Share

8|Merah

Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… 

Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil.

“Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku.

“Kenapa?” tanyaku.

Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menenangkannya. Tapi sepertinya Clara benar-benar marah padaku. 

“Udah buka aja helmnya!”

“Iya iya, sebentar,” aku pun mengalah, dan membuka helmku dengan cepat, “iya kenapa?”

Saat baru saja melepas. dan meletakkan helm di atas jok motor, Clara menamparku. Teman-temannya semakin menahan dia, dan menjauhkannya dariku.

“Ehh, Clara! Udah-udah!” teriak kedua teman Clara yang berusaha menahanya.

“Kamu tuh ya! kalo udah nolak Risa jangan terus-terusan baik sama dia, itu kayak ngasih dia harapan palsu tau! Kamu gak sadar apa?!” ucap Clara sambil menatap kesal padaku.

“Maaf, aku benar-benar tidak berniat begitu…”

Di tengah ketegangan Anton tiba-tiba datang dari belakang Clara.

“Oi ceboll… Harusnya kamu gak boleh nyalahin Alan, ini bukan salah dia kalo perasaanya gak sama. Kamu terlalu berlebihan,” ucap Anton.

“Iya Clara, aku juga sudah tidak apa-apa… maaf sudah membuatmu khawatir…” Risa berusaha menenangkan Clara.

Tak lama Clara mulai terlihat tenang, dan teman-temannya mulai melepasnya.

Plak!!!

Suara tamparan yang lebih keras terdengar, dia menamparku lagi, dan kemudian memukul perutku. Aku membungkuk menahan sakit. Anton yang berada disana langsung mengangkat Clara, dan menjauhkannya dariku.

“Udah Clara… kamu kayak anak kecil aja… sorry ya Alan, kalau begitu sampai besok…”

Clara terlihat meronta-ronta di atas bahu Anton.

“Lepasin Anton! Aku ini lebih tua dari kamu tau! Gak sopan banget!” Risa terus meronta-ronta sambil memukuli bahu Anton. Kedua teman Clara yang menahannya tadi pun mengikuti Anton.

“Tch, apaan cuma sebentar. Gak seru ah ributnya.” Entah siapa yang mengatakan itu, tapi perkataannya itu membuat kerumunan bubar. Lagi pula apa yang sebenarnya dia harapkan… dasar aneh.

“Ugh… baru kali ini aku ditampar perempuan dua kali…”

“Maaf Alan… karenaku kamu jadi begini…”

“Gak apa-apa, itu artinya punya teman yang baik… Yuk pulang.”

Risa terlihat ragu untuk pergi pulang denganku, dan tak lama dia pun menolak ajakanku. 

“Maaf, mungkin untuk hari ini nggak dulu… Aku mau berbicara dulu dengan Clara,” ucap Risa sambil melepas kembali helmnya.

“Baiklah. Kalau begitu… sampai jumpa besok.”

“Ya… sampai jumpa besok.”

Aku pun pulang sendirian sore ini. Aku benar-benar tidak menduga hal tadi akan terjadi… Aku masih bisa merasakan sakit dari pipi kananku, dan mungkin masih meninggalkan bekas telapak tangan di pipiku ini. Sepanjang perjalanan aku merenungi apa yang dikatakan Clara padaku. Aku hanya berusaha untuk kembali berteman dengan Risa. Apa sikapku yang seperti biasanya ini akan menyakitinya…? Jika ini salah, aku benar-benar bingung harus bersikap seperti apa.

-

-

-

Sesampainya di rumah, aku terus memakai helmku sampai kamar karena takut bekas luka di pipiku masih ada. Begitu sampai di kamar aku langsung berkaca, dan memastikannya. Ternyata benar, meskipun rasa sakitnya sudah lama hilang, tapi ini masih membekas. Sebaiknya aku berhati-hati dengan teman Risa yang bernama Clara itu… Pukulannya keras sekali.

Saat meraba saku celana aku menjadi panik, dan tidak bergerak selama beberapa saat. Aku tidak bisa menemukan ponselku, ponselku tidak ada…!? Aku mulai meraba, dan memeriksa setiap saku celanaku. Tapi aku masih belum menemukannya, di dalam tas juga tidak ada. Aku mulai mengingat-ngingat kapan terakhir kali aku menggunakannya… 

Begitu ingat, aku langsunng bergegas keluar kamar, dan menuruni tangga dengan buru-buru. Sampai-sampai ibu memarahiku.

“Pelan-pelan! Nanti jatuh…”

“Maaf, lagi buru-buru bu…”

Begitu sampai di depan pintu. aku langsung menarik, dan membukanya. Setelah terbuka aku melihat Risa yang sedang berdiri disana. Karena terburu-buru aku pun secara tak sengaja menabraknya hingga terjatuh.

Bruukkk!

“Aduh! Aww…” Risa terjatuh.

“Risa? kamu ngapain? Maaf aku lagi buru-buru.”

Risa bangun, dan kemudian membuka isi tasnya.

“Ini ponsel kamu kan?” Risa memberikan sebuah ponsel padaku, dan itu memang benar punyaku, “tadi Anton bilang kalau dia nemu ini di kolong meja, dan menitipkannya padaku.”

“Begitu ya. Terima kasih banyak Risa.”

“Alan itu ceroboh juga ya… haha. Kalau begitu aku pulang ya, sampai besok.”

“Aku antar saja Risa, tunggu sebentar!”

“Eh gak usah…”

Aku kembali masuk rumah dengan buru-buru, dan berlari menuju kamar untuk mengambil helm. Begitu kembali keluar setelah mengambil helm, aku melihat Risa yang masih berdiri di depan teras, aku pikir dia akan langsung pergi pulang sendirian.

Aku baru sadar jika Risa masih membawa helm yang biasanya dia pakai, aku pikir dia akan menyimpannya di sekolah, ya setahuku dia selalu menyimpan helmnya di sekolah jika tidak sedang pulang bersamaku. Aku langsung pergi mengantar Risa ke rumahnya dengan motor tanpa menanyakan hal tadi.

“Temanmu yang di Jepang itu… siapa namanya?” tanya Risa.

“Dia… Mitsuki. Mitsuki Akio.”

“Aku tidak begitu mengerti, tapi namanya terdengar indah. Dia seperti apa orangnya? Ceritakan padaku dong.”

“Mitsuki itu… cengeng, dan… penakut. Terkadang dia suka menatap ke arah langit dalam waktu yang lama, dia bahkan tak pernah sadar jika rambutnya tertiup angin saat itu.”

“Apa foto gadis yang ada di layar depan ponselmu itu Mitsuki ya…?” 

“Eh… ya.”

“Maaf aku secara tak sengaja melihatnya…”

Malu sekali rasanya jika Risa tau soal itu.

“Dia terlihat cantik dan manis. Jangan buat dia menangis ya…”

“Ya… tentu saja…”

Saat melihat Mitsuki menangis waktu itu… aku benar-benar tidak ingin melihatnya menangis lagi.

“Ngomong-ngomong… apa perutmu masih sakit?”

“Ya sedikit, aku hampir muntah saat tadi.”

“Alan tahu gak? Kalau Clara atlet silat di sekolah kita. Dia pernah juara provinsi loh.”

“Hah? Pantes aja pukulannya keras banget…” Pantas saja isi makan siangku hampir keluar semua tadi, ugh…

-

-

-

“Terima kasih sudah mengantarku pulang. Aku… akan mendukungmu.” Risa melepas helmnya, dan kemudian tersenyum padaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan, tapi begitu sadar… Oh dia ini benar-benar…

“Ya… aku juga terima kasih. Kalau begitu sampai jumpa besok…”

Risa hanya tersenyum, dan melambaikan tangannya saat aku mulai menjauh darinya.

Apakah dalam sebuah cinta itu… tak pernah seimbang ya… Semuanya selalu terlihat rumit. Jika dipikir-pikir aku ini memang menyukai Mitsuki, tapi… aku masih ragu untuk mengatakannya. Aku tidak ingin hubunganku dengan Mitsuki menjadi berubah karena ini, aku lebih baik memikirkan ini lebih jauh lagi… Seperti menikahinya? Sepertinya itu terlalu jauh ya… 

Lagipula apa Mitsuki disana sudah mempunyai pacar ya… atau sedang menyukai seseorang mungkin? aku tidak tahu itu itu. Mitsuki itu cantik, disana pasti banyak yang menginginkannya. Ahh kenapa aku malah semakin memikirkannya.

Sebelum pulang aku memutuskan untuk mengunjungi ke minimarket terlebih dahulu, aku hanya merasa sedikit haus, dan membeli sebotol teh disana. Saat pikiranku masih tak karuan memikirkan hal tadi, aku secara tak sengaja melihat seorang karyawan café yang keluar, dan menempelkan sebuah poster di depan kaca café itu. Karena penasaran aku pun melihat poster itu lebih dekat, dan membacanya.

Di poster itu mereka sedang mencari tetap, dan paruh waktu. Aku mulai tertarik, dan membaca poster itu lebih jauh lagi, café ini sepertinya baru saja dibuka. Setelah berpikir cukup lama, aku pun pergi masuk ke dalam café itu, dan mencari managernya. Begitu masuk… aku  langsung mencari sang manajer, dan berniat untuk bekerja disini. 

Setelah menemui pak manajer disana, aku di hujani banyak pertanyaan olehnya, dan aku cukup lama berada di dalam ruangannya itu. Setelah menyesuaikan aku pun diterima bekerja paruh waktu disini. Aku menjadi pelayan di café ini mulai besok, dengan jadwal senin sampai jum’at. Mungkin ini akan sedikit berat jika di hari sekolah, tapi ini hanya tiga jam waktu kerja, dan aku pikir ini tidak masalah. Mungkin nanti aku akan pulang lebih telat saat di rumah.

“Setelah bekerja besok kamu harus tetap menjaga kewajibanmu untuk belajar ya. Jangan lupa beritahu kedua orang tuamu.”

“Baik pak. Terima kasih, kalau begitu saya pamit…”

Sebelum aku pergi meninggalkan ruangannya pak manajer itu menjabat tanganku dengan erat.

Memberitahu kedua orang tua ya… Aku pikir ayah akan mengijinkanku, tapi ibu… aku tidak yakin. Aku memilih untuk diam saja, dan tidak memberitahu kedua orang tuaku.

Tanpa sadar hari pun sudah semakin gelap, cahaya senja mulai tenggelam, dan menghilang. Aku baru ingat jika saat melamar kerja disana… aku masih memakai seragam, dengan dasi yang sedikit kendor, dan melorot. Jika dilihat-lihat ini seperti berandalan saja.

Sesampainya di rumah, aku benar-benar tidak memberitahu kedua orang tuaku soal pekerjaan paruh waktu tadi. Aku langsung pergi mandi, dan makan setelah itu. Menutup pintu kamar rapat-rapat, dan kemudian memeriksa pesan-pesan yang ada di ponselku. Begitu melihat ada pesan masuk dari Mitsuki, aku langsung membacanya.

“Selamat malam Alan, sekolahmu hari ini bagaimana?”

“Hari ini terlalu banyak yang terjadi, ingin mendengarnya?”

“Mau, mendengar Alan bercerita itu… pasti menyenangkan.”

Aku pun menelpon Mitsuki setelah itu. Aku menceritakan pada Mitsuki jika sore tadi aku dipukul oleh seseorang. Aku iseng berbohong padanya, dan mengatakan jika aku di keroyok orang.

“Eh… apa Alan baik-baik saja? Kenapa bisa begitu?” Dari balik telepon Mitsuki terdengar panik. Aku senang mendengar itu…

“Hehe… maaf. Aku hanya bercanda.”

“Duh… apa sih Alan… a-aku khawatir tau.”

“Tapi aku memang dipukul Mitsuki, oleh perempuan yang lebih pendek dariku. Dia marah padaku, dan kemudian memukulku.”

“Pasti ada alasannya bukan? Kenapa?” 

Sejujurnya pertanyaan Mitsuki itu sedikit membuatku tegang untuk menceritakannya. Tapi, pada akhirnya aku menceritakannya pada Mitsuki. Aku bercerita jika seorang temanku menembakku, dan aku menolaknya… Mitsuki sepertinya masih duduk manis mendengarkanku. 

“Dan yang memukulku itu adalah teman dekatnya…”

“Aku tidak mengerti kenapa dia memukulmu… tapi ternyata Alan populer juga ya… hehe, dan kenapa Alan menolaknya?” tanya Mitsuki.

“Aku…”

Eh… apa aku akan melakukannya sekarang? Tidak-tidak, ini terlalu mendadak…!

“Aku tidak punya perasaan yang sama dengannya… Kalau Mitsuki… sekolahmu hari ini bagaimana?”

Syukurlah, aku berhasil menghindarinya. Tapi, setelah mengatakan itu Mitsuki menjadi terdiam. Aku hanya bisa mendengar suara jangkrik dari luar.

“Hallo? Mitsuki?”

“… Ah maaf Alan. Tadi ibu memeriksa kamarku, apakah aku sudah tidur, atau belum hehe.”

“Ah, disana sepertinya ini sudah cukup larut, maaf aku tidak memperhatikan itu.”

“Kalau begitu… terakhir. Sekolahku hari ini sangat menyenangkan, terima kasih Alan karena selalu menemaniku. Selamat malam…”

“Ah, ya… selamat malam…”

Benar… setiap hari memang selalu terasa menyenangkan jika ada dirimu Mitsuki, ditemani olehmu rasanya membuatku senang, dan nyaman. Setiap kali memejamkan mata… dirimu selalu saja muncul di dalam benakku. 

Oh iya… aku lupa cerita pada Mitsuki kalau aku sekarang ada kerja paruh waktu tiap sore… 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status