Share

Bab 8 - Pembelaan Marlon

Sejak pelayan memutuskan berhenti kerja, putra kedua Gloe jadi repot mengurus pekerjaan rumah, semua, tanpa terkecuali. Mencari pekerja baru bukan hal yang mudah, sama seperti mendapatkan pasangan. Susah! Marlon termasuk orang yang berat menaruh kepercayaan, maka dari itu dia lebih baik melakukan sendiri ketimbang apes.

Cukup sudah harga diri Marlon roboh sebagai suami yang ketiban sial, bukan dilayani oleh istri tetapi malah sebaliknya. Ketika di luar penampilan Marlon bak ksatria baja hitam, gagah, perkasa. Begitu pulang ke rumah kegagahannya hilang, apalagi saat bolak balik memenuhi permintaan Belle, dia mirip kambing cunguk yang nyasar.

"Paman, bisa lebih cepat tidak, aku sudah telat." Belle mengentak-entak sendok pada piringnya, menunggu Marlon tidak kunjung beres menyajikan sarapan.

Sesungguhnya, Marlon sangat kewalahan, mulai dari buka mata hingga tertutup kembali, lelaki itu tidak mendapat istirahat. Bahkan Marlon sudah bangun mendahului Belle. Padahal waktu tidurnya lebih pendek dari sang istri akibat melanjutkan tugas-tugas kantor pagi lalu. Terbengkalai karena Belle. Akibat mengurus kuliahnya kembali berikut satpam tolol kurang wawasan. Hih! Marlon menggeleng saat membayangkan calon ibu anak-anaknya bodoh jika tidak tamat kuliah.

"Paman ..." rengeknya kala melihat Marlon melamun, greget, sebab keluhan Belle dianggap angin lalu.

"Sebentar, Sayang, ini akan matang, kau bisa minum susumu terlebih dulu."

"Tapi aku sudah telat!" Di luar perkiraan Belle beranjak pergi selepas menyentak, mengabaikan panggilan Marlon.

Astaga! Kenapa jadi seperti ini? Mematikan kompor di depannya, Marlon berlari mengejar Belle. Dia tak mungkin membiarkan istrinya berangkat sendiri. Apalagi dalam keadaan perut kosong. Belle sempat keras kepala tidak ingin mengikuti Marlon, tentu sebelum lelaki itu balas membentak sampai urat lehernya terlihat jelas.

"Kenapa kau sangat sulit diatur, hah?!" Spontan Belle membeku, matanya mengerjap ketakutan.

Seiring air mata Belle mengalir turun, Marlon tersentak sadar bahwa dirinya telah kelepasan. "Bell, maafkan aku, sungguh, aku sama sekali tak memarahimu."

Tak ada sahutan, hanya isak tangis yang berbicara.

"Kau tahu, aku sangat lelah melakukan semua ini, tapi cintaku padamu begitu besar sehingga aku rela menyelesaikan yang bukan tugasku daripada harus membebanimu," lanjut Marlon sambil menangkup kedua pipi Belle, menatap dalam sarat ketulusan.

"A-ku sudah telat." Dengan terbata Belle berucap, dia masih saja mementingkan kuliah ketimbang ucapan Marlon.

Padahal, Marlon hanya ingin Belle mengetahui seluruh pengorbanan di balik cinta yang tulus, lalu memahaminya dengan pasti dan hati terbuka. "Kau tidak akan pergi kuliah, Bell, aku sendiri yang mengajarimu."

Tanpa menunggu jawaban gadis itu, Marlon menarik tangannya masuk ke dalam menuju meja makan. Belle hanya diam mengamati ketika Marlon menyiapkan sarapan untuk mereka, tidak lupa mengganti susu yang telanjur dingin, dan ikut bergabung setelah beres. Duduk di hadapan Belle.

"Ayo, sarapan! Kau harus mengisi perutmu sebelum belajar. Agar ingatanmu bekerja dengan baik."

"Eum, Paman tidak pergi ke kantor?"

"Aku ingin menemanimu seharian ini, aku baru sadar jika terlalu sibuk."

Mengangguk sekali Belle memasukkan potongan pertama ke mulutnya, di depan Marlon tetap diam memerhatikan. "Ini enak sekali Paman, aku juga mau diajarkan memasak."

"Hanya roti panggang biasa," jelas Marlon sambil menyeka sudut bibir Belle yang tampak belepotan.

"Ibuku tidak memberikan izin membantunya masak, dia bilang aku harus giat belajar agar sukses." Belle meneguk susu buatan Marlon, mencecapnya sebentar, dan tersenyum.

"Kau sudah kenyang?" tanya Marlon sesaat Belle menghabiskan satu porsi, gadis itu mengangguk. "Baiklah, sekarang kita belajar, mulai detik ini aku suami sekaligus gurumu."

"Tidak, bukan, kau itu paman Marlonku."

"Iya, terserah padamu menganggapku apa."

Keduanya pun pindah ke salah satu ruangan paling nyaman, membuka buku panduan berisi rumus. Sementara Belle serius mengerjakan soal-soal yang Marlon berikan, bel rumah mereka berbunyi. Meliriknya sekilas, Marlon beranjak keluar saat Belle tampak tidak peduli. Dia sangat fokus bahkan tak menyadari sang suami pergi menyambut tamu.

Yang kebetulan Gloe, ibu dari Marlon. Melebarkan kipas cantiknya bak ratu anti terik matahari. Mata tajamnya mengeksplor ruang utama mencari-cari, menghiraukan beberapa kata sambutan dengan menyerukan nama Belle. Suara Gloe seperti lelaki, ngebass, jadi wajar saja sampai menggema bak berada di goa.

"Belle!" panggilnya lantang, terlihat sangat marah.

"Ibuu," sela Marlon tak memberi celah Gloe masuk mengusik ketekunan Belle.

"Marlon, biarkan aku jalan menemuinya, kau pikir aku tidak tahu jika dirimu lelah, dibodohi-bodohi oleh Belle mengurus pekerjaan ..."

"Itu kemauanku, Bu, aku mohon jangan ikut campur dalam rumah tanggaku." Marlon memotong cepat, menghalangi jalan Gloe yang hendak berlalu.

Menatap Marlon dengan nyalang, Gloe berusaha mengatur napasnya lebih dulu sebelum berkata. "Ingat, Marlon! Kau satu-satunya kebanggaanku, aku tidak mau kau seperti Miller yang mendekam dipenjara karena kelicikan mantan istrinya. Aku tahu siapa sosok asli Belle."

"Bu, tolong, jangan membuat keributan."

"Kau diperbudak olehnya. Sebagai seorang ibu aku tidak terima, sungguh, ini rasanya kepalaku mau pecah setelah mendapat kabar putraku diperalat oleh gadis miskin." Gloe menjerit, sengaja menekan kalimat terakhir.

"Tapi aku mencintainya, aku mengasihi istriku meskipun Belle tak pernah menganggapku." Berdecih jijik, dengan lambat Gloe menutup kipasnya, tidak peduli oleh cinta Marlon.

"Bahkan, cintamu tidak menghasilkan hingga detik ini. Dia juga belum hamil. Kupikir dirinya bukan gadis yang subur." Astaga! Marlon menganga tak menyangka atas perkataan sang ibu, bahkan mereka baru sebulan menikah, tetapi dia sudah seenaknya menyimpulkan tanpa hati.

"Cukup, Bu! Kau bisa pergi, tinggalkan rumahku." Tak bisa menahan lagi, Marlon mengarahkan telunjuknya pada pintu keluar.

"Ya, baik, kau mengusir ibumu sendiri, kupastikan hidupmu tak akan pernah bahagia selama Belle kau pertahankan." Final! Gloe berlalu pergi setelah mengancam. Meskipun rasanya sakit diperlakukan demikian, dia juga tidak memiliki hak mengatur.

Putra keduanya itu sudah dewasa, Gloe tak dapat membatasi keinginan Marlon, kecuali kalau dia masih anak-anak. Mungkin terasa lebih mudah.

Sepeninggal Gloe, tidak ingin ambil pusing Marlon langsung beranjak menuju ruang di mana Belle. Saat membuka pintu Marlon tertegun mendapati Belle sudah berdiri di depannya sambil terisak. Tanpa bertanya apapun, bahkan belum sempat menebak Belle lebih dulu menyela dengan putus-putus.

"A-ku tidak mendengar seluruh hinaan ibumu," katanya sepolos mungkin, niat berbohong, tetapi malah membongkar.

"Jadi, kenapa kau menangis?" tanya Marlon menyelidik, meski sudah tahu dia ingin mendengar alasan tak masuk akal.

"Soal-soal yang kau berikan sangat sulit, aku tidak bisa mengerjakannya, maka dari itu aku menangis." Alibi Belle seraya putar arah, menghindari tatapan Marlon yang menusuk.

Marlon mengikuti Belle. Sementara gadis itu membenahi alat tulis, dia hanya mengamati tanpa berkomentar. Marlon tidak bisa memperkirakan apa yang Belle pikirkan? Tapi, dia menduga ucapan Gloe telah melukainya. Hingga membuat keceriaan Belle redup seperti mendung di siang hari.

Kenapa paman Marlon seakan berpihak padaku? Belle mencuri pandang ke arah Marlon. Tatkala perasaannya membuncah saat berspekulasi jika dia telah jatuh cinta pada Tarzan hutan yang nyasar ke kota.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status