Share

7|Sebuah Perasaan

Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi. 

Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.

Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.

Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.

“Alan, besok jangan lupa ya…” ucap Risa lewat pesan, dan beberapa pesan lainnya hanyalah sticker-sticker lucu.

Ya Tuhan. Aku lupa tentang Risa siang nanti…

Setelah aku membalas pesan Risa dengan mengiyakannya, aku meletakkan ponselku, dan mengambil sebuah kabel charger di dalam laci. Aku salah ingat, dan hampir membuka sebuah laci yang berada di kiri. Di laci kiri itu ada beberapa foto albumku waktu kecil, dan juga barang-barang rahasiaku. Aku menarik kembali tanganku dan langsung membuka laci yang bagian kanan.

Tadinya aku berniat untuk tidur setelah membiarkan ponselku mengisi daya, tapi aku mulai merasa lapar, saking laparnya aku menjadi malas untuk tidur. Aku berjalan ke arah pintu, membukanya secara pelan-pelan, dan berjalan jinjit menuruni tangga menuju dapur. Setiap langkahku rasanya seperti akan membangunkan keluargaku yang sedang tidur, padahal ini rumah orang tuaku sendiri, tapi rasanya aku seperti menjadi seorang pencuri saja.

Saat di dapur aku melamun, dan berpikir akan makan apa… dan saat merenung aku melihat secarik kertas di atas meja. 

“Alan, kamu belum makan ya? di kulkas ada sisa kari semalam, kamu angetin aja ya…” Jelas sekali ini dari ibu, aku merasa terharu dan hampir menangis… Saat aku membuka kulkas, disana aku melihat sebuah piring yang dibalut dengan plastik, dan di balik plastik itu aku melihat kari yang ibu katakan.

Aku mengambil piring itu, dan mulai menghangatkannya kedalam microwave. Sambil menunggu waktu menghangatkannya selesai, aku terduduk di meja makan sendirian, menatapa ke segala sudut ruangan dalam rumah yang sedikit gelap. Beberapa lampu biasanya akan ayah matikan jika sudah waktu tidur, dan aku pertama kalinya melihat keadaan yang seperti ini. Suasananya cukup horror, dan juga dingin. Aku baru sadar jika aku masih memakai seragam, dan saat aku coba cium ternyata bau keringatnya masih sedikit kuat.

Setelah selesai dihangatkan, aku pun menyantap kari itu dengan ditemani nasi yang baru saja aku hangatkan juga. Sesuai dugaanku, karinya tidak pedas, ibu memang yang terbaik. Ibu tau jika aku benci pedas, dan aku lebih suka makan-makanan asin. Memakan makanan pedas itu rasanya seperti menyiksa lidah dan perut sendiri. Aku pikir penikmat pedas itu hanya orang-orang masokis… maaf aku hanya bercanda, semua orang punya selera sendiri bukan?

Setelah selesai makan rasanya aku menjadi sedikit kegerahan, padahal aku tidak memakan kari pedas. Aku langsung mencuci piring dan gelas yang baru saja aku pakai, kemudian meletakannya di dekat wastafel. Begitu memasuki kamar aku langsung membuka bajuku, dan buru-buru mengambil baju tanpa lenganku di dalam lemari, kemudian memakainya. Aku langsung berbaring di atas kasur setelah itu, hingga akhirnya tertidur.

Aku merasa tidurku cukup nyenyak, bahkan saat hendak tidur pun aku malah mengingat apa yang Mitsuki katakan semalam. “Apa kamu keberatan jika kita berbicara lebih lama lagi?” katanya… Aku ingin melihat ekspresinya saat dia mengatakan hal itu!!! 

Bibirku tak pernah bisa berhenti tersenyum saat memikirkannya…

-

-

-

Saat tengah nyenyak tertidur, aku menjadi sedikit terbangun karena mendengar suara langkah kaki yang sedang berlari masuk ke dalam kamar. Aku tidak mempedulikan suara langkah kaki itu, dan mencoba fokus untuk kembali tidur. Tak lama suara langkah kaki itu mulai berhenti dan menghilang. Perasaanku mulai terasa tenang, dan mulai merasa nyaman kembali untuk tidur. 

Tapi, ternyata perasaan tenang yang aku rasakan saat ini hanyalah sementara…

Plak!!!

Suara tamparan terdengar begitu keras. Sebuah telapak tangan yang kecil menamparku tepat di bagian wajah. Aku langsung bangun dari tempat tidur, dan membanting tatapanku ke arah samping.

Dari arah pintu aku melihat Naomi yang baru saja berlari keluar dari kamar, aku tahu dia yang menamparku tadi, dan aku pun berusaha bangun untuk mengejar yang adik yang iseng itu.

“Waaaaargghhh…! Kesini kamu Naomiii…!”

Aku membanting gulingku dengan sedikit kesal, lalu mengaum seperti hewan buas untuk menakuti adikku, dan ya tentunya ini hanya bercanda saja… 

“Pfftt… haha, kamu kenapa Alan?”

Saat aku bersiap untuk berlari mengejar Naomi, aku mendengar suara orang tertawa dari dekat. Aku terkejut, pandanganku langsung berusaha mencari tahu siapa yang baru saja tertawa. Seketika aku menjadi sedikit panik, dan malu saat sadar ada Risa yang sedang duduk di dekat tempat tidurku. Aku malu dengan apa yang baru saja aku lakukan tadi, ya Tuhan…

“Risa?! sejak kapan kamu disini?!” ucapku. 

“Sejak tadi, muka Alan waktu tidur lucu juga ya… haha,” senyum ramah Risa mulai pudar dari wajahnya, sekarang menjadi terlihat menyeramkan, dia juga memelototiku, “ngomong-ngomong ini itu… udah jam berapa ya…?” ucap Risa.

Aku mulai mengingat sesuatu, dan perlahan melirik ke arah jam dinding. Disana menunjukkan hampir pukul sebelas siang, ini sudah hampir tengah hari. Aku tidak sadar jika aku sudah tertidur selama itu.

“Maaf Risa, semalam aku ada urusan penting.”

“Lebih penting dari aku?” saat Risa mencoba menggodaku lagi, aku langsung berjalan keluar kamar, dan mencari ibuku, “eh, t-tunggu Alan, main kabur aja kamu mah.”

Aku sedikit kesal karena ada Risa di kamarku, padahal kan ibu bisa menyuruhnya menunggu di luar kamar, kemudian membangunkanku. Setelah menemukan ibu yang sedang menonton tv di ruang keluarga, aku langsung berbisik padanya dan mengutarakan pendapat yang aku pikirkan tadi. Tapi, ibu malah menertawakanku.

“Ibu udah coba bangunin kamu tadi, tapi gak bangun-bangun. Akhirnya ibu kasih Risa masuk aja, dan minta bangunin kamu sekalian… Kamu takut ketahuan selingkuh sama Mitsuki ya?” bisik ibu padaku.

“N-ngomong apa sih bu… aku sama Mitsuki belum pacaran.”

“Belum? Berarti bakal pacaran dong? 

Aku dan ibu malah saling berbisik di depan Risa, Risa hanya tersenyum-senyum padaku dan juga ibu.

“Makasih ya udah bangunin Alan,” ibu menatapku, “kamu mau nganter Risa kan? ayo cepetan, kasihan dia udah lama nunggu.”

Setelah itu aku pun pergi mandi, dan bersiap untuk pergi mengantar Risa ke rumah temannya. Kemarin dia mengatakan jika rumah temannya itu cukup jauh, dia juga ragu untuk pergi sendirian, dan pada akhirnya dia memintaku untuk menemaninya. Ya aku juga tidak keberatan juga sih…

Risa terlihat rapih, dan baru kali ini aku melihatnya memakai pakaian kasual secara langsung. Meskipun begitu aku hanya menggunakan sweater hitam polos, dan juga celana pendek untuk bepergian mengantarnya. Setelah berpamitan pada ibuku kami berdua pun berangkat.

Waktu seolah berjalan lambat, aku fokus menyetir, dan Risa fokus pada renungannya sendiri. Hingga akhirnya niat untuk memecah suasana ini muncul dalam diriku.

“Kamu mau nganterin barang apa?” tanyaku membuka pembicaraan.

Setelah bertanya aku melirik ke arah spion sekilas, dan dari spion aku melihat Risa mulai tersenyum, seolah baru saja bangun dari lamunannya.

“Kamu penasaran?” tanya Risa.

“Nggak juga, tapi kalau kamu gak bisa ngasih tau ya gak apa-apa/

“Kalau begitu aku gak mau ngasih tau. Ngomong-ngomong pakaian kamu santai banget ya…”

“Ya, aku merasa lebih nyaman dengan ini.”

“Hmmm. Padahal ini bisa jadi kencan pertama kita…”

“Eh…?”

Dia ngomong apa sih… Aku mengintip ekspresi Risa dari balik spion, dan dia sepertinya merasa sangat puas saat aku terkejut. Itu terlihat jelas dari ekspresinya yang senyum-senyum. Ini bukan kencan kan…? Aku hanya akan mengantarnya, dan kemudian langsung pulang… baiklah. Jangan memikirkan hal yang aneh Alan…

Sepanjang perjalanan Risa menuntun arah jalanku, dan mengatakan setiap patokan yang menuju rumah temannya. Sekitar lima belas menitan lebih aku sudah berkendara, dia terus mengatakan sebentar lagi, tapi nyatanya masih belum. Aku sampai bosan mendengar Risa mengatakan kalimat itu. 

Saat sedang fokus berkendara Risa menepuk-nepuk pundakku dengan keras.

“Eh kelewatan Alan! balik lagi, balik lagi, itu rumahnya yang di samping toko buku.”

“Aduh! Iya iya, sebentar.”

Aku pun berbalik arah, dan menuju tempat yang Risa tunjuk. Aku baru tahu ada sebuah toko buku disini, ya… lagipula aku juga baru pertama kali ke sekitar sini… 

Teman Risa tak kunjung keluar meskipun bel rumahnya sudah Risa bunyikan beberapa kali, Risa juga sesekali mengucap permisi dari luar. Karena merasa akan lama aku pun memutuskan untuk menunggunya di depan toko buku itu.

“Risa, aku tunggu di depan sana ya,” ucapku.

“Oh iya, maaf ya kayaknya bakal lama.”

Setelah itu aku pun pergi ke arah toko buku itu. Aku duduk di atas jok motor sambil mendengarkan playlist musik favoritku dari balik headset. Saat aku melirik ke arah kaca toko buku itu, aku mulai tertarik untuk masuk dan melihat-lihat. Rasanya sedikit tidak asing ketika aku memasuki toko buku ini, dan toko buku ini ternyata lebih terlihat luas saat aku masuk kedalam. 

Tadinya aku berniat untuk melihat-lihat lebih dalam lagi, tapi Risa menysulku kedalam toko.

“Alan, Alan! Dilepas dong headsetnya,” Risa mendekat ke arahku, dan melepas headset yang menempel di telingaku dengan perlahan, “yuk, aku udah selesai.”

“Ah maaf-maaf. Langsung pulang?” tanyaku.

“Eh, kamu mau ngajakin aku kemana? Kok aku takut ya…”

“Maksudku, kamu ada urusan lain selain ini gak? Kalau ada sekalian saja aku anter lagi.”

“Oohh… Alan baik banget ya… kalau begitu ayo, aku ada urusan lain nih.” Risa menarik tanganku keluar, terlihat jelas dari belakang telinganya merah. Dia terus menarik tanganku hingga keluar, tanpa menatapku sama sekali.

“Eh, t-tunggu…”

Risa menarikku tanganku keluar toko, dan dia benar-benar terlihat bersemangat.

“Memangnya urusan apa lagi?” tanyaku.

“Pulangnya kita lewat rute lain aja ya? sekalian kita cari makan siang.”

“Hmm… Ya udah yuk.”

Risa semakin bersemangat setelah mendengar jawabanku. Sudah lama rasanya aku tidak pergi berdua dengan Risa seperti ini, kalau tidak salah saat pertama kali aku pergi dengannya itu ketika aku pertama kali masuk SMP. Dia memperlihatkan banyak hal baru bagiku, dan itu benar-benar menyenangkan. Sampai tak sadar aku mulai menyukai kota ini.

Setelah itu kami berdua pun pulang melewati rute yang berbeda untuk pulang, dan sepertinya ini jalan memutar yang lebih jauh. Atau Cuma perasaanku saja ya…?

-

-

-

Tadinya setelah makan aku berniat untuk langsung pulang saja.

“Eh, mau langsung pulang?” tanya Risa.

“Iya.”

“Kita kesana dulu yuk! Motornya tinggal disini aja.”

Tak jauh dari seberang jalan aku melihat sebuah taman bermain yang cukup besar. Disana juga ada beberapa orang yang mengantri masuk. Karena terlalu lama menatap ke arah taman bermain itu, seorang perempuan dengan seragam hitam disana menghampiri ke arah kami berdua.

“Wah pasangan yang serasi sekali… si aa nya ganteng banget kayak orang Korea, teteh nya juga cantik banget ih… Yuk coba masuk ke taman bermain kami! Kami ada diskon tiga puluh persen untuk pembukaan di hari pertama loh…” ucap perempuan itu sambil memberikan sebuah brosur pada Risa.

“T-tunggu, kami gak pac…,“ perempuan itu langsung pergi sebelum aku selesai menjelaskan, “kami gak pacaran, dan saya bukan orang Korea.”

“Hehe, pacaran. Lucu banget ya Alan.”

Risa tersenyum jahil padaku, dia terlihat puas sekali dengan apa yang terjadi.

“Kenapa kita gak coba masuk aja? Yuk!”

“Eh… nggak ah, ngantri tuh. Pasti lama.” 

Saat aku melirik ke arah taman bermain itu, antriannya sudah mulai berkurang drastis. 

“Mana? Yuk! Yuk! Yuk!” 

Risa semakin bersemangat saat melihat antriannya benar-benar cepat berkurang. Aku tidak pernah bisa menolaknya, aku selalu kalah, dan mengalah padanya. Hingga akhirnya aku pun pergi ke taman bermain itu bersamanya.

Awalnya aku merasa bosan dengan yang ada disini, tapi Risa membuat segala yang ada disini menjadi semakin menarik dan menyenangkan. Tawa nya yang ceria terngiang-ngiang di dalam pikiranku. Aku mulai menikmati ini, hampir semua wahana kami coba, hingga tanpa sadar hari mulai sore. Lampu-lampu di sekitar taman bermain ini mulai menyala satu persatu, membuat kagum kami berdua, dan juga para pengunjung yang lainnya.

Sebagian dari mereka mengambil ponsel masing-masing dan kemudian memotret pemandangan sore di taman bermain ini. Begitu juga dengan Risa, dia memotret kesana kemari, dia juga memotretku yang sedang fokus melihat-lihat sekitar.

“Permisi bu, boleh minta tolong fotoin gak?” ucap Risa. Dia menghampiri seorang ibu-ibu yang sedang melihat-lihat.

“Boleh neng, sini.”

“Alan foto yuk! ”

Risa mendekat ke arahku, aku terkejut dan bingung saat mendengar aba-aba dari ibu itu. Karena bingung akan bergaya seperti apa, aku pun hanya tersenyum ke arah kamera. Aku merasa senyumku ini sangat canggung dan kurang. Tapi, Risa terlihat puas dengan hasil fotonya, dan dia juga memperlihatkannya padaku.

Saat melihat hasil fotonya aku pun berpikir jika hari ini… tidak terlalu buruk.

“Terima kasih banyak ya bu!” ucap Risa.

“Yuk pulang.”

“Eh bentar, sebelum pulang kita naik itu yuk!”

Risa menunjuk ke arah sebuah bianglala yang begitu tinggi, dan juga besar. Bianglala itu terlihat indah dengan banyak hiasan lampu yang berkelip-kelip. Aku menerima ajakannya itu karena merasa penasaran, seperti apa rasanya ketika di atas sana.

Setelah membeli tiket, dan mengantri beberapa menit kami berdua pun masuk ke dalam kabin bianglala. Kami berdua duduk saling berhadapan, saling tatap satu sama lain. Aku merasa sedikit canggung dengan suasana ini, tapi entah dengan Risa. Dia terlihat senang, dan santai-santai saja menikmati pemandangan yang perlahan-lahan semakin naik.

Risa berhenti menatap ke arah jendela, dan mulai menatap padaku.

“Kamu kenapa Risa?” tanyaku.

“Alan…”

Beberapa saat sebelum Risa selesai bicara, bianglala ini mendadak berhenti, dan sepertinya kami berhenti tepat di bagian paling atas. Hal itu membuatku sedikit kaget, tapi Risa tak bergeming sedikit pun, dia masih fokus menatapku, dan dia seperti berusaha untuk mengatakan sesuatu padaku.

“Waktu itu… aku benar-benar berterima kasih padamu. Ketika dompetku yang berisi uang kas kelas terjatuh, dan kamu yang melihat itu langsung memanggilku untuk mengembalikannya.”

“Oh… ya waktu itu.”

“Saat itu aku berpikir, jika dirimu itu orang yang baik. Kamu selalu baik pada semua orang, ketika bis penuh pun kamu suka berbagi kursi pada lansia, dan mungkin lebih banyak lagi kebaikan lain yang tidak aku ketahui.”

“Kamu melebih-lebihkan Risa.”

“Maaf…”

Aku sedikit bingung kenapa dia meminta maaf. 

“Alan… sebenarnya aku suka sama kamu. Sejak dulu aku menyukaimu…”

“Risa… Terima kasih. Aku senang bisa mengenalmu, tapi aku tak bisa membalas perasaanmu. Sebenarnya aku punya seseorang yang disuka. Dia adalah temanku saat masih di Jepang, dan sampai sekarang aku masih menyukainya… Aku harap kita masih tetap berteman.”

Risa tersenyum padaku. Bianglala mulai berputar kembali. Aku harap ini tidak akan merusak pertemanan kami berdua. Risa menarik napas panjang, dan kemudian bertanya.

“Begitu ya… Alan punya seseorang yang disuka…”

“Maaf.”

“Tidak perlu minta maaf, ini bukan salah Alan jika tidak punya perasaan yang sama denganku. Aku baik-baik saja, terima kasih sudah jujur soal itu.”

Memang itu yang dikatakannya, dia mengatakan baik-baik saja. Tapi, tak lama setelah itu matanya berkaca-kaca. Dengan buru-buru Risa mengusap air matanya yang perlahan-lahan mengalir membasahi pipinya. Melihatnya seperti itu aku langsung berbagi tisu milikku padanya. Setelah keluar dari Bianglala kami berdua pun berjalan keluar dari taman bermain, dan langsung pergi pulang. Langit sudah mulai gelap, cahaya senja perlahan menghilang, jalanan mulai bercahaya oleh lampu jalan, dan kendaraan.

Dua kali melihat seseorang menangis seperti ini itu rasanya sangat tidak menyenangkan…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status