Share

Chapter 3

Vina yang baru saja turun dari ojek online, merasa ada yang salah saat mendapati ada beberapa mobil yang tengah parkir di depan rumahnya. Ia baru saja pulang dari kantor sore ini. Kekhawatirannya kian menjadi saat mendengar tangisan ibunya, dan kalimat tolong yang berulang kali ayahnya ucapkan dari dalam rumah. Sementara suara keras beberapa orang menimpali kalimat ayahnya dengan kata, tidak bisa berulang kali. Ketika mendengar suara ibunya menjerit, Vina segera berlari menuju pintu utama.

Jantungnya seketika berdebar kencang saat mendapati beberapa orang berpakaian formal, anggota kepolisian dan TNI tengah berbicara keras dengan ayahnya. Firasatnya mengatakan kalau mereka ini adalah para petugas bank. Vina berkeringat dingin. Jangan-jangan rombongan ini adalah juru sita pengadilan yang dikawal oleh aparat, untuk melakukan penyitaan atas rumah mereka. Astaghfirullahaladzim. Cobaan apalagi ini!

"Vina, kebetulan kamu sudah pulang, Nak. Bapak-bapak ini ingin menyita rumah kita, Nak. Kalau rumah kita disita, kita mau tinggal di mana? Ibu bingung." 

Bu Misna segera menghampiri Vina yang mematung. Anak bungsunya ini cerdas dan bisa diandalkan. Tidak seperti Dina, putri sulungnya yang kerjanya hanya membuat masalah saja. Apalagi Vina sekarang berpacaran dengan atasannya. Pasti calon menantunya yang kaya raya itu bisa menolong kesulitan mereka semua.

"Iya, Bu. Ibu tenang saja. Vina akan berbicara dengan bapak-bapak ini. Ibu beristirahat di kamar saja. Ibu kan masih sakit," bujuk Vina lembut. Semenjak kakaknya berulah macam-macam, ibunya memang kerap sakit-sakitan.

"Ya sudah. Ibu masuk ke dalam saja. Setelah kamu pulang, baru Ibu tenang. Bantu ayahmu berbicara dengan bapak-bapak ini ya, Vin?" pinta Bu Misna. Sekarang ia sudah lebih tenang. Vina itu sangat cerdas. Pasti Vina bisa menyelesaikan semuanya. 

Setelah bayangan ibunya menghilang, barulah Vina bersuara.

"Selamat sore, Bapak-Bapak sekalian. Sebenarnya ini ada apa?" Walaupun tengah ketakutan, Vina berusaha bersikap tegar. Ia tidak mau membuat kedua orang tuanya makin stress. Saat ini ayahnya hanya duduk mematung di sofa. Ayahnya tampak linglung.

"Selamat sore, Mbak. Kenalkan saya Hendro Sujatmiko. Juru sita bank. Dan ini adalah rekan-rekan saya. Pak Budi dan Pak Warso." Pak Hendro memperkenalkan rekan-rekannya.

"Dan bapak-bapak ini, yang dari seragamnya saja sudah Mbak tahu, mereka adalah petugas kepolisian dan TNI. Kami ke sini karena akan menyita rumah ini, berdasarkan surat penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri Jakarta." Pak Hendro pun segera membaca surat penetapan eksekusinya.

"Sebentar... sebentar, saya ingin tahu kronologis kejadiannya. Mari kita duduk dulu Pak Hendro, Pak Budi, Pak Warso. Saya ingin tahu mengapa rumah kami ini akan disita, padahal kami tidak pernah mengagunkannya." Vina bingung. Sepengetahuannya ayahnya tidak pernah membicarakan soal mengagunkan sertifikat rumah pada bank.

Ketiga bapak-bapak juru sita saling berpandangan. Sepertinya Pak Ramli tidak pernah menceritakan soal pinjaman dana bank. Namun tak urung mereka bertiga duduk juga. Toh masalah penyitaan harus clear hari ini juga.

"Ayah mengagunkan sertifikat rumah kita ini dua tahun lalu, Vin. Dan selama enam bulan belakangan ini, ayah kesulitan membayar cicilan. Maafkan Ayah ya, Vin?" aku Pak Ramli lesu. Sebenarnya ia tidak mau sampai keluarganya tahu. Namun situasi memang sudah semakin tidak terkendali. Ia tidak kuasa menutupinya lebih lama lagi. 

"Kami telah mengirimkan Surat Peringatan Pertama, dua bulan lalu. Namun tidak ada respon dari Pak Ramli. Hingga kami pun mengirimkan Surat Peringatan Kedua, yang berisi penurunan status kredit dari debitur dari kredit yang kurang lancar, menjadi kredit yang diragukan. Namun lagi-lagi Pak Ramli tidak mengindahkan peringatan kami. Hingga Surat Peringatan Ketiga kami kirim dengan isi status debitur menjadi kredit macet. Dan karena tiada itikad baik dari Pak Ramli, akhirnya kami melelang rumah ini, dua minggu lalu. Dan pemenangnya adalah Pak Dedy Suwirya. Jadi sertifikat hak milik rumah ini sudah atas nama Pak Dedy," terang Pak Hendro tegas.

"Sebagai pemenang lelang, Pak Dedy pun mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta. Dan Pihak pengadilan mengabulkan permohonan Pak Dedy yang tertuang dalam Surat Penetapan Eksekusi No: 15/Eks.HT/2021/PN.Mkt tertanggal 19 Juli 2021."

Keterangan dari Pak Hendro selanjutnya tidak lagi disimak oleh Vina. Benaknya dengan segera memutar otak untuk menyelamatkan mereka sekeluarga dari keharusan tidur di jalan malam ini. Vina mengeluarkan ponsel dan menelepon Suci. Ia berjalan ke teras, dan membiarkan ayahnya mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari Pak Hendro.

"Hallo, Ci. Rumah kontrakan tetangga lo yang baru pindah, udah terisi belum?"

"Belum, Vin. Kenapa? Lo mau ngontrak? Ya udah ntar sehabis gue makan, gue ke rumah Cang Abdul nanyain kontrakannya."

"Tolong tanyain secepatnya ya, Ci? Gue mau pindah sekarang juga soalnya."

"Hah! Bujubune kutu kupret. Lo kenapa tetiba mau pindah? Rumah lo digusur?"

"Disita bank tepatnya, Ci." Vina tertawa tanpa merasa lucu.

"Oke. Lo tenang aja. Sekarang juga gue ke sono. Lo tungguin kabar gue ya? Satu lagi, tetap kuat ya, Vin?"

Suara suci yang tadinya penuh dengan canda tawa berganti serius. Sepertinya suci sudah menyadari betapa kritisnya situasi saat ini.

"Harus, Ci. Terima kasih atas dukungan lo. Gue tunggu kabar dari lo secepatnya ya, Ci? Soalnya petugas bank sudah mulai mengeluarkan semua barang-barang kami." Suara Vina mulai bergelombang. Sekuat-kuatnya dirinya, ia hanyalah perempuan biasa. Lahir batinnya lelah didera oleh masalah hidup yang tiada hentinya. 

Melihat ibunya menjerit-jerit histeris saat satu persatu barang-barang penuh kenangan mereka dikeluarkan dari rumah masa kecilnya, Vina menggigit bibir. Bahunya bergetar dengan tangis tertahan. Dari waktu beberapa menit saja hidup keluarga mereka telah hancur!

Tetangga kanan kiri mulai keluar satu persatu. Kehebohan yang mencolok yang berasal dari rumahnya membuat mereka heboh. Makin lama kerumunan makin banyak. Sebagian berbisik-bisik sembari menunjuk ibunya yang terus menangis histeris dalam pelukan ayahnya. 

Vina menguatkan hati. Ia berusaha terlihat acuh. Menit-menit berikutnya, ia bergerak bagaikan robot. Suci yang datang dengan mencarter dua buah mobil bak terbuka, membantunya berkemas. Dua buah mobil pick up, hilir mudik mengangkuti barang-barang yang dikumpulkan juru sita di depan rumah. Memerlukan tiga kali putaran bolak-balik dua buah pick up, barulah barang-barangnya terangkut semua. 

Masalah baru muncul di rumah kontrakan yang baru. Barang-barang mereka terlalu banyak, sementara rumah kontrakan sangat kecil. Untungnya Suci dan beberapa tetangga baru mereka, bersedia ditumpangi oleh barang-barangnya. Vina sangat terharu oleh kebaikan hati Suci dan tetangga-tetangga barunya. Semoga saja ia dan kedua orang tuanya betah tinggal dikontrakkan ini. Aamiin.

***

Vina menindai jam di pergelangan tangannya. Pukul 12.00 WIB. Waktunya untuk makan siang. Namun ia sama sekali tidak berselera makan. Ia hanya ingin tidur sejenak. Semalaman ia tidak tidur karena sibuk menenangkan hati ibunya. Belum lagi kesibukannya menyusun barang-barang, membuatnya tidak punya waktu untuk memicingkan mata.

Semalaman kedua orang tuanya bertengkar hebat. Ibunya menyalahkan ayahnya yang terlalu memanjakan Dina, hingga menuruti apa saja keinginannya. Ternyata ayahnya mengagunkan sertifikat rumah demi Dina. Selama ini kakaknya kecanduan berjudi dan berfoya-foya dengan meminjam uang panas pada rentenir. Akibatnya bisa diduga. Sang rentenir berniat meminta pembayaran pada Reyhan, yang kala itu masih berstatus suami Dina.

Dina yang ketakutan kalau boroknya sampai diketahui oleh Reyhan, meminta bantuan ayahnya. Ayahnya yang kasihan kalau Dina sampai diceraikan Reyhan, akhirnya meminjam uang bank sejumlah delapan ratus juta rupiah. Ibunya sempat tidak setuju dengan tindakan ayahnya. Namun karena ayahnya bersikeras maka ibunya terpaksa menurutinya. Dan seperti inilah hasil akhirnya. 

Karena keduanya terus bertengkar, Vina terpaksa turun tangan demi mendamaikan kedua orang tuanya. Ia mengatakan kalau nasi sudah menjadi bubur. Jadi tidak ada gunanya lagi saling menyalahkan. Sebaiknya mereka berpikir ke depannya saja. Seperti apa yang akan mereka lakukan demi melanjutkan hidup. Demikianlah, semalamam mereka saling beradu argumen hingga kedua orang tuanya tertidur karena kelelahan. Sementara dirinya masih sibuk berargumen dengan diri sendiri.

"Vin, ayo kita makan? Lo nggak laper? Gue yang traktir deh. Gue tahu, lo nggak sempet membuat bekal hari ini kan?" Suci muncul di sampingnya. Vina menggeleng.

"Gue nggak laper, Ci. Gue cuma pengen tidur sebentar aja di sini. Mata gue sepet banget rasanya," ucap Vina lesu.

"Ya udah. Lo istirahat sono. Ntar gue bawain makanan deh. Eh, lo dipanggil Pak Aria ke ruangannya. Jangan lama. Ntar lo diomelin lagi." Suci menepuk bahunya sebelum keluar ruangan. Bahu Vina mencelos saat mengetahui kalau Aria kembali mencari celah untuk menghubunginya. Tapi bagimanapun dirinya memang karyawatinya. Aria berhak memerintahnya selama jam kerja. 

Vina menarik napas tiga kali, dan menghembuskannya melalui mulut. Ia mempersiapkan diri untuk menghadapi perdebatan dengan Aria. Beberapa hari ini strategi main petak umpetnya dengan Aria, berhasil dengan baik. Dengan adanya Rajata di kantor, Aria kesulitan untuk mendekatinya secara pribadi. Sementara apabila Aria menelepon ataupun menulis pesan untuknya, selalu ia abaikan. Kecuali untuk urusan kantor. Dan hari ini sepertinya Aria tahu bahwa Rajata tidak masuk kantor. Karena hingga jam makan siang seperti ini, Rajata belum tiba di kantor. Dan inilah kesempatan bagi Aria untuk kembali mengusiknya.

Vina mengetuk tiga kali pintu ruangan Aria. Setelah terdengar jawaban masuk, Vina memutar handle pintu. Seperti yang ia duga, Aria menyambut kedatangannya dengan senyuman manis. Demi mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, ia sengaja tidak merapatkan daun pintu. Ia memberi sedikit celah, sehingga sewaktu-waktu ia dapat berlari keluar apabila Aria mulai bersikap kurang ajar.

"Halo, Sayang. Tolong tutup kembali pintunya. Mas ingin membicarakan banyak hal denganmu."

Belum apa-apa sudah seperti ini. Namun tak urung Vina merapatkannya juga. Walau tidak benar-benar rapat.

"Maaf. Bapak memanggil saya ke sini ada keperluan apa? Karena saat ini adalah jam istirahat." Vina masih berusaha bersikap professional. Ia juga tetap dalam posisi berdiri tegak di hadapan Aria. Sementara Aria duduk santai di kursi kebesarannya, sembari memutar-mutarnya sesekali. Aria terlihat menikmati ketegangannya.

"Mengapa kamu berbicara seformal itu pada Mas, Sayang? Kita ini kan berpacaran." 

Berarti masalah yang ingin dibahas Aria bukan masalah pekerjaan.

"Kalau tidak ada hal penting lagi yang ingin Bapak bicarakan, saya permisi dulu. Selamat siang." Vina menundukkan sedikit kepalanya seraya memutar tubuh. Ia bermaksud kembali ke kubikelnya. Dan seperti seekor ular, Arya dengan cepat melesat ke arahnya. Dalam sekejap Aria kini berdiri di hadapannya. Menghalangi dirinya yang ingin keluar ruangan.

"Siapa yang menyuruhmu keluar? Urusan kita belum selesai." Aria meraih pergelangan tangannya dan mendudukkannya paksa di atas sofa panjang. Dan Arya kemudian menyusul duduk di sampingnya. 

"Maaf, Pak. Jangan memperlakukan saya seperti ini. Ini kantor. Lagipula telah berulang kali saya katakan bahwa hubungan kita telah berakhir. Kalau Bapak tidak bisa menjaga sikap, saya akan melaporkan kelakuan Bapak ini pada Pak Rajata, atau Bu alamat sekalian. Saya serius, Pak," ucap Vina sungguh-sungguh.

"Dan kamu pikir mereka akan mempercayai kamu?" ejek Aria sinis. 

"Kamu terlalu naif, Vina. Yang ada mereka akan mengira kalau kamu menggoda saya," ancam Aria sembari tertawa mengejek. Vina tidak menjawab. Tetapi ia berusaha bangkit dari sofa. Dan lagi-lagi Aria menahan bahunya agar kembali duduk.

"Dan Bapak tidak merasa malu pada diri sendiri, karena telah memfitnah saya?" Vina memandang Aria dengan tatapan skeptis. 

"Pak, mari kita bicara baik-baik sebagai dua orang dewasa yang berbudi dan berakal sehat. Menurut Bapak, apa mungkin kita bersatu? Lebih jelasnya lagi, apa Bapak yakin melepaskan istri "seistimewa" Bu Alana, demi saya yang bukan apa-apa? Saya tidak bermaksud merendahkan harga diri Bapak. Tetapi Bapak bisa mencapai posisi seperti ini, karena campur tangan Bu Alana bukan?" Vina berusaha berbicara dengan logika dulu. Ia ingin mengajak Aria untuk berpikir jernih.

"Siapa bilang saya akan melepaskan Alana?" dengkus Aria dengan suara di hidung.

"Syukurlah. Berarti Bapak sudah sadar." Vina lega. Walaupun firasatnya mengatakan bahwa Aria sepertinya mempunyai plan B.

"Tapi itu bukan berarti saya akan melepaskan kamu juga. Saya membutuhkan Alana. Namun saya mendambakanmu. Semua bisa diatur asal kita main cantik, Sayang."

Kurang ajar!

Kalimat melecehkan Aria membuat Vina murka. Selebar wajahnya memerah mendengar ucapan melecehkan Aria. Sepertinya tidak ada gunanya lagi ia bicara baik-baik dengan atasannya ini. Pikiran Aria bejat dan otaknya mandul.

"Bapak melecehkan saya. Jiwa Bapak busuk dan moral Bapak buta. Ingat, saya adalah staff Bapak. Saya bisa menuntut Bapak atas dasar pelecehan seksual dan perbuatan tidak menyenangkan," ancam Vina geram. Ia beringsut dari sofa.

"Saya akan keluar dan jangan coba-coba untuk menahan saya lagi. Kalau tidak--"

"Kalau tidak apa?" tantang Aria sembari berkacak pinggang.

"Kalau tidak saya akan melaporkan kelakuan Bapak ini pada Pak Rajata dan Bu Alana. Saya tidak main-main, Pak."

"Silakan," Aria memperlihatkan gerakan mempersilahkan dengan tangan kanannya.

"Dan saya akan memperlihatkan photo-photo kita. Eh bukan. Photo-photo kamu yang tengah mencium saya dengan mesra tepatnya. Hehehe." Aria menyeringai menjijikan.

"Coba kamu bayangkan reaksi mereka, apabila mereka melihat bahwa kamulah yang mencium saya. Aduanmu menjadi tidak sinkron dengan bukti-bukti yang saya punya bukan?" Ancam Aria santai.

"Bagaimana? Kamu masih berniat melaporkan saya?" Aria tersenyum manis. Vina membeku. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Aria selicik itu. Ya, Vina ingat kalau bulan lalu Aria meminta hadiah ulang tahun berupa sebuah ciuman darinya, alih-alih hadiah berupa barang. Dan dirinya yang pada waktu itu tengah mabuk kepayang menuruti saja keinginan Aria. Ia tengah cinta-cintanya pada Aria. Ia sama sekali tidak menyangka kalau photo-photo itu akan menjadi bumerang baginya sekarang.

"Senjata makan nona ya, Sayang." Aria mendekatkan wajahnya. Ia bermaksud mencium pipi pucat Vina, agar sedikit berwarna. Sebenarnya ia kasihan juga melihat Vina terdiam dengan mata berkaca-kaca. Jujur, ia menyukai Vina yang cerdas dan dewasa. Sikap Vina ini berbanding terbalik dengan Alana yang manja dan cemburuan. Ia sering merasa bosan terus diinterogasi dan diintinidasi. Alana menjadikan dirinya tahanan, alih-alih suami. Ia sengaja mengancam Vina ini dan itu, semuanya demi mempertahankan hubungannya dengan Vina. Apapun akan ia lakukan. Apapun!

Tepat ketika ia ingin mencercahkan kecupan di pipi Vina, pintu tiba-tiba terbuka. Rajata dan Alana masuk dengan tiba-tiba.

Celaka!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status