"Ada yang saya lewatkan di sini?" Masuknya Rajata dan Alana semakin memiaskan wajah Vina. Pandangannya mendadak gelap saat ia buru-buru bangkit dari sofa. Ia nyaris tersungkur kalau saja Aria tidak menahan kedua bahunya. Telinganya berdenging dan berkeringat dingin. Ia ketakutan hingga nyaris pingsan. Ditambah keadaan tubuhnya yang memang kurang sehat, Vina merasa pandangannya berkunang-kunang. Ia bahkan tidak sadar kalau Aria telah mendudukannya kembali ke sofa. Ia terlalu lemah untuk melawan.
"Vina kurang sehat, Ja. Makanya gue ngecek suhu tubuhnya. Tadi gue nyuruh dia nganterin dokumen untuk penawaran besok. Tapi lo liat sendiri keadaannya kayak gini. Lo jangan mikir yang aneh-aneh, Ja."
"Bohong! Pasti perempuan kegatelan ini sengaja pura-pura sakit, supaya dia bisa menggoda Mas Ari. Ayo ngaku lo, dasar perempuan ganjen!"
Alana merangsek maju, dan bermaksud menghajar Vina. Sedari pertama kali menjejakkan kakinya ke kantor ini, ia sudah membenci perempuan kecentilan ini. Pasti perempuan ini mengincar Aria. Lihatlah, di mana ada Aria, pasti perempuan ini juga ada. Berakting pura-pura sakit segala. Pasti Vina ini berencana merebut singgasananya sebagai istri Aria. Tidak bisa dibiarkan!
Namun gerakannya kalah gesit dengan Aria. Suaminya itu dengan sigap menahan tangannya. Membela perempuan itu sampai terang-terangan seperti ini, apa mungkin di antara mereka tidak ada apa-apa? Pikiran liarnya menjadi semakin tidak terkontrol.
"Sudah, Alana. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Vina memang benar-benar sakit!" Aria menahan tangan Alana yang dimaksudkan untuk menyakiti Vina.
Alana melotot. Ia tidak akan membiarkan gadis ini dekat-dekat dengan suaminya lagi. Lihatlah Aria sampai berani membentaknya, demi gadis sialan ini.
"Mas membentakku demi perempuan kegatela* ini hah? Akan aku habisi dia, agar Mas tidak akan tergoda padanya lagi." Alana menggerung marah. Kedua matanya melotot liar, dengan nafsu membunuh yang membara.
Vina tercengang. Sikap histeris Alana dan tatapan liarnya ini bukanlah reaksi manusia normal. Alana sepertinya menderita gangguan mental. Alana tidak mampu mengontrol emosinya sendiri.
"Cukup, Lana," sergah Rajata seraya menghadang langkah adiknya. Seperti inilah Alana. Jika ia merasa daerah teritorinya terancam, maka penyakit lamanya akan muncul kembali. Alana menderita generalized anxiety disorder, atau biasa disebut dengan serangan panik. Penyakit Alana ini bermula saat ia remaja. Kedua orang tua mereka kerap bertengkar karena ayahnya memiliki perempuan idaman yang lain. Pertengkaran biasanya akan diakhiri dengan kekerasan karena ayahnya membela wanita idamannya itu. Hingga suatu hari ayah mereka menceraikan ibunya, demi menikahi wanita idamannya itu. Ibu mereka yang terus bersedih akhirnya meninggal dalam kenestapaan. Hal itulah yang menjadikan Alana paranoid. Ia sangat takut kalau orang-orang yang ia sayangi akan dirampas darinya. Dan kini feeling Alana pasti mengatakan kalau Aria akan dirampas darinya. Makanya Alana jadi histeris seperti ini.
"Ri, lo bawa Alana pulang dulu. Dan pastikan dia meminum obat penenangnya. Awasi dia dengan baik. Lo nggak usah masuk kantor hari ini. Lo temani aja Alana sampai dia tenang," perintah Rajata tegas. Tatapannya yang penuh intimidasi membuat Aria tidak berkutik. Suci benar, ternyata Rajatalah yang berkuasa penuh di sini. Aria tidak ada apa-apanya.
"Lana nggak mau minum obat, Bang! Karena kalau Lana meminum obat itu, Lana jadi bengong terus. Lana juga nggak mau pulang. Lana ingin memberi pelajaran pada perempuan jahat ini. Lana benci dengan perempuan-perempuan penggoda suami orang!" Alana terus berteriak keras, meski Aria setengah menyeretnya keluar ruangan. Rajata tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memberi kode pada Aria, agar segera membawa Alana pulang.
"Ayo, Sayang. Kita pulang. Mas akan menemani kamu seharian ini. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Semua tidak seperti yang kamu duga. Percayalah pada Mas."
"Aku melihatnya lagi, Mas. Aku melihat tatapan mata Mas pada perempuan itu. Tatapan Mas itu sama seperti tatapan papa dulu saat menatap Tante Rena. Sama persis!"
Naluri Alana sangat tajam. Pengalaman telah mengasah ketajaman intuisinya. Alana ini korban keegoisan orang tua. Makanya ia trauma.
Vina termangu. Ia sama sekali tidak menyangka, kalau Alana mempunyai kepribadian lain yang seperti ini. Padahal pertemuan mereka kemarin-kemarin, Alana terlihat sangat santun dan anggun.
"Alana benar bukan?" Sesaat setelah bayangan Alana dan Aria menghilang dan pintu ruangan tertutup, Rajata mulai bersuara. Saat ini Rajata tengah bersandar di meja, dengan kedua tangan saling bersedekap. Rajata memandang lurus-lurus padanya. Vina menelan salivanya sendiri. Ia berusaha menenangkan dirinya. Ia tidak boleh tampak gugup.
"Benar apa? Maaf saya tidak tahu apa maksud ucapan Bapak?" Vina konsisten dengan ucapannya. Ia tetap tidak akan mengakui hubungannya dengan Aria. Ia memang tidak punya hubungan apa-apa dengan Aria sekarang. Situasi sedang memanas seperti ini. Dan ia tidak ingin menambahi kayu dalam api yang tengah berkobar.
"Saya permisi dulu, Pak. Saya masih banyak pekerjaan." Vina bangkit dari sofa dengan hati-hati. Kepalanya pusing sekali. Gerakan tiba-tiba pasti akan membuatnya oleng.
"Tunggu dulu!" Teguran Rajata membuat Vina urung melangkah. Ia berdiri tegak, menunggu instruksi Rajata. Meskipun untuk bisa berdiri tegak, ia harus memegang sandaran sofa.
Vina memperhatikan Rajata berjalan ke arah sofa. Ia membuka tas kerjanya, yang tadi ia letakkan sembarang di atas sofa. Rajata mencabut sehelai map berwarna coklat.
"Kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu. Itulah gambaran dirimu." Vina diam saja. Ia berupaya tetap bersikap tenang.
"Kamu boleh pergi ke mana saja, setelah kamu menandatangani ini." Rajata melempar map berwarna coklat itu ke atas meja." Vina membungkuk dan meraih amplop itu tanpa banyak bicara.
Namun tatkala ia mengeluarkan isi di dalam amplop coklat, ia tersentak. Ternyata dokumen itu berisi surat resignnya. Rajata telah mempersiapkannya segalanya rupanya.
"Saya tidak merasa membuat surat pernyataan resign ini. Jadi saya tidak bersedia untuk menandatanganinya," tukas Vina tegas.
Rajata menggeram kasar. Ia kini menegakkan tubuhnya yang sebelumnya dalam posisi bersandar di depan meja. Ia bahkan berjalan beberapa langkah untuk mendekatinya. Vina bergeming. Ia tetap berdiri teguh. Dia menolak diintimidasi oleh Rajata.
"Baik. Kalau kamu tidak mau menandatangani surat resign ini, maka saya akan memberikanmu surat pemecatan secara tidak hormat. Kamu lebih memilih opsi kedua?" cetus Rajata sinis. Vina menggeleng.
"Tidak dua-duanya, Pak. Lebih tepatnya, saya tidak bersedia dipaksa resign ataupun dipecat tanpa alasan oleh Bapak."
"Alasan? Baiklah. Katakan saja sebagai pemilik perusahaan ini, saya tidak menyukai kamu. Apakah alasan itu cukup?" Vina lagi-lagi menggeleng. Walau setelah melakukan hal itu, kepala makin pusing. Ia merasa ruangan mendadak berputar.
"Bapak memang pemilik perusahaan ini. Tetapi itu bukan berarti Bapak bisa memecat saya secara sewenang-wenang. Saya hanya bersedia dipecat kalau saya melakukan kesalahan fatal yang masuk akal seperti ; melakukan penipuan, penggelapan, kinerja yang buruk dan sebagainya. Namun tidak untuk alasan tidak masuk akal, seperti karena bapak tidak menyukai saya. Itu bukanlah jawaban yang profesional. Saya tidak terima."
"Kamu mau jawaban yang masuk akal? Baik. Akan saya ubah alasannya. Saya memecatmu karena kehadiranmu membahayakan kesehatan mental dan keselamatan rumah tangga adik saya. Masuk akal bukan?" tantang Rajata. Vina kembali menggeleng. Kali ini ia melakukannya dengan perlahan. Karena ia mulai merasa ruangan terus bergoyang
"Me-mang masuk akal. Tetapi tidak masuk dalam kategori kesalahan dalam pekerjaan," bantah Vina susah payah. Keringat di tubuhnya kian menjadi-jadi.
"Bukannya saya tidak bersimpati atas penyakit dan trauma yang dialami oleh Bu Alana. Tetapi apa yang terjadi dengan Bu Alana dan segala permasalahannya bukan urusan saya. Saya--"
Bruk!
Vina tidak kuasa melanjutkan kalimatnya. Ruangan terasa berputar kian cepat, dan dirinya masuk ke dalam pusaran tak bertepi. Ia tidak sadarkan diri.
Rajata segera menangkap tubuh Vina yang oleng dalam satu dekapan kuat. Sebenarnya ia sudah siap siaga, saat melihat tubuh Vina maju mundur tidak terkontrol selama gadis keras kepala itu membantah semua ucapannya. Makanya ketika bola mata Vina berputar dan tubuhnya oleng, Rajata dengan sigap menahannya agar tidak terjatuh ke lantai.
Rajata mengangkat tubuh Vina dan meletakkannya di atas sofa. Setelahnya ia meraih ponsel dan menelepon temannya yang berprofesi sebagai seorang dokter.
"Brian, lo bisa ke kantor gue sekarang nggak? Gue nggak apa-apa. Gue sehat-sehat aja. Cuma staff gue ini pingsan. Lo tolong ke sini sebentar ya? Kalau gue yang gotong-gotong ini orang ke rumah sakit, bisa heboh satu kantor."
Rajata berbicara seraya melirik Vina yang tergolek lemah di atas sofa. Adik Si Dina ini bikin susah saja. Tidak kakak, tidak adik tingkahnya sama saja. Sama-sama tukang memanipulasi laki-laki.
Setelah mematikan ponselnya Rajata duduk di hadapan Vina. Dalam diam ia memandangi wajah Vina yang bagai pinang dibelah dua dengan kakaknya. Vina pasti tidak tahu kalau dirinya bersahabat dengan Reyhan, mantan suami Dina. Dan ia tahu bahwa Reyhan ini menceraikan Dina, bukan karena Dina mandul. Reyhan itu sangat mencintai Dina. Reyhan menceraikan Dina karena tingkahnya yang liar. Selain itu Dina sangat materialistis.
Menurut Reyhan semua yang ada dalam pikiran Dina adalah uang dan uang saja. Selama ini Reyhan selalu bersabar. Hingga perselingkuhan Dina dengan salah seorang teman sekolahnya, membuat kesabaran Reyhan habis. Reyhan akhirnya menceraikan Dina. Dan perempuan licik itu dengan jahatnya mengatakan bahwa Reyhan menceraikannya, karena dirinya mandul. Dina berusaha memperoleh simpati dari orang lain, dan membuat Reyhan dicap sebagai seorang suami yang kejam. Betapa iblisnya perempuan ini bukan?
Kejahatan Dina bukan hanya itu saja. Diketahui pada akhirnya ia berusaha memikat suami sahabatnya sendiri yaitu Ghifari. Dan Ghifari yang pada mulanya iseng-iseng menikmati makanan pembuka gratis, yang ditawarkan oleh Dina, akhirnya harus menelan pil pahit. Perselingkuhannya dengan Dina diketahui oleh Kanaya, istri sah-nya.
Akibatnya bisa ditebak, Kanaya meminta cerai dan Dina meminta pengakuan. Inilah kebodohan kaumnya yang kadang tidak mereka sadari. Perempuan pada umumnya memang terlihat lemah dan manis. Namun dibalik semua itu, sesungguhnya mereka mempunyai sifat licik yang luar biasa. Jika mereka telah memiliki satu rencana, maka mereka dapat menyusunnya menjadi satu cerita sedih menguras hati yang tertata rapi. Dan laki-laki yang tidak waspada, akan dengan mudahnya terjebak dalam permainan mereka. Ghifari adalah salah satu contoh laki-laki yang tidak waspada itu.
Itu cerita Dina. Dan kini adiknya, Vina sepertinya juga mulai mengikuti jejak sang kakak. Ia mendengar rumours tentang kedekatan tidak biasa antara Aria dengan Vina. Namun keduanya sangat rapi dalam menyimpan affairs mereka. Untuk itulah ia kembali dari Nederlands, demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Ia takut kalau Aria akan terjebak dalam rencana licik Vina. Ia tidak mau penyakit lama adik kesayangannya itu kambuh kembali. Di dunia ini ia hanya memiliki Alana, setelah ibu mereka meninggal. Sementara hubungannya dengan ayah kandungnya sudah terputus pada saat ibunya meninggal. Ia dan Alana tidak mau lagi memanggil laki-laki itu dengan sebutan ayah. Bagi mereka berdua, ayah mereka telah tiada. Mereka hanya memiliki satu sama lain. Oleh karena itulah ia sangat melindungi Alana.
Alana mempunyai kecenderungan takut jika orang-orang yang ia sayangi dirampas darinya. Makanya hingga usianya yang ketiga puluh enam tahun ini, ia belum juga mempunyai pasangan. Alana selalu cemburu dan takut ditinggalkan setiap kali ia mempunyai pasangan. Tetapi itu bukan masalah. Karena dirinya memang tidak berniat untuk menikah. Ia tidak suka jika hidupnya harus diatur-atur oleh orang lain yang disebut dengan istri. Selama ini jika ia membutuhkan jasa pelampiasan biologis, maka ia tinggal menunjuk saja. Karena perempuan-perempuan bayaran dengan profesi artis, model, bahkan istri orang pun, bisa dengan mudah ia dapatkan. Namun untuk istri orang, ia tidak pernah menggunakan jasa mereka. Karena baginya istri orang adalah hak orang lain. Jadi sekalipun mereka menawarkan diri, ia tidak pernah menggubrisnya.
Lebih simpel hidup seperti ini bukan? Ia tidak harus menghadapi drama-drama emosional perempuan yang terkadang tidak masuk akal. Ia bisa menskip tahap-tahap berpacaran yang menghabiskan waktu dan materi. Jika ia butuh, tinggal bayar di tempat dan masalah selesai. Ia tidak menyukai hubungan emosional dengan mereka semua. Seperti inilah hidupnya semenjak masa akil balighnya.
Suara ketukan pintu yang diikuti dengan suara staff front desk, membuyarkan lamunannya. Sepertinya Brian sudah tiba. Tebakannya benar. Brian masuk dengan cengiran lebar, saat melihat sosok Vina yang tergeletak diam di sofa.
"Astaga, Ja. Lo bener-bener gila ya? Ini cewek lo genjo* berapa kali sampe semaput begini? Mana di kantor lagi. Sadis lo ah!" Brian masuk sembari meletakkan tas dokternya di atas meja.
"Sembarangan lo kalo ngomong. Ini staff gue tiba-tiba pingsan." Mendengar kalimatnya Brian menaikkan satu alisnya. Rajata nyaris bisa melihat kalau otak Brian tengah berputar. Sahabatnya ini memang susah untuk di manipulasi. Brian terlalu mengenalnya.
"Staff lo, lo bilang? Kalau emang kedudukannya cuma staff, kenapa harus lo yang langsung turun tangan? Lebih jauh lagi kenapa harus gue yang lo panggil ke sini?"
"Karena perempuan ini bukan staff biasa. Perempuan ini gue curigai sebagai selingkuhannya si Aria."
Brian bersiul. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban seperti ini dari mulut Rajata. Selingkuhan Aria? Menarik. Bria mendekati pasiennya. Bersiap memeriksa keadaannya. Brian memicingkan mata kala pandangannya membentur seraut wajah yang sepertinya tidak asing baginya. Saat masuk tadi, ia hanya menatap sekilas sosok gadis yang tergeletak diam ini. Dan kini saat ia memperhatikan dengan seksama, ia seperti familiar dengan garis-garis wajah sensual ini. Suatu pemikiran melintas di benaknya. Brian berdecak. Wajah Dina ternyata. Mantan istrinya Reyhan."Ia orang siapanya Dina, Ja? Mukanya plek ketiplek dengan si Dina." Brian meraih tas dokternya. Mengeluarkan stetoskop untuk memeriksa pasien cantiknya."Adik kandungnya Dina. Lo nggak liat kalau mukanya bagai pinang dibelah dua dengan si Dina? Bukan hanya wajah. Kelakuannya juga sama," dengkus Rajata kasar. Seumur hidupnya ia terbiasa dicekoki dengan perempuan-perempuan mani
Vina yang baru kembali dari warung, saat melihat ada sebuah gerobak bakso di depan rumahnya. Ternyata ayahnya serius saat mengatakan bahwa dirinya ingin berjualan bakso keliling. Vina memandangi gerobak bakso itu dengan seksama. Gerobak bakso ayahnya ini terlihat rapi dan fungsional. Terbuat dari aluminium yang jauh lebih ringan dan juga dilengkapi dengan tabung gas dan kompor. Di bagian atasnya terdapat sebuah etalase kecil yang berfungsi untuk menyimpan berbagai macam bumbu. Seperti kecap manis, saos, sambal dan yang lainnya. Di bagian steling kaca atas, difungsikan untuk menyusun bahan baku bakso sehingga lebih menarik oleh pembeli.Secara keseluruhan gerobak bakso ini fungsional dan sempurna. Masalahnya Vina tidak tega membayangkan, ayahnya yang dulunya berpenampilan rapi dan necis, harus mengendarai gerobak bakso bermotor untuk berjualan seperti ini.Bayangkan saja, dulu ayahnya mempunyai 8 gerai bakso terkenal. Nama bakso Pak Kum
"Eh, Bang Rayhan. Vina sedang menebus obat, Bang." Vina refleks berdiri. Ia kaget sekaligus rikuh. Hubungannya dengan Reyhan kini sudah berubah. Reyhan bukan abang iparnya lagi."Menebus obat? Kamu sakit, Vin? Sakit apa?" Reyhan memandangnya prihatin."Bukan, Bang." Vina menggeleng. Ia benar-benar gugup saat Rajata terus saja menatapnya tajam dari balik punggung Reyhan."Bukan? Oh Bapak atau Ibu ya yang sakit?" tebak Rayhan. Vina kembali menggeleng."Bukan, Bang. Yang sakit Mbak Di--Dina," jawab Vina gagap. Hening. Reyhan seketika tampak rikuh. Wajar, membicarakan mantan istri bukanlah topik yang nyaman untuk dibahas. Istimewa membahasnya dengan mantan adik ipar."Oh," guman Reyhan singkat. Kalimatnya itu menginsyaratkan kalau Reyhan tidak ingin membahas masalah Dina lagi."Bang Rey sendiri ngapain di sini? Demi membunuh Kecanggungan, Vina m
"Lo beneran mau resign ya, Vin? Kenapa? Bukannya lo bilang kalo gaji di sini itu gede?" Suci membisikinya saat melihatnya tengah mengajari Ruby, penggantinya di perusahaan. Ruby sebenarnya adalah staff baru di divisi II. Rajata yang memilih langsung sebagai penggantinya."Iya, Ci. Ntar deh pas makan siang di kantin gue ceritain semuanya," Vina balas berbisik. Suci mengangguk dengan air muka yang tidak puas. Wajar saja. Suci adalah teman terdekatnya di perusahaan. Pasti ia merasa heran, karena tidak ada angin, tidak ada hujan, ia tiba-tiba saja ingin resign. Istimewa Suci mendengarnya dari mulut Putri.Setelah Aria menyobek two weeks notice resignationnya, ia memang langsung menemui Rajata, setelah ia membuat surat resign yang baru. Namun jeda waktunya berbeda. Jika sebelumnya ia membuat two weeks notice regisnation, maka kali ini ia membuat one weeks notice resignation saja. Ia berpikir, semakin cepat ia keluar dari perusahaan ini maka
Vina menarik napas panjang beberapa kali, sebelum mengetuk ruang kerja Aria. Ia tahu, kemungkinan ia akan dibantai oleh dua naga sekaligus di dalam sana. Hanya saja ia tidak mengira kalau Aria kali ini akan berkolaborasi dengan Rajata.Apa yang terjadi, terjadilah. Bissmillahirohmanirohim! Vina mengetuk daun pintu. Ketika terdengar sahutan masuk dari dua orang secara bersamaan, Vina pun memutar pegangan pintu.Kedatangannya langsung disambut dengan air muka ganas dari Aria dan Rajata. Keduanya tengah membolak-balik beberapa dokumen penawaran tender, yang kemarin ia berikan pada Aria untuk ditandatangani."Selamat siang, Pak Aria, Pak Rajata." Vina menyapa dua atasannya sopan. Walau perasaannya saat ini tidak karuan, tapi ia berusaha menampilkan air muka tenang. Ia tidak ingin dua orang di hadapannya ini mengetahui kegamangannya."Duduk." Alih-alih membalas sapaannya, Aria langsung memerintahkannya
"Ibu duduk dulu. Dengarkan Vina baik-baik. Setelah itu barulah Ibu boleh mengecam Vina, kalau menurut Ibu tindakan yang Vina ambil ini salah."Vina meraih bahu ibunya. Mendudukkannya pada sofa panjang satu-satunya, di samping ayahnya. Sementara dirinya sendiri duduk bersimpuh di hadapan kedua orang tuanya. Ia ingin memohon ampun atas kesalahan yang tidak sengaja ia perbuat. Ya, dirinya memutuskan untuk menceritakan asal muasal penyebab masalah ia resign atau dipecat, atau apapun sebutannya.Ia tidak mau menyembunyikan apapun pada kedua orang yang paling mencintainya di dunia ini. Ia mengerti tidak semua orangtua mampu bersikap bijaksana. Contohnya ya kedua orang tuanya ini, yang terlalu memanjakan kakaknya. Sehingga kakaknya tidak pernah mengerti apa yang disebut dengan tanggung jawab. Tapi mau bagaimana lagi. Orang tua tetaplah orang tua. Kasih mereka lebih besar dari seisi dunia."Bu, Ayah. Vina ingin minta maaf
Vina sangat meyakini pepatah yang mengatakan ; di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Dan jika satu pintu tertutup, insyallah pintu lain akan terbuka. Kuncinya adalah terus berusaha yang diiringi dengan ikhtiar yang tidak putus-putusnya. Begitu juga dengan musibah demi musibah yang terus menerpanya. Walau ia harus jatuh bangun menghadapi semuanya, namun menyerah bukanlah karakternya.Seperti sekarang saja misalnya. Pada pukul lima pagi, ia telah sibuk berbelanja ke pasar tradisional. Setiba di pasar, ia memeriksa satu persatu daftar belanjaan yang harus ia beli di selembar kertas. Setiap satu bahan telah ia beli, maka ia akan langsung mencoretnya dari daftar, agar tidak tumpang tindih. Ia memang sengaja mencatat daftar belanjaan pada selembar kertas, dibandingkan dengan notes di ponselnya. Pengalamannya berbelanja di hari pertama memberikan pelajaran, bahwa berbelanja sembari memeriksa ponsel itu menyusahkan. Selain berkali-kali jatuh, karena tangan
Kamar sudah rapi. Ia dan ibunya bergotong royong membersihkannya. Sementara Dina duduk melamun di sudut kamar. Pandangannya kosong. Tidak lagi liar seperti tadi. Ia tidak lagi berteriak-teriak atau menangis. Sebutir obat penenang memang ampuh. Namun ada rasa tidak tega di hati Vina saat melihat Dina dalam pengaruh obat seperti ini. Air liur perlahan mengalir dari sudut bibir kakaknya. Sang ibu bergegas menyekanya dengan sehelai sapu tangan. Beginilah keadaan kakaknya apabila diberi obat penenang. Syarat-syarafnya mati rasa. Sehingga kakaknya tidak bisa mengontrol reaksi tubuhnya."Ayah ke mana, Bu? Dari tadi Vina tidak melihatnya.""Ayahmu ke kanton Reyhan, Vin. Ayahmu ingin mengembalikan cek yang kamu berikan tempo hari." Bu Misna menggenggamkan sapu tangan ke tangan Dina. Ia bermaksud mengajarkan Dina untuk belajar menyeka air liurnya sendiri."Nanti diseka seperti ini ya, Din. Biar bersih," bujuk Bu Misna