Share

Chapter 2

"Waduh, ada trio macan pula di depan, Vin. Kagak sari-sarinya petinggi-petinggi perusahaan makan di mari. Pantesan tadi gue lihat ini kantin sepi amir. Rupanya temen-temen kita yang lain pasa ngiser gegara ada nih trio macan bertiga." 

Bisik Suci pelan. Vina tidak menjawab. Ia terlalu takut kalau rahasianya ketahuan, hingga jantungnya jedag-jedug tidak karuan. Kedua kakinya seperti menolak bekerjasama untuk melangkah. 

"Etdah, lo ngapain berdiri kayak patung begini? Ayo kita langsung jalan ke ibu kantin. Kita jalan dari pinggir aja, belagak kagak ngeliat mereka bertiga," bisik Suci setengah menyeret pergelangan tangannya. Dan lagi-lagi Vina merasa kalau ketiga atasannya memperhatikannya. Perasaannya makin tidak karuan saja.

Vina mengabaikan perasaannya. Seperti usul Suci tadi, ia berpura-pura tidak melihat ketiga atasannya. Ia pun mempercepat langkah di samping Suci. Tepat pada saat itu seseorang yang juga baru masuk, menyenggol tangannya keras, hingga kotak makanannya terlepas. Detik berikutnya nasi, telur rebus dan tumis kangkung terasinya berserakan di lantai kantin. Putri, staff bagian keuangan pura-pura kaget. Padahal Vina yakin, Putri memang sengaja melakukannya. Sudah menjadi rahasia umum kalau Putri membencinya. Putri kerap menyebarkan gosip kalau dirinya ada main dengan Aria. Karena karirnya dengan cepat melejit padahal ia baru bekerja empat bulan.

"Yah, tumpah. Maaf ya, Vin. Gue nggak sengaja. Gue ganti deh lauk lo dengan makanan yang lebih bergizi di kantin ini. Terserah lo mau pake lauk apa."

Putri pura-pura kaget dan prihatin. Namun air mukanya seperti mengejek. Belum lagi gerakan tangannya yang melambai-lambai di udara, seperti mengejek kesialannya. Walau geram, Vina berusaha menahan diri. Ia tidak mau membuat keributan untuk hal sepele. Terlebih lagi ada tiga orang atasannya yang memperhatikan. 

"Nggak usah, Put. Hari ini emang gue berencana nraktir Vina. Kalo lo niat banget nyumbang makanan bergizi, noh lo sumbangin aja ke panti asuhan depan. Kali-kali aja perbuatan baik lo nanti bisa ngurang-ngurangin dosa lo dikitlah," cetus Suci sinis. 

"Eh Suci. Maksud gue baik ya? Gue mau bersedekah dengan orang susah. Karena gue tahu keluarga si Vina ini udah bangkrut gara-gara selingkuhan kakaknya yang pelakor itu, ketahuan nipu selingkuhannya. Tapi kok lo malah nyolot sih?" Putri kini berkacak pinggang. Sepertinya Putri tidak melihat tiga orang atasannya. Wajar karena Putri baru saja masuk. Selain itu pandangan Putri pasti hanya fokus padanya, karena berniat untuk mempermalukannya. Putri memang selalu mencari pasal padanya.

Ketika Suci membuka mulut, bermaksud untuk mencuci otak Dinda, Vina segera menyenggol lengannya. Ia memperingati Suci dengan lirikan mata ke meja samping. Karena kalau mereka ribut-ribut untuk hal yang sepele begini, kreadibilitas mereka akan buruk di mata para atasan. Apalagi kini Aria terlihat berdiri dari kursinya. Namun akhirnya Aria kembali duduk. Pasti Aria teringat pada posisinya sebagai seorang suami. Vina sempat melirik sekilas tadi ke samping. Sebagai gantinya, malah Rajata yang berdiri dan menghampiri mereka bertiga. Matilah mereka kali ini.

"Ada apa ini?" Vina tidak mampu menjawab. Lagi pula apa yang harus ia katakan? Bahwa Putri dengan sengaja menjatuhkan kotak bekalnya begitu? Kesannya ia seperti anak kecil tukang mengadu bukan? Makanya ia bungkam. Sementara Putri menoleh cepat pada asal suara, dan seketika memucat. Putri pasti tidak mengira kalau atasannya ada di kantin.

"Itu... anu... tidak ada apa-apa kok, Pak. Saya hanya tidak sengaja menumpahkan bekal Vina. Tapi saya bermaksud menggantinya kok, Pak."

Putri dengan cepat mengubah nada suara dan gestur tubuhnya. Air mukanya berubah menjadi penuh penyesalan. Berikut suaranya yang diturunkan dalam nada terendah. Di depannya Suci mencebikkan bibirnya. Pasti temannya ini muak melihat sikap Putri.

"Saya tidak tuli dan juga tidak buta. Saya minta kalian berdua ke ruangan saya setelah jam makan siang berakhir." Rajata meninggalkan mereka berdua setelah memberi perintah.

"Baik, Pak." Vina dan Putri menjawab bersamaan. 

"Dasar adek pelakor nggak tahu diri. Gue yakin lo pasti juga ada main dengan Pak Aria, makanya karir lo melesat sampai seperti ini. Kakak adek sama saja." Putri melontarkan makian dengan wajah prihatin. Putri ini memang benar-benar bertalenta seperti artis sinetron. Aktingnya sempurna.

"Daripada waktu lo habis digunakan untuk menduga-duga hal yang tidak berguna, better lo manfaatkan untuk hal yang lebih penting. Mengevaluasi kinerjo lo sendiri misalnya. Pikirkan, kenapa lo yang udah kerja hampir lima tahun, tidak pernah dipromosikan." 

Vina membalas sembari tersenyum manis. Inilah dirinya. Ia tidak suka keributan atau memaki-maki dalam bahasa yang frontal. Cukup dengan sepatah dua patah kata. Tapi langsung mengenai sasaran rasanya lebih memuaskan bukan?

"Tjakep! Gue suka pembalasan ala ala sarkasme begini. Rasanya langsung nyessd ke hati. Senep... senep lo sono." Suci menyambung sembari mengacungkan jempolnya. Putri menjauh sambil melotot. Terlihat sekali kalau ia dongkol, namun tidak berani membalas. Ada Rajata masih duduk di belakangnya dengan secangkir kopi di tangan. 

Dengan berjalan beriringan bersama Suci, Vina menghampiri ibu kantin. Ia memesan makanan yang sama dengan Suci. Setelahnya ia meminjam sapu dan pengki. Ia bermaksud membersihkan tumpahan bekalnya. Namun sang ibu kantin mengatakan agar salah seorang pekerjanya saja yang membersihkan. Syukurlah. Dan waktu makan siang itu terasa sangat pendek. Karena tanpa bisa ditahan Vina kerap melirik ke seberang meja. Belum lagi jika teringat bahwa ia harus menemui Rajata setelahnya. Makin-makin sajalah kegelisahannya.

***

"Apakah kalian berdua tahu bahwa prilaku kalian berdua itu mencerminkan karakter kalian?" 

Inilah kalimat pertama yang dirinya dan Putri terima, saat berdiri di hadapan Rajata. Saat ini mereka memenuhi panggilan Rajata ke ruangannya. 

"Tahu, Pak," jawabnya dan Putri serempak. 

"Kalau tahu, mengapa kalian berdua mempertontonkan ketidakdewasaan kalian di tempat umum?!" Kuatnya suara Rajata membuatnya dan Putri nyaris melompat kaget. Namun mereka berhasil tetap berdiri di tempat, tanpa memperlihatkan reaksi yang berlebihan. Hanya bahu mereka berdua yang sedikit bergetar.

"Maaf, Pak. Kami berdua salah. Kami berjanji bahwa kami berdua tidak akan mengulangi kesalahan kami lagi," ikrar Putri takzim. Vina mengamini dengan menganggukkan kepalanya. Jujur, memang sudah seharusnya Putri yang menjawab. Toh dirinyalah yang mencari gara-gara. Ia hanya hanya sekedar menanggapi provokasi Dinda.

"Bagi saya, perilaku staff-staff saya itu sama pentingnya dengan pekerjaan. Karena apa? Karena kemampuan kalian untuk bekerjasama dengan rekan kerja akan mempengaruhi hasil kerja kalian. Bagaimana proyek bisa goals kalau staff-staff di dalamnya saling gontok-gontokkan. Ingat, saya tidak akan pernah mempromosikan jabatan kalian jika kalian tidak bisa bekerjasama dengan baik dan positif." 

"Kami mengaku bersalah dan kami benar-benar minta maaf, Pak. Kami juga menyesali insiden memalukan saat berada di kantin tadi. Kami bersumpah, Pak!" Lagi-lagi Putri kembali meminta maaf." 

"Baik. Ini adalah kesempatan pertama sekaligus terakhir kalian. Kalau kalian mengulangi kesalahan yang sama, saya tidak akan berpikir dua kali untuk menyingkirkan kalian berdua."

"Terima kasih, Pak." Putri membungkukkan tubuhnya dengan takzim. Vina mengikuti tanpa bersuara.

"Kamu bisu?" Satu kalimat Rajata yang diucapkan seraya memandangnya sinis, membuat Putri tersenyum tipis. Namun dengan cepat ia mengubah air mukanya kembali biasa.

"Tidak, Pak," jawab Vina singkat. Dari sini saja ia tahu kalau Rajata memang sengaja menyerangnya. Vina menyadari bahwa sesungguhnya Rajata ini dengan jelas mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Seperti yang ia katakan tadi. Bahwa dirinya tidak buta dan tidak tuli. Rajata sengaja ingin menyerangnya saja.

"Kalau tidak, mengapa sedari tadi kamu tidak berbicara?"

"Saya merasa apa yang dikatakan oleh Mbak Putri sudah mewakili, Pak." Vina berupaya menjawab sopan sesuai dengan keadaan.

"Jangan suka memakai perasaanmu secara berlebihan. Karena apa yang kamu rasa belum tentu sama dengan yang dirasakan oleh orang lain. Mengerti?"

Ambigu. 

"Mengerti, Pak." Vina menjawab tegas. Sudahlah, akan ia ikuti saja apa maunya Rajata ini. Semakin cepat urusannya selesai, semakin baik bukan?

"Baik. Kamu boleh kembali bekerja," Rajata menunjuk Putri. Vina menarik napas lega. Akhirnya ia terbebas dari interogasi ini juga.

"Kamu tetap di sini."

Astaga. Cobaan apalagi ini?

Vina memandang Putri yang berlalu dengan perasaan iri. Putri yang mencari masalah, namun Putri jua yang lebih dulu dibebaskan. Keadilan dalam dunia ini memang sulit untuk didapatkan bukan?

"Duduk," 

Seperti robot Vina duduk di depan Rajata. Rajata menyusul duduk di kursi kebesarannya. Posisi mereka kini saling berhadapan. Mereka hanya dibatasi oleh sebuah meja kerja besar. 

"Mari kita berbincang-bincang sejenak.

Kamu punya hubungan apa dengan Dina Hadinata?"

Vina termangu. Ia sama sekali tidak mengira kalau Rajata akan menanyakan hal di luar pekerjaan padanya. Istimewa masalahnya sangat sensitif seperti ini.

"Dina Hadinata itu kakak saya, Pak." Rajata mengangguk-angguk kecil. Ia mengetuk-ngetuk ujung bolpennya ke meja. Ia seperti memikirkan sesuatu.

"Kalau Ghifari Albani? Kamu mengenalnya?"

Vina menggerak-gerakkan bokongnya tidak nyaman. Ia merasa serba salah sekarang. Dijawab, salah. Tidak dijawab salah juga. Vina yakin sekali kalau Rajata sudah tahu semua jawaban-jawaban yang ingin ia ketahui. Rajata hanya ingin mendengarnya sendiri dari mulutnya. 

"Pak Ghifari Albani itu setahu saya adalah mantan suami Mbak Kanaya. Teman kakak saya," jawab Vina hati-hati. Ia tidak ingin terpeleset kata.

"Dan? Saya menunggu lanjutan kalimatmu?" 

Rajata benar-benar memaksanya, hingga ia tidak punya ruang untuk mengelak.

"Dan... dan... kebetulan saat ini kakak saya sedang dekat dengan mantan suami Mbak Naya tersebut." Vina berusaha memilih jawaban yang ia rasa paling aman. 

"Jawaban kamu berbelit-beli. Saya sederhanakan saja menjadi satu kalimat. Apakah kakakmu berselingkuh dengan Ghifari hingga istri sah Ghifari menuntut cerai?" Front telah dibuka. 

"Saya tidak tahu pasti, Pak. Karena saya dan kakak saya tidak dekat. Kakak saya tidak pernah menceritakan masalah pribadinya dengan saya. Lagi pula, maaf, saya merasa tidak ada korelasi antara kakak saya dengan perusahaan ini. Saya keberatan kalau masalah kakak saya kita bahas di sini." 

Vina berusaha menjawab dengan diplomatis. Rajata tidak menanggapi kalimatnya. Namun Rajata memandangnya lurus-lurus. Ada ancaman samar di dalam manik gelap matanya.

"Secara langsung memang tidak ada. Tapi dampak dari karakter kakakmu padamu, ada." Vina tidak menanggapi kalimat Rajata. Ia pura-pura tidak tahu saja. 

"Kamu tahu pasti. Namun kamu melindungi kakakmu. Wajar seberapa bejatnya Dina, dia adalah kakakmu."

Dugaannya benar bukan? Rajata ini sudah mengenal kakaknya.

"Baik, tidak masalah kalau kamu tidak mau membahasnya. Toh Ghifari itu bukan siapa-siapa saya. Tapi lain halnya dengan Aria. Karena ia menikahi adik kandung saya."

Masalah sudah semakin mengerucut sepertinya. Vina berkeringat dingin. Rajata tiba-tiba bangkit dan mendekatkan wajahnya. Napas Vina tercekat. Ia sama sekali tidak berani bergerak. Bukan hanya itu saja. Ia bahkan menahan napasnya.

"Saya mencurigai sesuatu. Namun saya belum menemukan bukti yang cukup memadai untuk kecurigaan saya ini. Dan saya bukan type orang yang suka sembarang menuduh. Satu hal yang ingin saya tekankan padamu, jangan pernah mencontoh perbuatan kakakmu. Jangan berani-berani menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga adik saya. Karena saya tidak akan berpikir dua kali untuk menghancurkan siapapun itu, yang telah mengusik rumah tangga adik saya."

Vina bergeming. Saking gugupnya ia berulang kali menelan salinvanya sendiri sebelum menjawab gugup.

"Jangan khawatir, Pak. Saya bukan type orang yang bisa berbahagia setelah menginjak kepala orang lain. Saya bersumpah, bahwa saya tidak akan pernah mengganggu apalagi menanggapi laki-laki yang sudah berkeluarga." 

Janji Vina yakin. Ia menatap netra hitam Rajata dengan berani. Apa yang ia katakan memang bebar. Ia tidak akan pernah mau menjadi orang ketiga dalam hubungan siapapun. Dengan Aria, itu terjadi karena atasannya itu membohonginya. Kalau saja waktu ia tahu, bahwa Aria berbohong, mana mungkin ia mau menerima pernyataan cintanya. Dan setelah ia tahu kebenarannya, ia langsung minta putus saat itu juga bukan?

"Baik. Saya pegang kata-katamu. Namun kamu harus mengingat satu hal. Apabila kamu berbohong, saya akan membalasmu seratus kali lipat lebih sakit, kalau kamu terbukti ada main dengan Aria. Ingat kalimat saya baik-baik. Sekarang kamu boleh pergi!" Rajata segera menarik wajahnya, dan kembali duduk di kursi kebesarannya.

"Terima kasih, Pak. Saya akan kembali bekerja." Vina buru-buru bangkit dari kursi dan bergegas berjalan ke arah pintu.

"Ingat baik-baik kata-kata saya. Kalau kamu tertangkap basah mempunyai hubungan gelap dengan Aria, saya akan membalasmu seratus kali lipat lebih sakit, belum termasuk bunganya." Vina menggangguk cepat seraya memutar kenop pintu. Dikhawatirkan kalau ia akan terkena serangan jantung diri, kalau ia berada dalam ruangan ini lebih lama lagi.

"Selamettt." Vina mengelus dada. 

"Astaghfirullahaladzim." Vina kembali kaget saat berbalik. Karena ia nyaris bertabrakan dengan Putri yang berdiri di depan pintu. Sepertinya Putri menguping.

"Lo jangan senang dulu. Semua orang yang pernah berbohong pada Pak Rajata, tidak pernah bisa hidup dengan normal lagi. Lo siap-siap aja. Karena gue yakin kalau sesungguhnya lo punya rahasia besar yang terus aja lo tutup-tutupi. Bersenang-senanglah, sebelum neraka dunio lo menghampiri." 

Amit... amit... jabang bayi. Semoga semua itu tidak terjadi. Aamiin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status