tapi ini lo udah keterlaluan. Gue yakin kalo lo buang angin, pingsan semua orang seruangan." 

"Apa boleh buat, Ci. Kan lo tau keadaan gue sekarang bagaimana." Vina mengangkat bahu pasrah. Ia memang menceritakan keadaan keluarganya sekarang pada Suci. Suci tahu semuanya, kecuali satu hal. Soal hubungan terlarangnya dengan Aria. Untuk hal yang satu itu, ia akan menyimpannya rapat-rapat.

"Makanya sekarang gue ada rezeki ayuk kita ke kantin. Gue tambahin lauk apa kek nanti. Entah ayam, ikan, pokoknya makanan bergizilah. Udah cepetan kita jalan. Ntar keburu habis lagi jam makan siang kita.

Walau tidak enak hati, Vina mengikuti juga langkah kaki Suci menuju kantin kantor. Satu hal yang tidak mereka berdua duga adalah. Rajata, Aria dan Alana ada di dalam kantin. Kaki Vina seakan-akan terpaku di lantai kantin. Drama apa lagi yang akan terjadi ini, ya Allah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status