Sejak pelayan memutuskan berhenti kerja, putra kedua Gloe jadi repot mengurus pekerjaan rumah, semua, tanpa terkecuali. Mencari pekerja baru bukan hal yang mudah, sama seperti mendapatkan pasangan. Susah! Marlon termasuk orang yang berat menaruh kepercayaan, maka dari itu dia lebih baik melakukan sendiri ketimbang apes.
Cukup sudah harga diri Marlon roboh sebagai suami yang ketiban sial, bukan dilayani oleh istri tetapi malah sebaliknya. Ketika di luar penampilan Marlon bak ksatria baja hitam, gagah, perkasa. Begitu pulang ke rumah kegagahannya hilang, apalagi saat bolak balik memenuhi permintaan Belle, dia mirip kambing cunguk yang nyasar.
"Paman, bisa lebih cepat tidak, aku sudah telat." Belle mengentak-entak sendok pada piringnya, menunggu Marlon tidak kunjung beres menyajikan sarapan.
Sesungguhnya, Marlon sangat kewalahan, mulai dari buka mata hingga tertutup kembali, lelaki itu tidak mendapat istirahat. Bahkan Marlon sudah bangun mendahului Belle. Padahal waktu tidurnya lebih pendek dari sang istri akibat melanjutkan tugas-tugas kantor pagi lalu. Terbengkalai karena Belle. Akibat mengurus kuliahnya kembali berikut satpam tolol kurang wawasan. Hih! Marlon menggeleng saat membayangkan calon ibu anak-anaknya bodoh jika tidak tamat kuliah.
"Paman ..." rengeknya kala melihat Marlon melamun, greget, sebab keluhan Belle dianggap angin lalu.
"Sebentar, Sayang, ini akan matang, kau bisa minum susumu terlebih dulu."
"Tapi aku sudah telat!" Di luar perkiraan Belle beranjak pergi selepas menyentak, mengabaikan panggilan Marlon.
Astaga! Kenapa jadi seperti ini? Mematikan kompor di depannya, Marlon berlari mengejar Belle. Dia tak mungkin membiarkan istrinya berangkat sendiri. Apalagi dalam keadaan perut kosong. Belle sempat keras kepala tidak ingin mengikuti Marlon, tentu sebelum lelaki itu balas membentak sampai urat lehernya terlihat jelas.
"Kenapa kau sangat sulit diatur, hah?!" Spontan Belle membeku, matanya mengerjap ketakutan.
Seiring air mata Belle mengalir turun, Marlon tersentak sadar bahwa dirinya telah kelepasan. "Bell, maafkan aku, sungguh, aku sama sekali tak memarahimu."
Tak ada sahutan, hanya isak tangis yang berbicara.
"Kau tahu, aku sangat lelah melakukan semua ini, tapi cintaku padamu begitu besar sehingga aku rela menyelesaikan yang bukan tugasku daripada harus membebanimu," lanjut Marlon sambil menangkup kedua pipi Belle, menatap dalam sarat ketulusan.
"A-ku sudah telat." Dengan terbata Belle berucap, dia masih saja mementingkan kuliah ketimbang ucapan Marlon.
Padahal, Marlon hanya ingin Belle mengetahui seluruh pengorbanan di balik cinta yang tulus, lalu memahaminya dengan pasti dan hati terbuka. "Kau tidak akan pergi kuliah, Bell, aku sendiri yang mengajarimu."
Tanpa menunggu jawaban gadis itu, Marlon menarik tangannya masuk ke dalam menuju meja makan. Belle hanya diam mengamati ketika Marlon menyiapkan sarapan untuk mereka, tidak lupa mengganti susu yang telanjur dingin, dan ikut bergabung setelah beres. Duduk di hadapan Belle.
"Ayo, sarapan! Kau harus mengisi perutmu sebelum belajar. Agar ingatanmu bekerja dengan baik."
"Eum, Paman tidak pergi ke kantor?"
"Aku ingin menemanimu seharian ini, aku baru sadar jika terlalu sibuk."
Mengangguk sekali Belle memasukkan potongan pertama ke mulutnya, di depan Marlon tetap diam memerhatikan. "Ini enak sekali Paman, aku juga mau diajarkan memasak."
"Hanya roti panggang biasa," jelas Marlon sambil menyeka sudut bibir Belle yang tampak belepotan.
"Ibuku tidak memberikan izin membantunya masak, dia bilang aku harus giat belajar agar sukses." Belle meneguk susu buatan Marlon, mencecapnya sebentar, dan tersenyum.
"Kau sudah kenyang?" tanya Marlon sesaat Belle menghabiskan satu porsi, gadis itu mengangguk. "Baiklah, sekarang kita belajar, mulai detik ini aku suami sekaligus gurumu."
"Tidak, bukan, kau itu paman Marlonku.""Iya, terserah padamu menganggapku apa."
Keduanya pun pindah ke salah satu ruangan paling nyaman, membuka buku panduan berisi rumus. Sementara Belle serius mengerjakan soal-soal yang Marlon berikan, bel rumah mereka berbunyi. Meliriknya sekilas, Marlon beranjak keluar saat Belle tampak tidak peduli. Dia sangat fokus bahkan tak menyadari sang suami pergi menyambut tamu.
Yang kebetulan Gloe, ibu dari Marlon. Melebarkan kipas cantiknya bak ratu anti terik matahari. Mata tajamnya mengeksplor ruang utama mencari-cari, menghiraukan beberapa kata sambutan dengan menyerukan nama Belle. Suara Gloe seperti lelaki, ngebass, jadi wajar saja sampai menggema bak berada di goa.
"Belle!" panggilnya lantang, terlihat sangat marah.
"Ibuu," sela Marlon tak memberi celah Gloe masuk mengusik ketekunan Belle.
"Marlon, biarkan aku jalan menemuinya, kau pikir aku tidak tahu jika dirimu lelah, dibodohi-bodohi oleh Belle mengurus pekerjaan ..."
"Itu kemauanku, Bu, aku mohon jangan ikut campur dalam rumah tanggaku." Marlon memotong cepat, menghalangi jalan Gloe yang hendak berlalu.
Menatap Marlon dengan nyalang, Gloe berusaha mengatur napasnya lebih dulu sebelum berkata. "Ingat, Marlon! Kau satu-satunya kebanggaanku, aku tidak mau kau seperti Miller yang mendekam dipenjara karena kelicikan mantan istrinya. Aku tahu siapa sosok asli Belle."
"Bu, tolong, jangan membuat keributan."
"Kau diperbudak olehnya. Sebagai seorang ibu aku tidak terima, sungguh, ini rasanya kepalaku mau pecah setelah mendapat kabar putraku diperalat oleh gadis miskin." Gloe menjerit, sengaja menekan kalimat terakhir.
"Tapi aku mencintainya, aku mengasihi istriku meskipun Belle tak pernah menganggapku." Berdecih jijik, dengan lambat Gloe menutup kipasnya, tidak peduli oleh cinta Marlon.
"Bahkan, cintamu tidak menghasilkan hingga detik ini. Dia juga belum hamil. Kupikir dirinya bukan gadis yang subur." Astaga! Marlon menganga tak menyangka atas perkataan sang ibu, bahkan mereka baru sebulan menikah, tetapi dia sudah seenaknya menyimpulkan tanpa hati.
"Cukup, Bu! Kau bisa pergi, tinggalkan rumahku." Tak bisa menahan lagi, Marlon mengarahkan telunjuknya pada pintu keluar.
"Ya, baik, kau mengusir ibumu sendiri, kupastikan hidupmu tak akan pernah bahagia selama Belle kau pertahankan." Final! Gloe berlalu pergi setelah mengancam. Meskipun rasanya sakit diperlakukan demikian, dia juga tidak memiliki hak mengatur.
Putra keduanya itu sudah dewasa, Gloe tak dapat membatasi keinginan Marlon, kecuali kalau dia masih anak-anak. Mungkin terasa lebih mudah.
Sepeninggal Gloe, tidak ingin ambil pusing Marlon langsung beranjak menuju ruang di mana Belle. Saat membuka pintu Marlon tertegun mendapati Belle sudah berdiri di depannya sambil terisak. Tanpa bertanya apapun, bahkan belum sempat menebak Belle lebih dulu menyela dengan putus-putus.
"A-ku tidak mendengar seluruh hinaan ibumu," katanya sepolos mungkin, niat berbohong, tetapi malah membongkar.
"Jadi, kenapa kau menangis?" tanya Marlon menyelidik, meski sudah tahu dia ingin mendengar alasan tak masuk akal.
"Soal-soal yang kau berikan sangat sulit, aku tidak bisa mengerjakannya, maka dari itu aku menangis." Alibi Belle seraya putar arah, menghindari tatapan Marlon yang menusuk.
Marlon mengikuti Belle. Sementara gadis itu membenahi alat tulis, dia hanya mengamati tanpa berkomentar. Marlon tidak bisa memperkirakan apa yang Belle pikirkan? Tapi, dia menduga ucapan Gloe telah melukainya. Hingga membuat keceriaan Belle redup seperti mendung di siang hari.
Kenapa paman Marlon seakan berpihak padaku? Belle mencuri pandang ke arah Marlon. Tatkala perasaannya membuncah saat berspekulasi jika dia telah jatuh cinta pada Tarzan hutan yang nyasar ke kota.
Sementara Belle masih tertidur pulas, Marlon siap dengan setelan kerjanya, hendak berangkat namun juga tak tega mengusik. Menaruh memo kecil di atas meja, Marlon memilih pamit lewat tulisan singkat daripada melihat Belle menangis karena sudah dibangunkan lebih awal. Sebelum pergi tidak lupa Marlon mengecup kening Belle seraya berbisik 'Aku mencintaimu' lalu keluar sesaat meraih berkas-berkas penting.Di bawah kesadaran Belle bergumam tidak jelas dengan punggung tangan mengelap ciuman Marlon, dia semakin bergelung menikmati mimpi yang indah bersama Pangeran. Tatkala langit mendadak hitam diiringi kemunculan nenek sihir dengan tawa menyeramkan. Bahkan suara itu sanggup meruntuhkan lautan langit biru hingga memisahkan Belle dari Pangeran tampan."Demi Tuhan! Istri macam apa dirimu yang masih tidur pada jam 10 siang." Hidung Belle mengkerut mendengar samar-samar suara bass milik Gloe, tapi dia berpikir mungkin itu nenek sihir."Belle, bangun, kau tidak bisa memperbudak
Entah apa yang membuat Gloe betah di rumah ini, Belle jadi merasa tidak nyaman bahkan hendak makan saja dipelototin sampai matanya keluar. Belle tak pernah mengadu pada Marlon jika makan siangnya dijatah, si ibu mertua memang kejam. Kini wanita tua itu tengah menyeruput kopi, Gloe terlihat asyik sendiri tanpa memedulikan Belle.Ting tong!Perhatian Belle langsung beralih ke arah pintu, Gloe yang biasa acuh terhadap suara bel, untuk pertama kali dirinya bersemangat menyambut tamu Marlon. Seorang gadis, eh? Belle mencibir saat dua manusia itu cipika cipiki, berlagak seperti calon menantu."Bibi, di mana Marlon?" Candice bertanya sambil mencondongkan wajah ke dalam. Memutar matanya seolah tak melihat Belle berdiri di belakang Gloe."Kau seperti tidak tahu Marlon saja, dia pekerja keras, baginya pekerjaan itu nomor satu." Menarik tangan Candice, dengan hangat Gloe menuntun calon mantu pilihannya menuju sofa. "Tapi, saat melihatmu aku yakin kau yang akan jadi prio
Hampir seharian Belle mogok makan. Seheboh apapun Marlon berjoget sama sekali tak membuka mulutnya walau secenti. Untung Marlon pemilik perusahaan, kalau tidak mungkin dia sudah dipecat karena bolak balik libur. Tanpa sinyal istrinya itu ngambek setelah menaruh susu di meja tadi pagi. Di saat Marlon bertanya apa ada masalah? Hingga kini Belle bungkam, bahkan tak berbicara sepatah kata."Ayolah, katakan sesuatu. Aku tidak tahu apa salahku jika kau berdiam terus," pinta Marlon terkesan memohon. Karena jauh lebih baik dia mendengar Belle menghinya, ketimbang harus diam.Hening.Tetap nihil, hanya suara detak jam yang terdengar saking sunyinya ruangan."Bell, oh astaga, apa kau kerasukan?" tanyanya sambil menarik rambut frustrasi, tidak pernah terbayang oleh Marlon punya istri sesulit ini.Tatapan Belle kosong, lurus ke depan, dengan mulut terkunci rapat, dan tanpa ekspresi. Sesuatu telah meracuni pikirannya, tak ada yang tahu termasuk Marlon. Perasaan gadi
Hari ini Ernest menginap di kediaman Belle bersama pamannya, maksud wanita itu suaminya yang merangkap jadi paman. Guna membantu Belle memenuhi kebutuhan Marlon termasuk makan, minum, juga alat cukur. Bagaimanapun ini semua adalah kesalahannya, Ernest terlalu membatasi Belle agar tak melakukan pekerjaan rumah. Dulu.Nah! Sekarang, Ernest jadi menyesal, sebab kesalahan beliau si sulung Belle jadi kaku mengurus Marlon. Apalagi kini Belle sudah berbadan dua. Bebannya bertambah hingga sulit bergerak, untung Marlon suami yang penyabar.Seperti ini ..."Bell, apa kau melihat dasi kerjaku? Seingatku kemarin aku taruh di meja." Tiba-tiba Marlon menanyakan dasinya, datang menjeda kegiatan Belle di dapur."Tidak.""Bisa kau membantuku mencari?" Lelaki seumuran suami Ernest itu mulai memohon, sementara Belle hanya mendengus."Bell ...""Tidak, Paman, cari saja sendiri, aku sedang sibuk! Lagipula kau ini pelupa sekali. Kupikir kepalamu juga akan hilang
Dari dulu Belle memang tidak suka berhias, baginya itu hanya menghabiskan waktu serta pemborosan. Kecantikan gadis itu alami, jadi meski tanpa polesan auranya tetap bersinar. Belle memasuki halaman kantor, tak sedikit pekerja yang berada di lapangan menatap penasaran. Di mana para wanita juga berbisik, saling bertukar pikiran dengan tatapan mengarah kepada Belle."Kupikir istri bos besar kita seorang model papan atas yang sering ada di majalah, aku tak habis pikir ternyata malah bocah ingusan." Hah? Otomatis langkah Belle terhenti. Menoleh untuk melihat siapa yang berkomentar, namun dari samping Marlon datang.Mencegah Belle berbalik, memeluknya hangat, lalu berbisik rendah. "Kenapa kau datang diam-diam?"Sedikit mendongak Belle memandang wajah Marlon yang sudah menemani kesehariannya sejauh ini, dia tersenyum semringah. Kebetulan sekali Belle jadi tak susah mencari ruang kerja Marlon. Pertemuan mereka bak direncana. Membalas senyum maut Marlon, dengan manis Belle
"Paman sudah pulang?" sambut Belle menopang sikunya, menyamankan beban tubuh untuk bangkit.Tertatih-tatih Belle datang menghampiri Marlon yang terduduk di sebrang. Lelaki itu kelihatan sangat lelah sampai bicara saja enggan. Belle tersenyum hangat, membelai pipi kiri Marlon sebelum melepas dasinya, lalu duduk di pangkuan beliau bersandar manja. Tidak seperti biasa kali ini kedua tangan Marlon diam, terasa kaku, sama sekali tak membelai rambut Belle atau mengelus perutnya kian lama semakin besar.Itu membuat Belle bingung sehingga dirinya bangkit, menatap Marlon seksama, dan bertanya lirih. "Kau baik-baik saja? Atau ..."Kriing! Belle meremas ujung daster hamilnya sesaat mendapati Marlon beranjak mengangkat telepon, berbicara cukup lama sampai kakinya sendiri terasa kram.Batin Belle merintih, tetapi gadis itu tetap bersikukuh menunggu Marlon hingga selesai. Mendekati dirinya untuk meminta maaf. Ini sudah menit ke tiga puluh. Hasilnya masih seperti di awal da
Satu pekan sudah Marlon dan Belle saling berdiaman. Keduanya enggan bicara bahkan melakukan hal masing-masing seperti hidup sendirian meskipun tidur masih seranjang. Belle sama sekali tidak membuka mulut soal apa yang dilihatnya, begitu pula Marlon tetap diam seolah tak ada kejadian.Dia juga tampak masa bodoh dengan kediaman si kecil Belle. Sebagai suami setidaknya Marlon bertanya mengapa sang istri mendadak sariawan?Di ujung ranjang king size Belle duduk, membongkar tas perlengkapan mandi bayi yang baru Rose berikan. Sesekali mencuri pandang ke arah paman Marlon. Beliau terlihat fokus pada layar laptop yang menyala. Jari jemari Marlon juga bergerak cepat mengetik sesuatu, melihat itu Belle jadi merasa sedikit iba."Lihat ayahmu Sayang, dia sudah bekerja satu harian, tapi begitu sampai rumah masih berkutat pada tugas. Menyebalkan bukan?" Sambil mengelus perutnya Belle mengadu pada si buah hati, mengharapkan dukungan.Ketika Marlon menoleh buru-buru Belle be
Semenjak paman Marlon menikahi bibi Candice, di rumahnya sendiri Belle merasa seperti orang lain. Tak ada lagi kenyamanan bahkan selalu terabaikan. Di sini Belle mencoba tidak menyalahi siapa pun. Dia sangat menyayangi dirinya, dan ingin menjadi dewasa. Adakah hal lain yang lebih menyakitkan dari ini? Di depan kedua bola matanya Belle melihat sang suami mengucapkan ijab kabul dengan menyebut nama Candice, lalu mencium keningnya.Belle tersenyum getir, di dalam cermin wajah gadis itu terlihat biasa saja, tapi hatinya memendam luka yang teramat sakit. Hamil besar bukanlah menjadi alasan untuk bertahan. Mungkin, kalau Belle belum mencintai paman Marlon semuanya akan terasa mudah. Tapi sekarang jika dia meninggalkan rumah, itu sama saja membiarkan si ular Candice berkuasa."Hei, selamat pagi." Suara berat paman Marlon tiba-tiba menyapa, Belle menoleh dan tersenyum.Kini lelaki dewasa itu telah berseragam rapi, dengan kemeja formal dikalungi dasi acak-acakkan. Terlihat