Share

4|Jarak

Malam ini aku dan keluargaku sudah sampai di kota Bandung, kota kelahiran ibuku. Saat di bandara kami dijemput oleh tante Nanda teman lama ibu dengan mobil tuanya yang berwarna hitam. Sepanjang perjalanan aku melihat banyak pedagang yang berbaris di pinggir jalan, dan ibuku juga terlihat senang melihat pemandangan kota Bandung yang sepertinya sudah lama dia rindukan. 

“Alan baru pertama kali kesini ya? Eh, Alan bisa bahasa Indonesia gak ya?” Tanya tante Nanda.

“I-iya tante saya baru pertama kali kesini, dan t-tenang aja saya bisa bahasa Indonesia kok…”

“Hahaha, Alan ngomongnya masih kaku ya… tapi gak apa-apa, mungkin nanti juga akan terbiasa.”

Saat kecil ibu mengajariku bahasa Indonesia, dan karena aku jarang menggunakannya saat di Jepang itu membuat pengucapanku dalam bahasa Indonesia masih kaku.

Aku yang tadinya mengantuk menjadi segar kembali saat keluar dari mobil. Begitu membuka pintu mobil aku bisa merasakan udara yang segar, dan juga sejuk di malam hari ini. Jadi disini tempat tinggal baruku ya… sebuah rumah dengan bangunan 2 tingkat, halaman depan yang terlihat hidup dengan beberapa tanaman, dan juga kolam ikan. Lingkungan disini juga terlihat bersih, dan juga hijau oleh pepohonan.

Tinggal di kota ini akan menjadi pemandangan baru bagiku…

Tante Nanda pamit pulang setelah semua barang dalam mobil dikeluarkan. Aku benar-benar penasaran dengan kamar baruku di rumah ini, jadi aku langsung berlari masuk menuju lantai atas, dan memeriksanya sendiri. 

Ternyata kkamarku di rumah ini terlihat sedikit lebih luas dibanding saat di Jepang. Kamar ini juga bersih seperti baru saja dibersihkan, dan di kamar ini sudah dilengkapi ranjang, rak, dan juga lemari. Aku tidak tahu siapa yang menyiapkan semua ini tapi aku benar-benar berterima kasih padanya…

Sesampainya di rumah ini aku berniat untuk langsung menelpon Mitsuki, tapi tak kunjung tersambung juga, padahal aku sudah berhati-hati menekan nomornya dengan teliti.

“Kenapa Alan? ini sudah malam kamu tidur saja sana.”

Sambil membawa secangkir kopi di tangannya ayah bertanya padaku yang sedang kebingungan.

“Ini… aku mau menelpon teman di Jepang, tapi kok tidak tersambung ya…?”

Setelah itu ayah mengeluarkan ponsel pintar di sakunya, dan terlihat menulis sesuatu di atas kertas.

“Jika ingin menelpon ke luar negeri kamu harus melakukannya dengan cara yang berbeda. Mungkin ini agak rumit, tapi kamu ikuti saja apa yang ayah tulis disini.”

Ayah memberikan secarik kertas padaku, dan kurang lebih aku mengerti apa yang dikatakannya. Aku mulai menekan nomor di telepon satu per satu mengikuti apa yang ayah tuliskan, dan di bagian terakhir aku memasukkan nomor telpon Mitsuki.

Tak perlu waktu lama telepon pun tersambung. 

“Ya hallo, kediaman Akio disini…”

Aku tidak bisa menyembunyikan senyum lebarku saat mendengar suara telponnya sudah mulai tersambung dengan Mitsuki.

“Selamat malam, apa ini Mitsuki? Mitsuki ini aku Alan.”

“Alan? kamu sudah sampai ya? syukurlah… hmmm jadi disana bagaimana?”

“Disini ternyata tempatnya ramai Mitsuki, udaranya sejuk, dan juga segar. Aku penasaran pagi nanti akan sesegar apa ya…?”

Aku menceritakkan banyak hal saat dalam perjalanan pada Mitsuki, dia sepertinya senang mendengarkan aku bercerita. Sampai tak sadar jika malam sudah semakin larut, ibu menegurku yang masih belum tertidur, dan memintaku untuk segera tidur. Aku berusaha untuk mengulur waktu lebih lama lagi, agar bisa berbicara lebih lama bersama Mitsuki.

“Maaf Mitsuki, kita lanjut besok saja. Ibuku menyuruhku untuk beristirahat.”

“Ah ternyata sudah selarut ini… kalau begitu sampai besok Alan.”

“Ya sampai besok Mitsuki, tenang saja aku pasti akan sering menelpon, dan menceritakan hal menarik yang lainnya.”

“Terima kasih… Alan, kamu benar-benar baik.”

Mitsuki menutup telponnya lebih dulu, dan suara telpon yang terputus membuatku sedikit terkejut.

Tak lama setelah sambungan telepon terputus, ayah menghampiriku, dan memberitahuku jika perbedaan waktu di Indonesia dan Jepang itu berbeda dua jam. 

“Jika ingin menelpon temanmu yang ada di Jepang, perhatikan waktunya, jika terlalu malam itu akan merepotkan orang lain…”

“Eh benarkah…? baiklah… lain kali aku akan berhati-hati.” 

Keesokan harinya aku merasakan udara pagi yang segar sekali di luar rumah. Di teras rumah aku melihat banyak kesibukan para tetangga, sebagian dari mereka juga menyapaku dengan senyuman yang ramah. Seperti seorang kakek yang berada di depan rumahku itu, meskipun rambutnya sudah beruban badannya masih terlihat kekar dan sehat. Dia terlihat sedang menyirami beberapa tanaman di depan rumahnya.

“Alan, ayo cepat ganti bajumu.”

“Mau kemana?” tanyaku.

“Oh iya ayah lupa ngasih tau ya. Hari ini kita akan daftar ke sekolah barumu.”

Sekolah baru ya… aku penasaran akan seperti apa teman-teman baruku nanti…

Aku mengganti pakaianku, dan pergi menuju sekolah dengan menaiki bis bersama ayah. Jalanan disini mulai terlihat semakin ramai, tapi untungnya tidak terjadi macet. Dari dalam bus aku tidak bisa mengalihkan pandanganku ke luar jendela, setiap sudut pemandangan kota ini membuatku bersemangat.

“Ayo Alan, kita turun disini.”

Aku baru sadar jika setelan ayah terlihat terlalu formal, dia menggunakan jas? Yang benar saja. Kami pun turun di sebuah halte bis, tak jauh dari sini terlihat sebuah bangunan sekolah yang cukup besar. Sambil melihat-lihat aku mengikuti ayah berjalan dari belakang, sekolahnya terlihat cukup sepi, mungkin karena ini hari libur.

Aku dan ayah menemui kepala sekolah di ruangannya. Ayah dan kepala sekolah hanya berbincang-bincang sebentar, dan kemudian mulai bersalaman untuk pamit.

Kata pak kepala sekolah tersebut aku sudah bisa mulai bersekolah mulai senin nanti. Aku dan ayahku langsung pergi keluar ruangan setelah itu. 

“Alan, kamu bisa pulang sendiri kan? Maaf setelah ini ayah ada urusan.” 

“Bisa, tenang saja.” 

Setelah itu ayah langsung berlari keluar menaiki taksi yang sudah terparkir di depan gerbang sekolah. 

Saat duduk di halte sambil menunggu bis, aku secara tak sengaja menemukan sebuah dompet pink tergeletak di atas trotoar. Aku langsung berlari mengambil dompet itu, dan berusaha mencari pemiliknya. Tak jauh dari tempat dompet itu terjatuh, aku melihat seorang gadis berseragam yang terlihat kebingungan mencari sesuatu.

“Permisi, kamu kenapa?” tanyaku.

“Ini, dompetku hilang. Aduh, dimana ya…?”

“Apa ini dompetmu? Tadi aku melihatnya tergeletak disana.”

Ekspresi gadis berambut pendek itu langsung terlihat Bahagia ketika melihat dompet yang aku pegang itu.

“Wah, iya bener! Makasih banyak ya!”

“Ya, lain kali hati-hati.”

Tiba-tiba saja ada sebuah cahaya kamera yang menyorot ke arahku.

“Aduh, flash nya lupa dimatiin…,” ucap gadis itu sambil buru-buru menyembunyikan smartphone miliknya.

“Eh? kamu tadi motret aku?”

“Kamu lucu. kamu orang Korea ya?”

“Bukan… Ah, bis nya sudah datang, saya permisi.”

Saat bis datang aku langsung berjalan masuk, dan meninggalkan gadis itu. Dari balik kaca bis dia melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum jahil. 

“Terima kasih ya! terima kasih untuk fotonya juga!” 

Ternyata dia benar-benar memotretku tadi ya…? aneh. 

Ketika di rumah, aku melihat mobil milik tante Nanda terparkir di halaman rumah. Begitu masuk ke dalam, aku melihat ibuku sedang terduduk sambil tersenyum-senyum padaku, begitu juga tante Nanda.

“Alan, kamu bakal jadi kakak loh!” ucap tante Nanda dengan bersemangat.

“Kamu ingin dia laki-laki atau perempuan Alan?” tanya ibuku sambil mengusap perutnya.

“Mau yang manapun tidak masalah, hehe…” timpalku sambil sedikit tersenyum.

Mendengar berita tersebut tentunya aku sangat senang, senyum lebar terlihat jelas di wajahku. Tapi, sejujurnya aku ingin adik laki-laki saja, tapi jika itu perempuan juga aku tidak terlalu mempermasalahkannya.

Aku langsung memberitahu Mitsuki soal ini. Padahal aku hanya ingin berbicara dengannya saja…

“Aku harap dia perempuan… pasti dia akan menjadi gadis yang cantik seperti ibumu…,” ucap Mitsuki dari balik telpon.

“Oh iya Mitsuki, besok kita mau main ke-,” tunggu… apa yang aku katakan ini, “maaf tidak jadi, aku lupa mau bilang apa.”

“Jarak rumah kita sekarang jauh ya…”

“Kau benar… Tapi, meskipun hanya terhubung lewat telepon seperti ini, menurutku itu sudah cukup menyenangkan…”

Aku berusaha menghibur diri, dan mungkin Mitsuki juga berusaha melakukan hal yang sama. Berusaha untuk tidak terus menerus larut dalam sebuah kesedihan yang tidak ada artinya, yang bisa kami berdua lakukan hanyalah mengikuti arus ini berjalan, sambil terus berusaha. Jika sudah besar nanti, dan memiliki banyak uang, aku benar-benar ingin kembali menemui Mitsuki. 

Hari senin tiba, hari ini adalah hari pertamaku untuk bersekolah disini. Bangunan 3 tingkat sekolahnya cukup besar, dan dilengkapi dengan lapangan yang luas. Begitu memasuki lingkungan sekolah para murid disini terus memandangiku, apa wajahku terlihat aneh…? Aku merasa sedikit terganggu soal itu. Apa menjadi murid pindahan di SMP ini akan membuatku menjadi terkenal?

“Kita kedatangan murid baru dari luar negeri di kelas ini, silahkan masuk.”

Dari dalam ruang kelas seorang ibu guru memintaku untuk masuk. Begitu masuk tatapan semua orang tertuju padaku, mereka seperti sedang menunggu sesuatu dariku. 

“Perkenalkan dirimu,” ucap bu guru itu padaku.

“Perkenalkan nama saya Alan Hitomi. Kalian bisa panggil saja Alan.”

Setelah memperkenalkan diri bu guru memintaku untuk duduk di kursi yang kosong, dan kursi itu berada di tengah-tengah barisan tempat duduk. 

“Alan ya? Aku Anton. Ngomong-ngomong kamu orang Korea ya?” 

Begitu aku duduk seseorang dari belakang menyapaku, dia seorang anak laki-laki dengan mimik wajah yang kearab-araban.

“Eh bukan. Aku dari Jepang…”

Wajah Anton terlihat sedikit kecewa setelah mendengar jawaban dariku. Saat jam istirahat tiba, Anton mengajakku untuk pergi menuju kantin bersama-sama. Di kantin aku sedikit bingung untuk membeli hidangan apa, hingga akhirnya kami berdua menyamakan pesanan.

Saat duduk menunggu pesanan datang, secara tak sengaja aku melihat seseorang yang terlihat tidak asing. Aku baru mengingatnya ketika mataku bertatapan dengannya. Dia adalah gadis kemarin yang memotretku! Dari kejauhan dia tersenyum padaku, dan kemudian berlari menghampiriku.

“Eh murid pindahan itu kamu?! Kamu ada di kelas mana!? Kelas mana!?” tanya gadis itu dengan bersemangat.

“E-eh kelas 1 A,” timpalku.

“Kelas 1? Hmmm… karena aku satu tahun lebih tua darimu jadi panggil aku kak Risa ya! dan namamu siapa?”

“Namaku Alan.”

“Alan ya? nama yang bagus! ngomong-ngomong kemarin aku benar-benar berterima kasih, soalnya dompet itu berisi uang kas kelasku, jika hilang…”

“Ya, tapi lain kali lebih berhati-hati saja…”

Ternyata dia adalah kakak kelasku disini, dia mempunyai rambut coklat sebahu, dengan hidungnya yang sedikit pesek. Aku baru sadar jika dia sedikit lebih tinggi dariku, meskipun hanya beda sedikit, entah kenapa dia mulai mengejekku soal tinggi badan.

“Hihihi, pendek…”

Aku mulai merasa jika dia ini orang yang cukup menyebalkan…

Jam sekolah selesai, dan waktunya pulang. Saat waktu pulang, kak Risa tiba-tiba menyapaku dari belakang.

“Kamu naik bis ya Alan?” tanya kak Risa.

“Iya.”

“Aku juga naik bis, pulang bareng yuk!”

Aku tidak punya hak untuk menolak ajakannya itu, dan pada akhirnya kami berdua pun pulang bersama menaiki bis.

“Ah sudah sampai, haha tidak terasa. Kalau begitu sampai jumpa besok Alan.” 

Kak Risa melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum, dan kemudian pergi turun dari bis. Suasana bis mulai sepi tanpa ocehannya itu.

“Sekarang Mitsuki lagi ngapain ya…?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status