Marlon rasa cukup untuk perkenalan hari ini. Dia tak menampik jika ibunya dengan Belle tidak pernah menyambung saat bicara. Kedua makhluk halus itu seperti air dan minyak. Sekarang bukan saatnya mendekatkan mereka, ada yang lebih penting dari suka atau tidak sang ibu Gloe kepada Belle, yakni mengubah sedikit sikap kekanakan menjadi lebih dewasa. Jika boleh jujur Marlon menyukai sifat polos Belle, tetapi tidak dengan cengeng.
Di sepanjang perjalanan Belle cemberut, mengingat reaksi tak menyenangkan Gloe saat menyebut apa profesi ayahnya, seperti terlihat merendahkan. Ini bahkan baru di awal, dia sudah dibikin sakit hati. Gloe memang sombong.
Berdeham sekali, Marlon mengambil perhatian Belle, dan berkata lirih. "Maafkan ibuku, aku pikir kau sudah mengetahui dirinya, jadi kuharap kau mengerti."
"Iya, aku mendengar kabar tentang sifat ibumu, tapi tetap saja membuatku kesal."
"Kau harus terbiasa oleh celotehan ibuku meskipun kedengaran pedas. Aku menjamin jika sikapnya akan berubah setelah kau memberi cucu laki-laki."
Sontak Belle menoleh, dan bergidik saat menangkap keseriusan di wajah Marlon. Cucu? Bahkan Belle sama sekali belum berpikiran untuk mempunyai anak, mengurus, memberi asi, mendengar tangisan bayi, yang benar saja.
"Paman, aku masih sangat muda, tidakkah kau lihat dadaku yang rata ini. Kupikir kau bisa mencari gadis yang lebih dewasa." Belle berujar polos, matanya tertuju pada bongkahan kecil di balik kaus.
Mati-matian Marlon menahan tawa, apalagi melihat reaksi Belle yang menunjukkan kesedihan. Di dalam hati gadis itu bergumam, kenapa punya Rose bisa lebih unggul? Padahal mereka seusia, memiliki bentuk tubuh juga tinggi seimbang, tapi ada bagian yang berbeda.
"Kau tenang saja, tidak perlu risau, aku siap membentuk dadamu supaya terlihat jauh lebih baik seperti ..."
"Benarkah?!" tanya Belle dengan bola mata berbinar, memotong ucapan Marlon.
Sebelah alis tebal Marlon menukik, mengamati mimik antusias Belle dan menjawab. "Ya, aku serius, tapi kita harus melangsungkan pernikahan terlebih dulu."
"Kenapa begitu?"
"Belle sayang, cintaku, belahan jiwaku, kalau kita tidak menikah nanti aku disangka melakukan pelecehan sex terhadap anak di bawah umur."
"Aku tidak mengerti."
Ckitttt! Spontan Marlon menginjak rem, diambilnya parkir sebelum menoleh untuk melihat lebih wajah innocent Belle. Gadis ini benar-benar luar biasa polos. Marlon jadi semakin menginginkan Isabeau Chambell. Mulai dari sekarang dia akan memberitahu banyak hal yang belum dia ketahui. Tentu setelah menikah.
Kalau tidak segera Marlon tak menjamin dirinya bisa bertahan, atau dia akan kehilangan akal hingga menyerang gadis sepolos Belle di luar pernikahan.
"Intinya kita harus menikah." Tandas Marlon sambil mencengkram stir mobil.
"Tapi aku belum ingin menikah, aku masih ingin melanjutkan kuliahku," jawabnya menggigit bibir, merasa bingung sendiri.
Tidak menjawab lagi, Marlon melanjutkan perjalanan yang tertunda menuju rumah Belle. Berkat keberadaan Rose niat dan tujuan Marlon terasa lebih mudah.
Sepulang mereka dari rumahnya dua hari lalu Marlon menyerbu Rose dengan sejuta pertanyaan, termasuk di mana Belle tinggal? Jadi, kini Marlon tidak perlu bertanya lagi kepada Belle, dia sudah tahu gubuk gadis itu. Tepat di belakang gedung tua. Karena pada hari yang sama Marlon telah berhasil melacaknya, dan bertemu orang tua Belle. Walau hanya sebentar, datang menyamar sebagai berandalan sekitar untuk meminta segelas air.
Dalam keadaan sadar Marlon mengakui bahwa tampangnya ini sangar, lebih pantas disebut berandal kelas kakap daripada CEO. Bahkan Marlon yakin jika kedua orang tua Belle terkejut melihat dirinya kembali berpenampilan jauh lebih menarik. Tidak seperti penjahat. Namun, bak lelaki dewasa sukses yang tampan.
"Dari mana kau tahu alamat rumahku?" tuding Belle saat mobil berhenti, menatap Marlon tidak senang.
"Aku banyak tahu tentang dirimu, Bell. Jangan kau pikir mentang-mentang aku dedekot tua otakku jadi lamban teknologi."
"Huh, akhirnya kau sadar diri juga kalau sudah tua." Belle terkekeh pelan sukses membuat wajah Marlon berubah pias, di detik berikutnya gadis itu terdiam.
Tatapan Marlon menusuk tajam. Belle bukan gadis yang pemberani apalagi menantang lelaki dewasa, itu sangat berbahaya. Sebelum Marlon bereaksi mengeluarkan taringnya, buru-buru Belle melompat keluar, lantas berlari ke rumah.
Di belakangnya Marlon menyusul dengan cepat. Belle semakin ketakutan dan mencari perlindungan dari wanita setengah baya yang baru saja keluar.
"Ibu ..." Belle merengek sambil mengatur posisi di balik punggung sang ibu.
"Tuan, maafkan kesalahan anakku jika dia berbuat salah padamu, kumohon." Wanita berpakaian lusuh itu menyatukan tangan.
Ernest memang tak luput dari gencatan orang kaya. Mereka selalu memandang sebelah mata. Dia cukup sering direndahkan atau bahkan dipermalukan. Mengetahui si sulung Belle bermasalah pada anggota keluarga Exietera, rasanya Ernest ingin mati saja. Ibu dari keempat anak yang hidup serba kekurangan. Kalau dipikir-pikir malang sekali kehidupan Belle, ditambah dengan kondisi ayah di dalam gubuk. Hampir seminggu tidak bekerja karena jatuh sakit, lengkap derita.
"Ah, iya, Belle anakmu sangat cantik, tapi sayang dia telah membuat satu kesalahan fatal." Spontan Belle terkejut, tidak menyangka jika Marlon akan mengarang.
"A-pa maksudmu?" tanya Belle terbata.
"Sebaiknya kita berbicara di dalam saja!" Usul Marlon berasa gubuk sendiri. Melewati kedua perempuan yang membatu, sambil lalu tangannya meremas bokong Belle.
Kedua mata Belle membola sempurna diikuti dengan mulutnya yang menganga lebar. Belum sempat mengadu, ibu lebih dulu menariknya masuk ke dalam.
Dasar, Tarzan tua yang mesum! Gerutu Belle sambil menepuk-nepuk bokongnya, berusaha membuang noda dari tangan nakal Marlon.
"Silakan duduk ibu calon mertua, maaf berantakan," kata Marlon berlagak si tuan rumah, membuat Belle bertambah muak.
Dia pikir lucu, hah?
Sesaat Marlon duduk di atas tikar buluk, tanpa tahu diri ditariknya Belle hingga terduduk kasar. Bukan marah atau tidak terima, ibunya Belle bahkan terkikik geli. Di sini Belle merasa frustrasi, apalagi melihat sang ayah, datang tergopoh dengan celana basah luar dalam.
Kening Marlon berlipat, melirik Belle yang sudah semerah kepiting rebus. Seminggu terakhir ayah Belle memang jatuh sakit, jadi kerap kali buang air dalam celana karena tak sempat bangun. Ernest langsung bergegas menarik Damon ke kamar mandi. Tidak lama pasangan itu kembali, mengambil posisi duduk tepat di hadapan Marlon dan Belle."Jadi, apa maksud Tuan datang ke gubuk reot kami? Sebelumnya kau juga sudah mampir minta segelas air kemarin sore, itu kau kan, benar?" tuding Damon sesekali meringis, menerima sengatan panas.
Ernest mendekati kuping Damon, ingin memberi informasi, dan berbisik rendah. "Suamiku, dia bukan sembarang orang kaya, tetapi beliau masih keturunan Exietera."
"Anak kita sedang dalam bahaya," lanjut Ernest, di mana Damon sudah tak menyimak lagi.
Di pikiran Damon hanya satu, kebetulan sekali.
"Wah, kebetulan sekali aku sangat membutuhkan bantuan, berapa nominal yang ingin disumbangkan?" Damon bertanya antusias, meski semua orang tampak berbayang tiga, dia dapat melihat jelas betapa tebalnya saku Marlon.
"Ayah ..." pekik Belle tertahan, namun Marlon menyela dengan cepat.
"Begini saja, aku akan memberi uang berapa pun yang kau minta, tapi dengan satu syarat. Malam ini juga aku ingin menikahi putri kalian, aku sangat menyukainya, hati dan jantungku seakan-akan berbunga setiap kali aku memandang wajah Belle."
Katakan tidak, katakan tidak, katakan tidak.
Seperkian detik Damon dan Ernest berpandangan, di luar dugaan keduanya mengangguk bersamaan.
Astaga!
"Terima kasih banyak ayah dan ibu calon mertua, aku sangat bahagia, tolong usap kepala kami berdua, restuin hubungan ini." Marlon menyikut Belle agar menunduk, bodohnya gadis itu malah menurut, merasakan usapan di puncak kepala dua kali.
Mirip seperti adegan di film india yang sedang booming di tv sekarang, apa Marlon penggemar Bollywood?
Tidak main-main dengan perkataannya, malam itu juga Marlon menikahi Belle. Mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu, hanya disaksikan oleh beberapa orang. Setelah saksi mengatakan sah Marlon menyerahkan tangannya agar dicium Belle, dan berakhir mengecup mesra kening gadis itu cukup lama.Selesai. Kini, sepasang anak manusia yang terpaut usia 17 tahun, resmi telah menikah pada malam kamis berhujan. Ketika Marlon tersenyum lebar sarat akan bahagia, Belle malah terisak misuh.Sungguh! Belle tak pernah menyangka bisa menikah secepat ini? Apalagi nikah dengan Marlon, lelaki tua berbulu domba. Rambut mirip sangkar, berbadan tinggi besar pula."Kau membayangkanku lagi?" tembak Marlon saat menangkap Belle bergidik, dia tahu apa yang sedang gadis kecil ini pikirkan. "Bahkan, kau melihatku masih dengan pakaian lengkap. Bagaimana jika aku telanjang bulat?"Sinting! Seketika wajah Belle merah padam, antara pera
Pagi-pagi sekali Marlon sudah bangun membuat sarapan untuk Belle. Di sepanjang malam gadis itu mengigau menghadapi suhu tubuh yang panas. Untungnya Marlon telah mengambil cuti, jadi tak perlu repot menghubungi para klien atau siapa pun menyangkut pekerjaan. Kondisi fisik Belle sangat payah! Padahal, mereka hanya menembus hujan dari gedung ke parkiran, tetapi dia telah tumbang.Kening Belle mengernyit sesaat merasakan tangan Marlon menyentuh kulit pipinya, sejuk, membelai lembut sambil berbisik. "Bangun, Bell, kau harus mengisi perutmu."Batin Marlon meringis, tak tega saat memeriksa tubuh Belle masih terasa panas, bahkan jauh lebih buruk dari semalaman suntuk.Apa mungkin Belle kaget?Ah, tidak mungkin, seingat Marlon dirinya bermain lembut semalam, memuja tubuh Belle begitu dalam. Tetapi sepertinya gadis itu benar-benar kaget, apalagi jika Belle sangatlah polos, dan tidak berpengalaman.
"Paman, aku bosan di rumah terus." Belle merengek sambil memainkan rambut boneka barbie yang dibeli oleh Marlon.Kata Marlon boneka itu mirip dengan dirinya. Mulai dari wajah sampai lekuk tubuh. Kalau begitu kenapa dia tidak menikahi barbie saja? Kadangkala Marlon sangat dewasa, penyayang, sabar, tetapi tetap menyebalkan. Dipikirnya Belle merasa senang disamakan dengan boneka barbie. Bahkan rambutnya jauh lebih indah dari boneka jelek sialan.Sejak tadi Belle bosan di rumah.Apalagi setelah ditinggal Marlon sendirian, maka Belle akan frustrasi kalau lelaki itu terlambat pulang. Ini kelewat jenuh, Belle merindukan keadaan di luar, bertemu orang-orang, dan bersenda gurau. Hampir sebulan Belle tidak bertemu Rose, ayah, ibu, juga keempat adiknya. Di rumah Belle selalu melihat Marlon, tidak ada yang lain."Kau ingin kita berlibur bulan madu?" tanya Marlon dengan seringai nakal, buru-buru Belle menggeleng."Lebih baik uangnya ditabung, jangan boros kayak muka
Belle bersenandung di sepanjang jalan menuju gedung sekolahnya, berkat bantuan Rose, Marlon bersedia mengantarnya hari ini dengan syarat. Tanpa berpikir panjang Belle menyanggupi asal bisa kembali menuntut ilmu, daripada kejang di rumah sendirian. Lebih baik mengasa otak supaya menambah wawasan.Yang paling utama agar dapat menghindari Marlon kapan pun dia bertingkah menyebalkan, suka ndusel-ndusel di dalam selimut. Kalau kucing tadi tidak masalah, karena cukup menggemaskan, tetapi Marlon? Walaupun mereka sesama makhluk berbulu, tentu kucing jauh lebih lucu ketimbang Marlon."Bell, masih ingat syarat-syarat dari suamimu?" Marlon memeringati lagi, sebelum Belle melompat turun dari mobil."Tidak boleh dekat dengan teman lelaki kalau aku tidak mau hamil, atau kau akan membunuhnya, benar?""Tepat, aku berkata serius, bukan peringatan semata!" tekannya penuh kecaman, menatap Belle tajam.Tak mau ambil pusing Belle mengangguk, memahami segala bentuk konsekuen
Sejak pelayan memutuskan berhenti kerja, putra kedua Gloe jadi repot mengurus pekerjaan rumah, semua, tanpa terkecuali. Mencari pekerja baru bukan hal yang mudah, sama seperti mendapatkan pasangan. Susah! Marlon termasuk orang yang berat menaruh kepercayaan, maka dari itu dia lebih baik melakukan sendiri ketimbang apes.Cukup sudah harga diri Marlon roboh sebagai suami yang ketiban sial, bukan dilayani oleh istri tetapi malah sebaliknya. Ketika di luar penampilan Marlon bak ksatria baja hitam, gagah, perkasa. Begitu pulang ke rumah kegagahannya hilang, apalagi saat bolak balik memenuhi permintaan Belle, dia mirip kambing cunguk yang nyasar."Paman, bisa lebih cepat tidak, aku sudah telat." Belle mengentak-entak sendok pada piringnya, menunggu Marlon tidak kunjung beres menyajikan sarapan.Sesungguhnya, Marlon sangat kewalahan, mulai dari buka mata hingga tertutup kembali, lelaki itu tidak mendapat istirahat. Bahkan Marlon sudah bangun mendahului Belle. Padahal w
Sementara Belle masih tertidur pulas, Marlon siap dengan setelan kerjanya, hendak berangkat namun juga tak tega mengusik. Menaruh memo kecil di atas meja, Marlon memilih pamit lewat tulisan singkat daripada melihat Belle menangis karena sudah dibangunkan lebih awal. Sebelum pergi tidak lupa Marlon mengecup kening Belle seraya berbisik 'Aku mencintaimu' lalu keluar sesaat meraih berkas-berkas penting.Di bawah kesadaran Belle bergumam tidak jelas dengan punggung tangan mengelap ciuman Marlon, dia semakin bergelung menikmati mimpi yang indah bersama Pangeran. Tatkala langit mendadak hitam diiringi kemunculan nenek sihir dengan tawa menyeramkan. Bahkan suara itu sanggup meruntuhkan lautan langit biru hingga memisahkan Belle dari Pangeran tampan."Demi Tuhan! Istri macam apa dirimu yang masih tidur pada jam 10 siang." Hidung Belle mengkerut mendengar samar-samar suara bass milik Gloe, tapi dia berpikir mungkin itu nenek sihir."Belle, bangun, kau tidak bisa memperbudak
Entah apa yang membuat Gloe betah di rumah ini, Belle jadi merasa tidak nyaman bahkan hendak makan saja dipelototin sampai matanya keluar. Belle tak pernah mengadu pada Marlon jika makan siangnya dijatah, si ibu mertua memang kejam. Kini wanita tua itu tengah menyeruput kopi, Gloe terlihat asyik sendiri tanpa memedulikan Belle.Ting tong!Perhatian Belle langsung beralih ke arah pintu, Gloe yang biasa acuh terhadap suara bel, untuk pertama kali dirinya bersemangat menyambut tamu Marlon. Seorang gadis, eh? Belle mencibir saat dua manusia itu cipika cipiki, berlagak seperti calon menantu."Bibi, di mana Marlon?" Candice bertanya sambil mencondongkan wajah ke dalam. Memutar matanya seolah tak melihat Belle berdiri di belakang Gloe."Kau seperti tidak tahu Marlon saja, dia pekerja keras, baginya pekerjaan itu nomor satu." Menarik tangan Candice, dengan hangat Gloe menuntun calon mantu pilihannya menuju sofa. "Tapi, saat melihatmu aku yakin kau yang akan jadi prio
Hampir seharian Belle mogok makan. Seheboh apapun Marlon berjoget sama sekali tak membuka mulutnya walau secenti. Untung Marlon pemilik perusahaan, kalau tidak mungkin dia sudah dipecat karena bolak balik libur. Tanpa sinyal istrinya itu ngambek setelah menaruh susu di meja tadi pagi. Di saat Marlon bertanya apa ada masalah? Hingga kini Belle bungkam, bahkan tak berbicara sepatah kata."Ayolah, katakan sesuatu. Aku tidak tahu apa salahku jika kau berdiam terus," pinta Marlon terkesan memohon. Karena jauh lebih baik dia mendengar Belle menghinya, ketimbang harus diam.Hening.Tetap nihil, hanya suara detak jam yang terdengar saking sunyinya ruangan."Bell, oh astaga, apa kau kerasukan?" tanyanya sambil menarik rambut frustrasi, tidak pernah terbayang oleh Marlon punya istri sesulit ini.Tatapan Belle kosong, lurus ke depan, dengan mulut terkunci rapat, dan tanpa ekspresi. Sesuatu telah meracuni pikirannya, tak ada yang tahu termasuk Marlon. Perasaan gadi