Tidak main-main dengan perkataannya, malam itu juga Marlon menikahi Belle. Mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu, hanya disaksikan oleh beberapa orang. Setelah saksi mengatakan sah Marlon menyerahkan tangannya agar dicium Belle, dan berakhir mengecup mesra kening gadis itu cukup lama.
Selesai. Kini, sepasang anak manusia yang terpaut usia 17 tahun, resmi telah menikah pada malam kamis berhujan. Ketika Marlon tersenyum lebar sarat akan bahagia, Belle malah terisak misuh.
Sungguh! Belle tak pernah menyangka bisa menikah secepat ini? Apalagi nikah dengan Marlon, lelaki tua berbulu domba. Rambut mirip sangkar, berbadan tinggi besar pula.
"Kau membayangkanku lagi?" tembak Marlon saat menangkap Belle bergidik, dia tahu apa yang sedang gadis kecil ini pikirkan. "Bahkan, kau melihatku masih dengan pakaian lengkap. Bagaimana jika aku telanjang bulat?"
Sinting! Seketika wajah Belle merah padam, antara perasaan marah dan malu bercampur menjadi satu. Menatap ujung sepatunya, perlahan Belle melangkah mundur, lantas berbalik cepat meraih segelas air. Guna menghilangkan rasa haus yang teramat.
"Sayang, jaga dirimu baik-baik, ibu dan ayah akan segera pulang." Ernest memeluk Belle, mengusap sayang pucuk kepalanya, tentu sebelum pergi.
"Ibu, Ayah, jangan pergi, aku takut." Merengek cukup keras, Belle sengaja mengundang perhatian banyak orang, sukses membuat Marlon panik.
"Aah, istriku, tenanglah! Cup, cup, aah sayang, cinta, di rumahku tidak ada hantu tahu." Hibur Marlon sesaat mengambil alih pelukan Ernest, melalui gerakan isyarat mengusir pasangan konyol itu.
Hanya demi mendapat sejumlah uang, keduanya menyerahkan Belle pada Marlon Exietera. Keterlaluan.
"Kau lebih menakutkan daripada hantu, kyaaa!" Belle memekik manakala Marlon mengangkat tubuh kecilnya, berjalan acuh menuju mobil di parkiran.
Ini sangat konyol.
Belle mengusap air mata di pipinya menggunakan punggung tangan. Saat Marlon menoleh, dengan cepat dia berpaling. Di sini Belle merasa pernikahan mereka tidak sah. Titik. Bukankah pernikahan harus berlandas cinta? Demi Tuhan! Belle sama sekali tak mencintai Marlon, jangankan cinta, tertarik saja tidak, yang ada malah geli.
"Paman ..." lirih Belle, menggantung begitu saja kala mendapat delikan.
"Sialan, kau Bell!" umpat Marlon di luar kendali, membuat Belle terlonjak. "Aku bukan pamanmu, sekarang ini aku suamimu, jadi panggil aku dengan panggilan sayang. Seperti honey, bunny, swetty."
Memanggil Marlon dengan panggilan sayang? Tidak akan pernah, dia lebih pantas dipanggil Tarzan tua atau gorila uuk aak.
Membuang muka, Belle mencoba bersikap tenang, lama-lama dia bisa stres menghadapi lelaki tua yang sudah kehilangan akal. Saat mengandung Marlon pasti Gloe kurang vitamin, makanya melahirkan anak rada sinting, tak sadar diri juga tak tahu malu, ewh. Bicara soal Gloe si nyonya besar nan angkuh, wanita itu akan syok berat ketika mendapat kabar jika putra keduanya Marlon telah menikahi Belle, gadis miskin dari mayora, yang diselenggarakan dadakan tanpa kesaksian keluarganya.
"Bell, akahkah kau berdiam di mobil terus hingga bumi berguncang?" tegur Marlon, menyentak Belle ke dunia sekitar. Ternyata mereka sudah tiba di rumah.
Tentunya rumah mewah Marlon, ini menjadi yang kedua bagi Belle menapak di lantai dasar, bahkan saking mengkilap lantainya gadis itu bisa becermin. Melihat wajah sendiri entah sejak kapan berantakan. Hitam di mana-mana. Yang lebih dominan di lingkaran bawah mata, pasti efek menangis tadi. Yaampun! Sambil lalu Belle menyeka wajah, berusaha keras membersihkan meskipun kewalahan, sebab Marlon terus menyeretnya tanpa toleransi mumpuni.
Sesaat Marlon berhenti otomatis Belle menabrak punggung lebarnya, buru-buru dia menunduk dalam. Bersembunyi dari mata pekat yang menatap tajam. Tepat di depan mereka telah berjejer ibu anak beranak, yang terdiri dari Gloe, Miller, dan Rose. Tidak kehabisan akal putra kedua Gloe itu menarik Belle masuk ke kamar, di mana kedua tanduk Rose sudah menancap keluar.
"Rose, kau di sini?" Belle menatap keberadan Rose terkejut, kemudian beralih pada Gloe dan Miller.
"Ah, yaa, tentu saja ini rumah paman Marlon kesayanganku," jawabnya dengan intonasi tidak bersahabat, Rose terlihat sangat marah entah untuk alasan apa.
"Ro-se, kau temanku kan?"
"Hah, teman? Tidak lagi, Bell. Sampai kapan pun aku tidak terima kau merebut paman Marlon dariku, kau gadis bermuka dua." Rose menunjuk wajah bingung Belle, napasnya memburu kencang.
"Kau juga memperalat adikku satu-satunya, kau gadis munafik, kau tidak punya rasa malu!" timpal Miller sambil memutar bola mata, ditatapnya Marlon dengan keki, lalu berhenti pada Belle.
"Dan kau mengambil anakku, putraku yang paling tampan sejagad raya. Dasar pencuri!" Tak ayal kepala Belle berputar. Ketiga wajah di depannya juga turut berbayang jadi tujuh.
Semakin lama pandangan Belle mengabur, kian jauh, buram, dan gelap gulita. Lucid dream, eh? Kontan Belle tersentak di pukul 3 dini hari, menetralisir arti mimpi barusan, lebih-lebih merasakan tangan Marlon bergerak di perut polosnya memperjelas bahwa telah terjadi sesuatu. Otomatis Belle menyingkirkan beban Marlon yang seberat 1 ton. Serius! Ini berat sekali, dia pasti makan banyak atau melakukan olahraga rutin sehingga memiliki bobot tubuh seperti induk gozila.
Belle merintih setelah berhasil bangkit, menyandarkan punggung pada dipan, di luar sadar diliriknya wajah Marlon yang mendengkur halus. Keduanya kini sepasang suami istri. Cincin berlian 150 karat melekat pas di jari manis Belle, begitupula dengan Marlon. Terlihat serasi dan berkilau hidup.
"Rose pasti marah padaku," kata Belle kepada diri sendiri, berpikir realistis jika temannya itu akan mengamuk saat tahu.
Tiba-tiba Belle merasakan panggilan alam, bagian bawah perutnya penuh, bergejolak keras. Belle melompat turun setelah melilit selimut di tubuhnya. Menatap kanan dan kiri, lalu mendekati sisi ranjang Marlon. Ketika Belle menarik-narik tangannya sontak Marlon terbangun, tentu kaget sekaligus panik mendengar teriakkan gadis itu.
"Paman, bangun, temani aku buang air kecil." Rengek Belle sambil mencak di tempat, dia tidak peduli jika akan pipis di sini.
Salahkan Marlon yang tidak langsung bergerak, jadi suami bukan siaga satu. Dia malah menatap Belle seperti orang tolol. "Apa aku menendangmu?"
"Aah, tidak, ayolah paman temani aku, ini sudah di ujung. Aku tidak tahan menunggu lebih lama." Dengan malas akhirnya Marlon bangkit, menarik Belle menuju kamar kecil yang terletak di sudut.
Sementara Belle masuk ke dalam, Marlon menunggu di depan pintu bergumam tak jelas, sesekali menguap. Dia baru saja terlelap 10 menit yang lalu, tetapi si kecil Belle mengusiknya. Kalau tidak mengingat itu adalah pilihannya, maka Marlon lebih baik bertahan di ranjang sambil tutup kuping dari kerisuhan.
Hmm, sifat kekanakan Belle masih menempel, meski sangat mengganggu Marlon tak ada alasan untuk menolak permintaan gadis itu, termasuk pergi menemaninya buang air kecil. Tetapi ... Marlon melongok penasaran, kenapa Belle lama sekali? Pikirannya mulai buruk sampai mikir jika gadis yang baru saja Marlon nikahi, mencoba bunuh diri.
"Bell, kau belum selesai?" tanya Marlon seraya berjalan masuk, spontan matanya melotot kala menangkap Belle tertidur di dalam bathtub.
"Astaga! Bell, bangun." Marlon datang mendekat, mengangkat setengah badan Belle keluar yang hampir tenggelam.
Pagi-pagi sekali Marlon sudah bangun membuat sarapan untuk Belle. Di sepanjang malam gadis itu mengigau menghadapi suhu tubuh yang panas. Untungnya Marlon telah mengambil cuti, jadi tak perlu repot menghubungi para klien atau siapa pun menyangkut pekerjaan. Kondisi fisik Belle sangat payah! Padahal, mereka hanya menembus hujan dari gedung ke parkiran, tetapi dia telah tumbang.Kening Belle mengernyit sesaat merasakan tangan Marlon menyentuh kulit pipinya, sejuk, membelai lembut sambil berbisik. "Bangun, Bell, kau harus mengisi perutmu."Batin Marlon meringis, tak tega saat memeriksa tubuh Belle masih terasa panas, bahkan jauh lebih buruk dari semalaman suntuk.Apa mungkin Belle kaget?Ah, tidak mungkin, seingat Marlon dirinya bermain lembut semalam, memuja tubuh Belle begitu dalam. Tetapi sepertinya gadis itu benar-benar kaget, apalagi jika Belle sangatlah polos, dan tidak berpengalaman.
"Paman, aku bosan di rumah terus." Belle merengek sambil memainkan rambut boneka barbie yang dibeli oleh Marlon.Kata Marlon boneka itu mirip dengan dirinya. Mulai dari wajah sampai lekuk tubuh. Kalau begitu kenapa dia tidak menikahi barbie saja? Kadangkala Marlon sangat dewasa, penyayang, sabar, tetapi tetap menyebalkan. Dipikirnya Belle merasa senang disamakan dengan boneka barbie. Bahkan rambutnya jauh lebih indah dari boneka jelek sialan.Sejak tadi Belle bosan di rumah.Apalagi setelah ditinggal Marlon sendirian, maka Belle akan frustrasi kalau lelaki itu terlambat pulang. Ini kelewat jenuh, Belle merindukan keadaan di luar, bertemu orang-orang, dan bersenda gurau. Hampir sebulan Belle tidak bertemu Rose, ayah, ibu, juga keempat adiknya. Di rumah Belle selalu melihat Marlon, tidak ada yang lain."Kau ingin kita berlibur bulan madu?" tanya Marlon dengan seringai nakal, buru-buru Belle menggeleng."Lebih baik uangnya ditabung, jangan boros kayak muka
Belle bersenandung di sepanjang jalan menuju gedung sekolahnya, berkat bantuan Rose, Marlon bersedia mengantarnya hari ini dengan syarat. Tanpa berpikir panjang Belle menyanggupi asal bisa kembali menuntut ilmu, daripada kejang di rumah sendirian. Lebih baik mengasa otak supaya menambah wawasan.Yang paling utama agar dapat menghindari Marlon kapan pun dia bertingkah menyebalkan, suka ndusel-ndusel di dalam selimut. Kalau kucing tadi tidak masalah, karena cukup menggemaskan, tetapi Marlon? Walaupun mereka sesama makhluk berbulu, tentu kucing jauh lebih lucu ketimbang Marlon."Bell, masih ingat syarat-syarat dari suamimu?" Marlon memeringati lagi, sebelum Belle melompat turun dari mobil."Tidak boleh dekat dengan teman lelaki kalau aku tidak mau hamil, atau kau akan membunuhnya, benar?""Tepat, aku berkata serius, bukan peringatan semata!" tekannya penuh kecaman, menatap Belle tajam.Tak mau ambil pusing Belle mengangguk, memahami segala bentuk konsekuen
Sejak pelayan memutuskan berhenti kerja, putra kedua Gloe jadi repot mengurus pekerjaan rumah, semua, tanpa terkecuali. Mencari pekerja baru bukan hal yang mudah, sama seperti mendapatkan pasangan. Susah! Marlon termasuk orang yang berat menaruh kepercayaan, maka dari itu dia lebih baik melakukan sendiri ketimbang apes.Cukup sudah harga diri Marlon roboh sebagai suami yang ketiban sial, bukan dilayani oleh istri tetapi malah sebaliknya. Ketika di luar penampilan Marlon bak ksatria baja hitam, gagah, perkasa. Begitu pulang ke rumah kegagahannya hilang, apalagi saat bolak balik memenuhi permintaan Belle, dia mirip kambing cunguk yang nyasar."Paman, bisa lebih cepat tidak, aku sudah telat." Belle mengentak-entak sendok pada piringnya, menunggu Marlon tidak kunjung beres menyajikan sarapan.Sesungguhnya, Marlon sangat kewalahan, mulai dari buka mata hingga tertutup kembali, lelaki itu tidak mendapat istirahat. Bahkan Marlon sudah bangun mendahului Belle. Padahal w
Sementara Belle masih tertidur pulas, Marlon siap dengan setelan kerjanya, hendak berangkat namun juga tak tega mengusik. Menaruh memo kecil di atas meja, Marlon memilih pamit lewat tulisan singkat daripada melihat Belle menangis karena sudah dibangunkan lebih awal. Sebelum pergi tidak lupa Marlon mengecup kening Belle seraya berbisik 'Aku mencintaimu' lalu keluar sesaat meraih berkas-berkas penting.Di bawah kesadaran Belle bergumam tidak jelas dengan punggung tangan mengelap ciuman Marlon, dia semakin bergelung menikmati mimpi yang indah bersama Pangeran. Tatkala langit mendadak hitam diiringi kemunculan nenek sihir dengan tawa menyeramkan. Bahkan suara itu sanggup meruntuhkan lautan langit biru hingga memisahkan Belle dari Pangeran tampan."Demi Tuhan! Istri macam apa dirimu yang masih tidur pada jam 10 siang." Hidung Belle mengkerut mendengar samar-samar suara bass milik Gloe, tapi dia berpikir mungkin itu nenek sihir."Belle, bangun, kau tidak bisa memperbudak
Entah apa yang membuat Gloe betah di rumah ini, Belle jadi merasa tidak nyaman bahkan hendak makan saja dipelototin sampai matanya keluar. Belle tak pernah mengadu pada Marlon jika makan siangnya dijatah, si ibu mertua memang kejam. Kini wanita tua itu tengah menyeruput kopi, Gloe terlihat asyik sendiri tanpa memedulikan Belle.Ting tong!Perhatian Belle langsung beralih ke arah pintu, Gloe yang biasa acuh terhadap suara bel, untuk pertama kali dirinya bersemangat menyambut tamu Marlon. Seorang gadis, eh? Belle mencibir saat dua manusia itu cipika cipiki, berlagak seperti calon menantu."Bibi, di mana Marlon?" Candice bertanya sambil mencondongkan wajah ke dalam. Memutar matanya seolah tak melihat Belle berdiri di belakang Gloe."Kau seperti tidak tahu Marlon saja, dia pekerja keras, baginya pekerjaan itu nomor satu." Menarik tangan Candice, dengan hangat Gloe menuntun calon mantu pilihannya menuju sofa. "Tapi, saat melihatmu aku yakin kau yang akan jadi prio
Hampir seharian Belle mogok makan. Seheboh apapun Marlon berjoget sama sekali tak membuka mulutnya walau secenti. Untung Marlon pemilik perusahaan, kalau tidak mungkin dia sudah dipecat karena bolak balik libur. Tanpa sinyal istrinya itu ngambek setelah menaruh susu di meja tadi pagi. Di saat Marlon bertanya apa ada masalah? Hingga kini Belle bungkam, bahkan tak berbicara sepatah kata."Ayolah, katakan sesuatu. Aku tidak tahu apa salahku jika kau berdiam terus," pinta Marlon terkesan memohon. Karena jauh lebih baik dia mendengar Belle menghinya, ketimbang harus diam.Hening.Tetap nihil, hanya suara detak jam yang terdengar saking sunyinya ruangan."Bell, oh astaga, apa kau kerasukan?" tanyanya sambil menarik rambut frustrasi, tidak pernah terbayang oleh Marlon punya istri sesulit ini.Tatapan Belle kosong, lurus ke depan, dengan mulut terkunci rapat, dan tanpa ekspresi. Sesuatu telah meracuni pikirannya, tak ada yang tahu termasuk Marlon. Perasaan gadi
Hari ini Ernest menginap di kediaman Belle bersama pamannya, maksud wanita itu suaminya yang merangkap jadi paman. Guna membantu Belle memenuhi kebutuhan Marlon termasuk makan, minum, juga alat cukur. Bagaimanapun ini semua adalah kesalahannya, Ernest terlalu membatasi Belle agar tak melakukan pekerjaan rumah. Dulu.Nah! Sekarang, Ernest jadi menyesal, sebab kesalahan beliau si sulung Belle jadi kaku mengurus Marlon. Apalagi kini Belle sudah berbadan dua. Bebannya bertambah hingga sulit bergerak, untung Marlon suami yang penyabar.Seperti ini ..."Bell, apa kau melihat dasi kerjaku? Seingatku kemarin aku taruh di meja." Tiba-tiba Marlon menanyakan dasinya, datang menjeda kegiatan Belle di dapur."Tidak.""Bisa kau membantuku mencari?" Lelaki seumuran suami Ernest itu mulai memohon, sementara Belle hanya mendengus."Bell ...""Tidak, Paman, cari saja sendiri, aku sedang sibuk! Lagipula kau ini pelupa sekali. Kupikir kepalamu juga akan hilang