Brian bersiul. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban seperti ini dari mulut Rajata. Selingkuhan Aria? Menarik. Bria mendekati pasiennya. Bersiap memeriksa keadaannya. Brian memicingkan mata kala pandangannya membentur seraut wajah yang sepertinya tidak asing baginya. Saat masuk tadi, ia hanya menatap sekilas sosok gadis yang tergeletak diam ini. Dan kini saat ia memperhatikan dengan seksama, ia seperti familiar dengan garis-garis wajah sensual ini. Suatu pemikiran melintas di benaknya. Brian berdecak. Wajah Dina ternyata. Mantan istrinya Reyhan.
"Ia orang siapanya Dina, Ja? Mukanya plek ketiplek dengan si Dina." Brian meraih tas dokternya. Mengeluarkan stetoskop untuk memeriksa pasien cantiknya.
"Adik kandungnya Dina. Lo nggak liat kalau mukanya bagai pinang dibelah dua dengan si Dina? Bukan hanya wajah. Kelakuannya juga sama," dengkus Rajata kasar. Seumur hidupnya ia terbiasa dicekoki dengan perempuan-perempuan manipulatif, yang memanfaatkan kefeminiman mereka dalam menjerat laki-laki. Bayangan Tante Rena yang terus menggoda ayahnya hingga pacar-pacar teman-temannya, yang kerap memberikan kode minta ditikung, berseliweran dalam benaknya. Begitulah perempuan. Selalu haus akan perhatian dan serakah dengan uang.
"Eh lo mau ngapain, Yan?" Rajata menepis keras tangan Brian yang bermaksud membuka kancing kemeja Vina.
"Eh buset! Kaget gue." Brian mengomel saat Rajata mendorong tangannya.
"Kok lo pake nanya lagi sih? Ya gue mau memeriksa keadaan adik si Dinalah. Lo kata gue dukun, cuma pake mata batin aja bisa nyembuhin pasien?" Brian misuh-misuh. Katanya saja selingkuhan si Aria. Tetapi sekalinya gadis ini akan diperiksa, malah Rajata yang sepertinya tidak rela. Gadis ini sebenarnya selingkuhan siapa sih? Mencurigakan.
"Atau jangan-jangan lo juga demen sama adiknya si Dina ini ya? Hayo, ngaku lo." Brian nyengir saat melihat Rajata melotot.
"Suka lo bilang? Gue malah lagi mikir, bagaimana caranya gue ngedepak si Vina ini dari sini. Gue harus menyelamatkan rumah tangga Alana. Lo 'kan tahu sendiri bagaimana cintanya Alana sama si Aria itu."
Rajata bersedekap. Ia memperhatikan Brian yang tengah membuka dua buah kancing kemeja Vina. Sesuatu yang indah seketika terpampang di depan matanya. Rajata menelan salivanya sendiri. Kebencian ternyata tidak mampu memadamkan hawa nafsunya. Panca inderanya tetap beraksi terhadap keindahan ragawi. Sialan!
Jaga mata lo, Ja! Ingat prinsip-prinsip lo selama ini. Jangan bertingkah menjijikkan seperti ayah lo!
"Aduh! Apa-apaan sih ini?!" Rajata melihat Brian nyaris terjengkang saat Vina tiba-tiba mendorong dadanya. Pelacu* kecil ini sudah sadar rupanya.
Akan halnya Vina, sedari tadi ia seperti merasa bermimpi. Ia mendengar dengungan suara-suara orang yang berbicara. Namun ia tidak bisa membuka mata, apalagi menggerakkan tubuhnya. Ia seperti orang lumpuh. Namun ia tidak mau menyerah. Dengan segala upaya, ia berusaha bangkit. Dan tepat ketika ia berhasil membuka mata, wajah seorang pria tiba-tiba ada di depan matanya. Vina yang kaget, refleks mendorong dada laki-laki di depannya, sekuat yang ia bisa. Ia panik!
"Anda... Anda... siapa?" tanya Vina dengah suara serak. Lihatlah, mengucapkan beberapa patah kata saja ia merasa kelelahan.
"Saya ini dokter Brian Hadiningrat. Teman Rajata. Anda pingsan dan Raja memanggil saya ke sini untuk memeriksa Anda." Mendengar nama Rajata disebut, Vina mencoba mengumpulkan potongan-potongan ingatannya. Aria memanggilnya ke ruangan, serta kehadiran Rajata dan Alana! Perseteruannya dengan Rajata, dan ruangan yang tiba-tiba berputar. Ia pingsan rupanya. Kini ia mengingat semuanya. Saat tatapannya beradu dengan Rajata, Vina berusaha bangkit dari sofa. Ia tidak boleh terlalu lama di ruangan ini. Rajata bisa memangsanya hidup-hidup. Ketika perlahan ia berhasil duduk, ia melihat tatapan Rajata mengarah ke bagian dadanya. Vina baru sadar kalau kemejanya terbuka.
"Saya tadi membuka kemejamu, karena ingin memeriksa keadaanmu." Penjelasan dokter Brian hanya direspon anggukan oleh Vina. Ia segera mengancingkannya kembali dengan tergesa. Namun karena ia mengancingkannya dengan buru-buru, satu kancing malah terlepas dan menggelinding di lantai. Kancing kemejanya memang sudah nyaris lepas saat ia kenakan pagi tadi. Jahitannya sudah longgar. Namun karena keterbatasan waktu, ia tetap mengenakannya.
Vina mencengkram bagian dadanya dengan satu tangan. Ia ingat, di laci meja kerjanya, ia masih memiliki beberapa buah peniti. Ia bermaksud menggunakan peniti saja sebagai pengganti kancing yang lepas.
Vina mencoba berdiri walau kepalanya masih berputar seperti gasing. Ia ingin kembali ke ruangannya saja. Dengan beristirahat sebentar mudah-mudahan ia akan pulih kembali.
"Saya sekarang sudah tidak apa-apa. Permisi." Vina melangkah perlahan. Gerakan tiba-tiba pasti akan membuat kepalanya kembali pusing.
"Tapi kamu masih pucat sekali. Apa kamu tidak ingin saya periksa dulu?" tawar Brian. Vina menggeleng. Ia merasa kalau keadaannya sudah semakin membaik.
"Saya permisi dulu, Dokter. Pak Rajata," pamit Vina Sopan. Dokter Brian menggangguk, sementara Rajata diam saja. Sedari ia siuman tadi, Rajata tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia dianggap seperti makhluk tak kasat mata di ruangan ini.
Vina membuka pintu ruangan dan menutupnya perlahan. Saat ia berbalik, pandangannya bersirobok dengan Tari dan dua orang rekan kerjanya. Fathir dan Erwin. Ketiganya kompak menatap ke bagian dadanya. Vina terkesiap. Ia lupa kalau kancing kemejanya satu terlepas.
"Eh buset, gercep amat lo ya, Vin? Gagal mantap-mantap dengan Pak Aria karena ke gap Bu Alana, eh sekarang udah ganti sasaran aja? Salut gue ngeliat kegesitan lo, Vin?" Putri bertepuk tangan seraya menggeleng-gelengkam kepalanya. Ekspresi wajahnya sengaja ia buat takjub. Sementara dua rekan pria-nya yang lain tidak mengatakan apa-apa. Tetapi tatapan keduanya memandangnya dengan sinar mata yang berbeda dari yang biasa. Sepertinya Erwin dan Fathir telah termakan oleh omongan Putri.
"Jangan suka mengambil kesimpulan dengan mata telanjang, Put. Terkadang apa yang lo lihat nggak seperti yang lo duga. Kurang-kurangin hobby suudzon lo," jawab Vina singkat. Ia sangat memahami karakter orang-orang seperti Putri ini. Percuma jika ia menjelaskan secara panjang lebar. Karena apapun yang ia katakan, tidak akan dipercaya olehnya. Ia hanya akan mempercayai asumsinya sendiri.
"Suudzon lo bilang? Rambut lo acak-acakan dan kancing baju lo sampe hilang, lo masih nggak mau ngaku?" Putri berkacak pinggang. Ia seperti tidak puas ditinggalkan begitu saja.
"Lo mau alesan apa lagi? Lo cuma ngasih dokumen untuk ditandatangani Pak Rajata bahkan di ruangannya Pak Aria?" Putri memperlihatkan air muka pura-pura polos.
"Cuma gue agak heran aja. Pak Rajata nandatanganin apaan sampe lo jadi acak-acakan begini? Nandatanganin dokumen, atau nandatanganin lo?" sindir Putri dengan suara di hidung.
Vina tidak menggubris ocehan Putri lagi. Tidak ada gunanya melayani orang seperti ini. Namun ia menghentikan langkahnya saat Erwin tiba-tiba berkata," kapan-kapan gue bisa make lo nggak, Vin?"
"Lo ngomong apa tadi, Win? Coba lo ulangi sekali lagi?" Vina menghampiri Erwin. Ia menatap Erwin tepat di matanya.
"Eh, gu--gue cuma becanda kali, Vin." Erwin kelimpungan. Tatapan tajam Vina membuatnya kehilangan nyali. Air muka Vina menjanjikan amarah yang siap dimuntahkan.
"Kita berdua tahu, kalo lo nggak bercanda, begitu juga gue. Gue peringati satu hal ya, Win. Ada Undang-Undang yang mengatur tentang pelecehan seksua*. Jangan mempermalukan diri lo sendiri." Vina melanjutkan langkah setelah memberi tatapan peringatan pada Erwin. Sungguh ia lelah sekali hari ini. Masalah tidak bosan-bosannya menghampirinya.
"Udah, lo nggak usah takut sama ancamannya, Win. Kalo maling ngaku, penjara penuh." Kali ini Vina membiarkan saja ocehan tidak bermutu Putri. Ia tidak mau membuang-buang energinya untuk seorang pendengki seperti Putri.
***
Vina baru saja turun dari ojek online, saat tatapannya membentur sebuah mobil mewah di samping rumah kontrakannya. Sejenak ia ketakutan. Sejak kejadian rumah keluarganya dilelang, ia memang trauma setiap melihat mobil yang terparkir di rumahnya.
Tetapi kali ini ia berlari kencang ke dalam rumah, saat mengenali si pemilik mobil. Ya, mobil berplat B 11 NA itu adalah mobil kakaknya, Dina. Akhirnya setelah hampir tiga bulan tidak pernah pulang ke rumah, kakaknya ini datang juga. Ia sudah tidak sabar untuk mencuci otak sang kakak, agar bisa berfungsi sebagai mana Allah memberikannya. Yaitu untuk berpikir. Bukan untuk menciptakan seribu satu masalah yang ujung-ujungnya selalu merugikan orang lain.
Vina nyaris menghantam pintu depan, saat ia hampir gagal menghentikan laju tubuhnya. Ia terlalu bernafsu untuk menghabisi kakaknya. Dan kini ia mendapati kakaknya duduk tertunduk di sofa panjang. Sementara kedua orang tuanya duduk di sisi kanan dan kiri kakaknya. Mereka sekarang memang hanya menyisakan satu sofa panjang. Karena tiga sofa pasangannya telah mereka berikan kepada Suci dan tetangga sebelah kontrakan. Karena keberadaan satu sofa panjang ini saja, nyaris memenuhi seluruh ruangan. Rumah kontrakan mereka yang baru ini memang sangat sempit.
"Ngapain Mbak Dina ke sini? Belum puas Mbak mengacak-acak kehidupan kami semua?" Vina berteriak geram di hadapan Dina. Namun kakaknya itu diam saja. Dina seolah-olah tidak mendengar kata-katanya. Kakaknya itu kini malah memeluk dirinya sendiri, sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya ke depan dan ke belakang. Bukan hanya itu, mulut kakaknya juga terus berkomat-kamit. Kakaknya seperti sedang membaca mantra.
Ada yang tidak beres di sini.
"Dina, kita istirahat di kamar dulu yuk? Apa kamu tidak capek berjam-jam duduk di sini terus?" bujuk ibunya pada Dina.
Aneh! Mengapa ibunya membujuk kakaknya seperti sedang berbicara dengan anak kecil?
"Aku akan masuk penjara. Anakku mati. Tiket emasku sudah tidak ada lagi. Mati! Mati!" Dina tiba-tiba saja menjerit histeris dan menjambaki rambutnya sendiri.
"Astaga, Dina. Sudah, Nak. Sudah!" Kali ini ayahnya lah yang berusaha menenangkan Dina. Sementara ibunya memandangi Dina dengan mata nanar. Satu pengertian masuk dalam benak Vina. Sepertinya kakaknya depresi karena kandungannya gugur. Pandangannya kini ia fokuskan ke perut kakaknya. Ya, memang saat ini perut kakaknya lebih datar. Ternyata kakaknya keguguran. Pasti bayinya itulah yang disebut oleh kakaknya sebagai tiket emas.
Kakaknya yang terus menceracau akhirnya dibimbing ayahnya masuk ke dalam kamar. Kamarnya tepatnya. Karena rumah kontrakan sebesar kotak sabun ini hanya memiliki dua kamar.
Bu Misna memandangi putri bungsunya ini dengan pandangan kasihan. Satu masalah belum selesai, satu masalah lain sudah menyerbu.
"Duduk dulu, Vin. Ada yang ingin Ibu katakan denganmu." Bu Misna menepuk sofa di sampingnya.
Vina menghempaskan pinggulnya ke sofa panjang. Menggantikan tempat kakaknya tadi duduk. Ia mengkuat-kuatkan hati. Bersiap mendengar berita seburuk apapun yang akan dikatakan sang ibu.
"Vin, tadi Hesti yang mengantarkan kakakmu ke sini. Ternyata sudah hampir dua minggu ini kakakmu menginap di sana. Kakakmu ketakutan diteror oleh keluarga Albani. Saking takutnya kakakmu depresi sehingga akhirnya keguguran."
Karma does exist bukan?
"Hesti menelepon Ibu melalui ponsel kakakmu. Karena saat ia mengantar kakakmu pulang, rumah kita sudah disegel katanya." Vina membisu. Dengan keadaan kakaknya yang seperti ini, bebannya akan bertambah. Kakaknya butuh konseling ke psikiater. Dan itu berarti uang lagi.
"Kenapa Mbak Hesti membawa Mbak Dina ke sini? Biasanya mereka kan selalu bersama. Uang yang Mbak Dina dapat juga selalu mereka habiskan berdua. Ibu lihat sendiri kan kalau di I* Mbak Dina mereka kerap berfoya-foya?" Bu Misna menarik napas panjang. Beginilah sifat manusia yang sebenarnya. Habis manis sepah dibuang. Karena Dina sekarang telah terpuruk, Hesti pun cuci tangan.
"Karena kakakmu terus mengamuk, Vin. Hesti tidak sanggup menanganinya. Hesti bilang ia sudah tidak mempunyai dana lagi untuk membawa kakakmu ke psikiater. Menurut Hesti, biaya sekali konsultasi dan obat-obatannya, mencapai dua jutaan. Hesti tidak mampu membiayainya."
"Lantas, apa kita mampu, Bu?" protes Vina gemas.
"Mau bagaimana lagi. Dia kakakmu. Anak Ibu juga. Kalau bukan kita yang merawat kakakmu, siapa lagi? Apa kamu tega melihat kakakmu menjadi orang gila di jalanan?"
"Bu, kenapa harus kita terus yang menjadi korban? Sewaktu Mbak Dina memutuskan berselingkuh dengan Mas Ghifari, apa Mbak Dina meminta pendapat kita? Saat Mbak Dina mendapat fasilitas tidak terbatas dari Mas Ghifari karena diduga mengandung anaknya, apa Mbak Dina membagi dananya kepada kita? Boro-boro membagi, batang hidungnya pun tidak pernah tampak sama sekali. Lebih jauh lagi, saat Mbak Dina berasyik masyuk dengan mantan pacarnya itu hingga hamil, apa Mbak Dina melaporkan pada kita? Tidak ada kan, Bu? Lantas kalau sekarang Vina menolak membiayai semua kebodohan Mbak Dina, apa Vina salah?!"
"Tidak salah kalau ia orang lain. Tapi ia kakakmu, Vin. Ibu juga makan hati melihat kelakuan kakakmu. Tapi mau bagainana lagi? Dia anak Ibu. Ibu bertanggung jawab atas dirinya, berapa pun usianya. Ibu harap kamu mengerti, Vin." Bu Misna mengelus surai panjang putri bungsunya. Sungguh ia sangat memahami perasaan Vina. Tetapi seperti yang ia katakan tadi. Dina memang keluarga mereka. Tidak mungkin ia membiarkan Dina menjadi orang gila di jalanan tanpa perawatan.
"Lagi pula, masih ada mobil kakakmu. Nanti mobil itu kita jual saja. Ayahmu bilang, ia mau berjualan bakso dengan gerobak saja. Kita butuh uang untuk bertahan hidup sekaligus membiayai terapi kakakmu. Dengan begitu--"
"Permisi." Belum juga Bu Misna menyelesaikan kalimatnya, telah muncul dua orang laki-laki berbadan kekar di depan pintu.
"Selamat sore. Kami dari perusahaan pembiayaan mobil atau leasing, akan menarik mobil atas nama Ibu Dina Hadinata karena sudah menunggak cicilan tiga bulan lamanya. Silakan Ibu Dina atau siapa saja yang bisa mewakilinya, untuk menandatangani surat penarikan kendaraan ini."
Bu Misna dan Vina saling berpandangan. Harapan terakhir mereka, hilang sudah.
Vina yang baru kembali dari warung, saat melihat ada sebuah gerobak bakso di depan rumahnya. Ternyata ayahnya serius saat mengatakan bahwa dirinya ingin berjualan bakso keliling. Vina memandangi gerobak bakso itu dengan seksama. Gerobak bakso ayahnya ini terlihat rapi dan fungsional. Terbuat dari aluminium yang jauh lebih ringan dan juga dilengkapi dengan tabung gas dan kompor. Di bagian atasnya terdapat sebuah etalase kecil yang berfungsi untuk menyimpan berbagai macam bumbu. Seperti kecap manis, saos, sambal dan yang lainnya. Di bagian steling kaca atas, difungsikan untuk menyusun bahan baku bakso sehingga lebih menarik oleh pembeli.Secara keseluruhan gerobak bakso ini fungsional dan sempurna. Masalahnya Vina tidak tega membayangkan, ayahnya yang dulunya berpenampilan rapi dan necis, harus mengendarai gerobak bakso bermotor untuk berjualan seperti ini.Bayangkan saja, dulu ayahnya mempunyai 8 gerai bakso terkenal. Nama bakso Pak Kum
"Eh, Bang Rayhan. Vina sedang menebus obat, Bang." Vina refleks berdiri. Ia kaget sekaligus rikuh. Hubungannya dengan Reyhan kini sudah berubah. Reyhan bukan abang iparnya lagi."Menebus obat? Kamu sakit, Vin? Sakit apa?" Reyhan memandangnya prihatin."Bukan, Bang." Vina menggeleng. Ia benar-benar gugup saat Rajata terus saja menatapnya tajam dari balik punggung Reyhan."Bukan? Oh Bapak atau Ibu ya yang sakit?" tebak Rayhan. Vina kembali menggeleng."Bukan, Bang. Yang sakit Mbak Di--Dina," jawab Vina gagap. Hening. Reyhan seketika tampak rikuh. Wajar, membicarakan mantan istri bukanlah topik yang nyaman untuk dibahas. Istimewa membahasnya dengan mantan adik ipar."Oh," guman Reyhan singkat. Kalimatnya itu menginsyaratkan kalau Reyhan tidak ingin membahas masalah Dina lagi."Bang Rey sendiri ngapain di sini? Demi membunuh Kecanggungan, Vina m
"Lo beneran mau resign ya, Vin? Kenapa? Bukannya lo bilang kalo gaji di sini itu gede?" Suci membisikinya saat melihatnya tengah mengajari Ruby, penggantinya di perusahaan. Ruby sebenarnya adalah staff baru di divisi II. Rajata yang memilih langsung sebagai penggantinya."Iya, Ci. Ntar deh pas makan siang di kantin gue ceritain semuanya," Vina balas berbisik. Suci mengangguk dengan air muka yang tidak puas. Wajar saja. Suci adalah teman terdekatnya di perusahaan. Pasti ia merasa heran, karena tidak ada angin, tidak ada hujan, ia tiba-tiba saja ingin resign. Istimewa Suci mendengarnya dari mulut Putri.Setelah Aria menyobek two weeks notice resignationnya, ia memang langsung menemui Rajata, setelah ia membuat surat resign yang baru. Namun jeda waktunya berbeda. Jika sebelumnya ia membuat two weeks notice regisnation, maka kali ini ia membuat one weeks notice resignation saja. Ia berpikir, semakin cepat ia keluar dari perusahaan ini maka
Vina menarik napas panjang beberapa kali, sebelum mengetuk ruang kerja Aria. Ia tahu, kemungkinan ia akan dibantai oleh dua naga sekaligus di dalam sana. Hanya saja ia tidak mengira kalau Aria kali ini akan berkolaborasi dengan Rajata.Apa yang terjadi, terjadilah. Bissmillahirohmanirohim! Vina mengetuk daun pintu. Ketika terdengar sahutan masuk dari dua orang secara bersamaan, Vina pun memutar pegangan pintu.Kedatangannya langsung disambut dengan air muka ganas dari Aria dan Rajata. Keduanya tengah membolak-balik beberapa dokumen penawaran tender, yang kemarin ia berikan pada Aria untuk ditandatangani."Selamat siang, Pak Aria, Pak Rajata." Vina menyapa dua atasannya sopan. Walau perasaannya saat ini tidak karuan, tapi ia berusaha menampilkan air muka tenang. Ia tidak ingin dua orang di hadapannya ini mengetahui kegamangannya."Duduk." Alih-alih membalas sapaannya, Aria langsung memerintahkannya
"Ibu duduk dulu. Dengarkan Vina baik-baik. Setelah itu barulah Ibu boleh mengecam Vina, kalau menurut Ibu tindakan yang Vina ambil ini salah."Vina meraih bahu ibunya. Mendudukkannya pada sofa panjang satu-satunya, di samping ayahnya. Sementara dirinya sendiri duduk bersimpuh di hadapan kedua orang tuanya. Ia ingin memohon ampun atas kesalahan yang tidak sengaja ia perbuat. Ya, dirinya memutuskan untuk menceritakan asal muasal penyebab masalah ia resign atau dipecat, atau apapun sebutannya.Ia tidak mau menyembunyikan apapun pada kedua orang yang paling mencintainya di dunia ini. Ia mengerti tidak semua orangtua mampu bersikap bijaksana. Contohnya ya kedua orang tuanya ini, yang terlalu memanjakan kakaknya. Sehingga kakaknya tidak pernah mengerti apa yang disebut dengan tanggung jawab. Tapi mau bagaimana lagi. Orang tua tetaplah orang tua. Kasih mereka lebih besar dari seisi dunia."Bu, Ayah. Vina ingin minta maaf
Vina sangat meyakini pepatah yang mengatakan ; di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Dan jika satu pintu tertutup, insyallah pintu lain akan terbuka. Kuncinya adalah terus berusaha yang diiringi dengan ikhtiar yang tidak putus-putusnya. Begitu juga dengan musibah demi musibah yang terus menerpanya. Walau ia harus jatuh bangun menghadapi semuanya, namun menyerah bukanlah karakternya.Seperti sekarang saja misalnya. Pada pukul lima pagi, ia telah sibuk berbelanja ke pasar tradisional. Setiba di pasar, ia memeriksa satu persatu daftar belanjaan yang harus ia beli di selembar kertas. Setiap satu bahan telah ia beli, maka ia akan langsung mencoretnya dari daftar, agar tidak tumpang tindih. Ia memang sengaja mencatat daftar belanjaan pada selembar kertas, dibandingkan dengan notes di ponselnya. Pengalamannya berbelanja di hari pertama memberikan pelajaran, bahwa berbelanja sembari memeriksa ponsel itu menyusahkan. Selain berkali-kali jatuh, karena tangan
Kamar sudah rapi. Ia dan ibunya bergotong royong membersihkannya. Sementara Dina duduk melamun di sudut kamar. Pandangannya kosong. Tidak lagi liar seperti tadi. Ia tidak lagi berteriak-teriak atau menangis. Sebutir obat penenang memang ampuh. Namun ada rasa tidak tega di hati Vina saat melihat Dina dalam pengaruh obat seperti ini. Air liur perlahan mengalir dari sudut bibir kakaknya. Sang ibu bergegas menyekanya dengan sehelai sapu tangan. Beginilah keadaan kakaknya apabila diberi obat penenang. Syarat-syarafnya mati rasa. Sehingga kakaknya tidak bisa mengontrol reaksi tubuhnya."Ayah ke mana, Bu? Dari tadi Vina tidak melihatnya.""Ayahmu ke kanton Reyhan, Vin. Ayahmu ingin mengembalikan cek yang kamu berikan tempo hari." Bu Misna menggenggamkan sapu tangan ke tangan Dina. Ia bermaksud mengajarkan Dina untuk belajar menyeka air liurnya sendiri."Nanti diseka seperti ini ya, Din. Biar bersih," bujuk Bu Misna
"Kamu ini ternyata jahatnya hingga ke pembuluh darah ya, Vin?" Bunyi derit pintu yang terbuka, serta kuatnya suara hardikan dari Rajata membuat Vina mengelus dada. Salah paham lagi. Entah mengapa Rajata ini selalu saja muncul di saat yang tidak tepat. Saat ini ia berdiri di antara Rajata dan Aria. Vina melirik sekilas air muka Aria yang memucat dan ekspresi geram di wajah Rajata. Dua laki-laki sakit ini saling memandang dengan asumsi berbeda dalam benak mereka masing-masing.Vina melirik sekilas map yang berada di tangan Rajata. Sepertinya Rajata masuk ruangan ini karena ingin membicarakan masalah pekerjaan dengan Aria. Sebaiknya ia pergi saja dari ruangan ini. Toh urusannya di sini sudah selesai."Permisi," Vina memeluk map yang berisi ijazahnya sendiri dan bermaksud berlalu dari ruangan Aria. Setelah map berisi ijazahnya ini sudah kembali padanya, ia sudah tidak mempedulikan apapun lagi. Ia tidak membutuhkan simpati Aria apalagi Raja