Share

10|Gemuruh Hujan

Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan.

Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi…

Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki.

“M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.”

“Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…”

“T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” 

Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, dan melihat senyumnya lewat video call. Tapi, jika seperti itu mungkin sedikit berlebihan… Lebih baik aku sabar menunggu waktu yang tepat saja untuk itu…

“Hmm? Kamu kenapa Alan? wajahmu merah loh. Bakso kamu kan gak pedes,” tanya Anton. 

“Bukan apa-apa…”

“Gimana? udah video call nya?” Anton benar-benar terlihat penasaran, dan haus akan info.

“Gak jadi. Katanya cuma kepencet aja.”

“Kamu sih, ngangkatnya lama. Nyesel kan?”

Mungkin ini terdengar egois, jika aku tak ingin orang lain melihat kecantikan Mitsuki.

Saat malamnya aku kembali bertukar pesan dengan Mitsuki seperti biasanya, dan mulai melupakan topik soal video call.

Mitsuki mengirimkan sebuah foto padaku, di foto itu ada seorang perempuan yang terlihat familiar bagiku. Dia mengatakan jika itu teman bimbelnya. Di foto itu ada seorang perempuan berambut pendek, dan juga berkacamata. Rasanya aku seperti pernah bertemu dengannya, tapi dimana ya…? 

“Bikin iri aja kamu Lan…,” ucap Anton yang sedang terbaring di kasur. Aku pikir dia sudah tidur.

“Kirain udah tidur.”

“Ya, sebenarnya aku juga udah ngantuk sih… Aku hanya penasaran, apa kamu itu beneran cuma temenan sama dia?” aku meletakkan ponselku, dan mulai mulai fokus mengobrol dengan Anton.

“Ya… aku berteman dengannya, aku dekat dengannya, dan sejujurnya aku menyukainya…”

“Kalau dia sudah mempunyai pacar, dan memilih orang lain bagaimana?”

“Mungkin… aku akan merebutnya kembali…”

“Haha, ya… itu terserah padamu. Sekarang aku mengerti kenapa kamu menolak Risa.”

Malam ini terasa sunyi, dan dingin. Aku juga sudah membalas pesan terakhir dari Mitsuki, pastinya dia juga sudah tidur. Melihat Anton yang tertidur nyenyak, aku pun akhirnya jadi ikut mengantuk.

Besok minggu aku berencana untuk pergi pulang saat sore. Jika berlama-lama disini juga pastinya tidak enak, aku takut akan merepotkan Anton.

Saat nyenyak tertidur, aku secara tak sengaja terbangun. Aku terbangun karena wajahku terpukul oleh sesuatu, dan saat aku lihat itu ternyata lengan Anton. Aku melihat posisi tidur Anton yang tidak karuan, kedua tangan, dan kakinya melebar kemana-mana. 

Ternyata ini masih jam tiga pagi, dan aku tidak bisa kembali tidur. Karena udaranya sangat dingin, aku pun segera memakai jaket sweater milikku.

Kini aku paham kenapa kasur di kamarnya ini cukup luas. Ternyata ini bukan untuk orang lain, kasur besarnya ini hanya khusus untuk dirinya sendiri, dasar serakah. Aku berjalan keluar dari kamar Anton, dan berbaring di sofa ruang tengah.

Entah kenapa aku tiba-tiba kepikiran Mitsuki, dan jadi iseng mengirimi pesan padanya.

“Mitsuki, apa kamu masih tidur?”

Dan… ya pesanku tidak dibalas, itu wajar saja. Mitsuki juga pasti lelah, dan sedang beristirahat. 

Beberapa menit berlalu, aku mulai mencoba untuk tidur kembali di atas sofa empuk yang hangat ini. Aku juga memutar musik untuk mengurangi suasana sunyi yang aku rasakan ini. Saat hampir saja terlelap tidur, aku malah kembali terbangun karena ingin pergi ke kamar mandi.

Aku melepas headsetku, dan kemudian berlari kecil menuju kamar mandi di rumah Anton. Karena rumahnya yang cukup luas, aku hampir lupa dimana letak kamar mandinya. Ternyata kamar mandinya berada di dekat kamar Anton. Pantas saja aku kesulitan untuk mencari kamar mandinya, pintu kamar mandinya sama dengan pintu kayu ruangan yang lain. Ini aneh.

Aku merasa lebih lega setelah keluar dari kamar mandi, dan juga jadi merasa lebih kedinginan.

Begitu kembali ke ruang tengah rumah ini, aku melihat ada sebuah pesan baru di ponselku. Saat aku periksa itu ternyata pesan dari Mitsuki, aku pikir dia masih tertidur.

“Ada apa Alan? maaf aku baru saja bangun.”

Setelah melihat balasan pesan dari Mitsuki, kesepian yang aku rasakan mulai perlahan menghilang.

“Tidak, hanya saja disini sedikit sepi, jadi aku ingin menghubungimu saja…”

“Begitu ya… apa Alan tidak tidur?”

“Aku baru saja terbangun tadi. Rasanya kita lebih sering berkomunikasi saat sunyi seperti ini ya…”

“Kalau diingat-ingat, benar juga ya…”

“Mitsuki, apa aku boleh menelponmu?” Gawat, aku benar-benar mengirim pesan yang satu ini. Sudah pasti dia akan menolaknya… 

“Boleh.” Begitu membaca pesan singkat darinya ini perasaanku langsung terasa menjadi lebih baik.

Sebenarnya aku sendiri tidak tahu ingin membicarakan apa dengannya pagi ini. Topik semalam yang seharusnya aku lupakan malah aku gali kembali, dan menyebabkan keheningan yang cukup lama.”

“Oh iya, Mitsuki. Soal video call tadi… apa kamu benar ingin melakukannya?”

Mitsuki tidak menjawab. Masih belum menjawab…

“… Mmm, sebenarnya a-aku ingin melihatmu Alan. Kamu belum pernah mengirim fotomu sama sekali bukan? Aku sudah pernah loh…”

“Ah iya, yang waktu itu… waktu itu aku benar-benar terkejut saat melihat foto mu Mitsuki. Kamu terlihat dewasa, dan juga i-imut…”

Aku mengatakan pujian itu dengan nada yang rendah, seolah sedang berbisik langsung pada telinga Mitsuki. Telingaku terasa panas, aku berusaha meredam rasa malu ini dengan mengenggam ponselku sekeras mungkin, seolah aku bisa menghancurkannya begitu saja. Selama beberapa saat Mitsuki tidak mengatakan apapun dari balik telepon. 

“… Terima kasih.” Mitsuki mengatakan itu dengan nada yang rendah, sangat rendah, dan juga lembut. Bahkan mungkin lebih rendah dibandingkan dengan suara apapun. Baru kali ini aku mendengar suara Mitsuki yang seperti itu, dan sepertinya aku mulai menyukai hal baru yang aneh… Gawat telingaku semakin panas, dan terbakar.

“Setiap kali Alan mengirimkan sebuah foto tentang Bandung… aku jadi terkagum dengan pesona kotanya.”

“Ya… disini benar-benar menyenangkan. Tapi mungkin akan lebih menyenangkan kalau ada Mitsuki…” Ehhhh, apa yang baru saja aku ucapkan, memalukan, itu terdengar menjijikan….

“…… Maaf Alan kamu bilang apa tadi? aku tidak mendengarnya. Tadi temanku Aoi memanggilku.”

Syukurlah dia tidak mendengarnya… Aku secara tak sengaja malah mengatakan hal memalukan itu.

“M-maksudku… jika Mitsuki suka itu, aku bisa mengirimu lebih banyak foto lagi, dan kuliner disini juga enak-enak…! Maaf, bukan apa-apa…”

“Ji-jika Alan tidak keberatan… a-aku ingin melihatnya lebih banyak lagi…”

“Ya! baiklah! akan aku kirim lebih banyak foto lagi, mungkin fotoku juga. Bercanda deh, kalo fotoku kayaknya nggak usah haha….”

Tiba-tiba saja… aku teringat perkataan Anton semalam, bagaimana jika Mitsuki memang sudah mempunyai pacar, atau mungkin dia sedang menyukai seseorang. Hubungan kami berdua ini apa? Apa hanya aku yang merasa dekat dengannya?

Aku ingin menanyakannya, tapi…

“Alan. Waktu itu… aku tidak mendengarnya dengan jelas. Alasan kenapa Alan menolak perasaan temanmu itu…”

“…”

“M-maaf, aku ini bicara apa ya… hehe. Tiba-tiba membahas hal yang sudah berlalu.”

“Waktu itu… aku menolaknya karena aku menyukai orang lain, dan orang itu adalah kamu, Mitsuki…”

“…”

Telingaku sudah benar-benar terbakar kali ini, tanganku sudah tak sanggup untuk memegang ponsel sekeras mungkin, aku sedikit merasa lemas, dan juga benar-benar lega. Suara jantungku berdebar keras, rasanya seolah terdengar ke seluruh sudut ruangan ini. Aku berulang kali menarik napasku dalam-dalam, dan berusaha untuk menenangkan diriku sendiri.

Mitsuki masih terdiam setelah aku mengungkapkan perasaanku, dan saat tengah tegang menunggu balasan darinya. Aku tiba-tiba mendengar sebuah suara yang familiar bagiku, dan mungkin familiar juga bagi semua orang. Yaitu sebuah suara ketika seseorang menutup sambungan teleponnya… “tiittt…” aku mendengar itu dengan jelas sekali. Aku langsung mellihat ke arah ponselku, dan ternyata benar saja. Mitsuki menutup panggilannya… 

Aku hanya kebingungan saja saat ini, dan bertanya-tanya kepada diri sendiri. 

“Kenapa…? Kenapa Mitsuki menutup panggilannya.”

Tak lama kemudian aku berjalan kembali ke kamar Anton. Aku sedikit menggeser Anton yang terlentang seperti bintang di atas kasur, dan kemudian kembali tidur di sampingnya. Aku menarik selimut yang sama sekali tidak terpakai olehnya, dia malah meniduri selimut itu di bawahnya. 

Aku sudah berbaring nyaman dibalut selimut. Tapi aku tidak bisa tidur, aku hanya bisa menikmati kehangatan dari selimut lembut bermotif bunga-bunga ini.

Aku terjaga sampai pagi dengan berbalutkan selimut, pikiranku tidak bisa lepas tentang kejadian jam tiga pagi itu. Begitu Anton bangun dari tidurnya, aku langsung ikut bangun, dan mulai merapihkan barang-barangku. Mungkin lain kali jika aku akan menginap dengan Anton, aku harus menyiapkan dua kasur dengan ukuran ekstra.

“Huuu, dingin euy, kamu mau pulang kapan Lan?” tanya Anton sambil memeluk dirinya sendiri.

“Nanti aja agak sorean.”

“Nginep sehari lagi aja lah… sepi nih.”

“Besok kan sekolah, gimana sih…”

“Oh iya…”

Hari sudah mulai sore, cuaca di luar terlihat mendung, dan benar-benar menutupi sinar matahari. 

“Mau pulang sekarang Lan? Mendung gini… besok aja lah pulangnya…,” tanya Anton

“Iya juga sih, tapi gak apa-apa lah. Pulang sekarang aja.”

“Ya udah kalo gitu hati-hati ya, jangan kapok nginep disini…”

“Kalo gitu, aku balik dulu ya…”

“Yoo…”

Cuaca hari ini memang sedikit mendung, tapi itu tidak berarti akan hujan, aku berharap saja tidak akan hujan. Tidurku sedikit tidak nyenyak, dan menjadi sedikit mengantuk saat berkendara.

Tiba-tiba saja sesuatu menimpa helmku, dan menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Itu adalah tetesan air hujan. Hujan mulai turun perlahan-lahan, hingga akhirnya menjadi lebat, dan juga deras. Aku menjadi segar kembali saat diterpa oleh air hujan. 

Rumahku sudah tak jauh lagi, jadi aku merasa tanggung jika ingin berhenti. Aku pun memutuskan untuk menerjang hujan ini sampai rumah. Aku hanya berlindung di balik helm, dan juga sweaterku.

Sesampainya di rumah aku di marahi oleh ibuku karena menerjang hujan yang cukup lebat, aku juga membuat lantai rumah menjadi becek karena tetesan air dari pakaianku yang basah. Dengan pakaian yang basah kuyup, aku langsung berlari menuju kamar mandi, dan mengganti pakaianku.

Padahal aku sudah buru-buru mengganti pakaianku, tapi tetap saja aku terkena flu. Aku berkali-kali bersin, dan itu benar-benar membuatku tak nyaman. Setelah minum obat aku pun mulai merasa baikan, tapi efek samping obat itu membuatku menjadi mengantuk, dan akhirnya tertidur.

Aku benar-benar nyenyak saat tertidur. Tapi saat terbangun di pagi hari, aku merasa pusing. Flu yang aku rasakan semalam sudah terasa mendingan, tapi badanku sedikit terasa panas, dan saat aku periksa suhu tubuhku, ternyata lebih dari 28 derajat.

Tok!

Tok! 

“Alan! Ibu sama ayah pergi dulu ya, nanti kalo mau berangkat sekolah, pintu sama pagarnya jangan lupa dikunci.”

“Iya…”

Dengan kondisi yang seperti ini… mungkin aku tidak akan masuk sekolah dulu… Aku telepon Anton saja deh… mengambil ponsel yang ada di atas meja saja rasanya melelahkan. 

“Ha… Hallo Anton? kok lama banget ngangkatnya? Hari ini aku gak enak badan, tolong sampein ke guru ya.” 

“…”

“Dan bisa tolong sekalian beliin obat demam gak? Uangnya nanti aku ganti. Makasih.”

Aku tidak mendengar balasan dari Anton, yang aku dengar hanyalah suara ramai di sekolah.

“Eh? Alan sakit?” Beberapa saat sebelum aku menutup panggilan, aku mendengar suara dari balik telepon. Tapi, tunggu… kenapa suaranya perempuan, perasaan aku nelpon Anton deh… 

Aku melirik ponselku, dan melihat siapa yang baru saja aku telepon.

“R-Risaaa…!? Maaf-maaf, aku tadinya mau nelpon Anton.”

Rasanya benar-benar memalukan. Aku langsung menutup panggilan setelah itu, lagi pula kenapa bisa salah sambung sih…

“Baiklah, nanti akan aku sampaikan ke Anton. Lekas sembuh Alan…”

“T-terima kasih…”

Terima kasih Risa… Tapi, entah kenapa perasaanku malah jadi sedikit gugup, dan gak tenang begini ya…

Rama Sipit

Nantikan kelanjutannya ya^^

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status