Belle bersenandung di sepanjang jalan menuju gedung sekolahnya, berkat bantuan Rose, Marlon bersedia mengantarnya hari ini dengan syarat. Tanpa berpikir panjang Belle menyanggupi asal bisa kembali menuntut ilmu, daripada kejang di rumah sendirian. Lebih baik mengasa otak supaya menambah wawasan.
Yang paling utama agar dapat menghindari Marlon kapan pun dia bertingkah menyebalkan, suka ndusel-ndusel di dalam selimut. Kalau kucing tadi tidak masalah, karena cukup menggemaskan, tetapi Marlon? Walaupun mereka sesama makhluk berbulu, tentu kucing jauh lebih lucu ketimbang Marlon.
"Bell, masih ingat syarat-syarat dari suamimu?" Marlon memeringati lagi, sebelum Belle melompat turun dari mobil.
"Tidak boleh dekat dengan teman lelaki kalau aku tidak mau hamil, atau kau akan membunuhnya, benar?"
"Tepat, aku berkata serius, bukan peringatan semata!" tekannya penuh kecaman, menatap Belle tajam.
Tak mau ambil pusing Belle mengangguk, memahami segala bentuk konsekuensi yang terjadi bila terlanggar. "Baiklah, Paman, aku sangat mengerti."
"Bagus! Kau bisa masuk sekarang, tentu setelah memberiku kecupan," pinta Marlon menunjuk pipinya, lagi-lagi Belle menurut, dia hanya tak ingin repot atau batal sekolah jika menolak.
Cup! Spontan kedua bola mata Belle membeliak saat kecupannya mendarat di bibir penuh Marlon, lelaki tua itu sengaja mengubah posisi sehingga mereka saling berhadapan. Tanpa membuang kesempatan Marlon pun mendorong tengkuk Belle, menerkam bibir di depannya dengan lumatan serta gigitan kecil.
Kali ini Belle tidak menangis, dia hanya pasrah bahkan juga menikmati ciuman. "Nggh, Paman."
Mendengar lenguhan itu Marlon menyengir lebar. Suara khas Belle menyebut dirinya paman menjadi kebahagiaan tersendiri, cukup senang apalagi pada kejadian manis seperti ini. Biasanya para gadis akan mulai meracau jika Marlon bergerak sangat kuat saat mendekat puncak, tetapi Belle hanya dengan berciuman, dia sudah gelisah tak keruan. Kerap mengalah soal fisik, bukan berarti Marlon lelaki payah atau suami-suami takut istri. Kenyataannya dia begitu menginginkan Belle di setiap waktu meski gadis itu menolak.
Dug! Dug! Di luar dengan penuh semangat Rose memukul-mukul jendela mobil Marlon, berhasil memisahkan keduanya dari pagutan yang buas. Marlon berdecak sebal. Belle mepet ke pintu sementara Marlon turun, memasang mata beserta kuping untuk menangkap pembicaraan mereka. Dari dalam Belle berteriak saat Rose berbalik arah dan pergi.
"Rose, tunggu aku!" Tidak memedulikan panggilan Marlon, Belle berlari keras mengejar Rose, lalu mereka masuk gerbang bersama.
Di belakang Marlon hanya terkekeh geli melihat Belle, tingkahnya masih sangat kekanakan, bahkan lebih polos dari anak 8 tahun. Keceriaan juga kepolosan Belle membuat Marlon berpikir telah menikahi anak kecil. Padahal pada kenyataannya dia sudah dewasa dalam angka 20.
"Aku ingin kau memantau apa saja yang Belle lakukan di sekolah, ini uang untuk bayaran pertamamu," kata Marlon pada lelaki buncit berseragam satpam, menepuk-nepuk pundaknya.
Josh mengangguk. Mendapat pekerjaan tambahan tentu sangat menguntungkan, apalagi dibayar sepuluh kali lipat oleh putra kedua Exietera. Maka begitu Marlon lenyap dengan mobil mewahnya, Josh mulai mengeluarkan ponsel. Memotret Belle dari belakang, bahkan sampai mengikuti hingga ke toilet perempuan.
Bodoh! Mengumpat keki, Marlon memutar balik saat melihat kiriman terbaru Josh, di mana Belle tampak menganga lebar dalam bilik toilet, dia berteriak. Buru-buru menghubungi Rose, bagaimanapun dia tidak bisa masuk menemui Belle atau rahasia mereka akan terbongkar di awal. Ini semua karena Marlon, dengan ketidakpercayaan dirinya terhadap gadis langka sepolos Belle.
"Satpam sialan! Kenapa lelaki tua di dunia ini mesum-mesum, aku akan melaporkanmu pada paman Marlonku." Belle melayangkan ransel ke arah Josh, memukulinya tanpa ampun sambil menyumpah serapahi.
"Bell, ayo kita keluar, dia sudah kulaporkan." Rose menyeret Belle keluar, dia mendapat perintah dari Marlon untuk membawa gadis kecil itu pergi.
"Ini semua gara-gara pamanmu, Rose!" teriak Belle penuh emosi, kulit putihnya merah padam bahkan sampai berasap.
Belle bersumpah tidak akan membiarkan Marlon berbuat sesukanya lagi. Josh berani melakukan demikian pasti karena mengetahui dirinya sudah tak bersegel. Jika bukan permohonan ayah dan ibu ... hiks!
"Sssh, jangan menangis, kau tidak mau semua orang tahu kan?" bisik Rose mewanti Belle, sebab sebagian besar anak-anak menatap penasaran.
Menyeka pipinya Belle pun bersungut, lalu berkata. "Kupikir mereka semua sudah tahu statusku." Menarik alih tangan Rose, dengan wajah memerah Belle menghelanya menuju taman, mengasingkan diri dari keramaian yang ada.
Mau tak mau Rose Miller mengikuti langkah Belle, duduk di bangku taman memberikan bahu untuk temannya bersandar. Ini tidak akan sulit. Mengambil botol air dari dalam ransel Rose memberikan pada Belle, mereka kerap kali menghabiskan waktu di taman jika hati bersedih. Berbicara serius hingga masalah selesai. Sesaat isakan Belle kian mereda keduanya berpegangan. Rose hendak memberi pencerahan jika Marlon lelaki tua idaman.
"Kau tahu, Bell, kau ini sangat beruntung, bahkan aku iri padamu." Seketika wajah Belle menegang, berarti Rose cemburu?
"Well, ini tidak seperti yang kau bayangkan cantik, aku memang mengagumi serta menyayangi paman Marlon, tapi aku masih waras dan tidak mungkin mencintai pamanku sendiri." Rose menjelaskan, disusul kekehan geli saat melihat reaksi alamiah Belle.
Yang menyatakan sulit menerima, meski sikap Belle menunjukkan rasa sebaliknya, namun hati gadis itu tak bisa berbohong. Belle selalu menganggap Marlon bukan suaminya, tetapi perasaan terlihat memihak pada lelaki tua itu, lebih-lebih dirinya tak pernah jatuh cinta.
"Aku menikah terpaksa, aku sama sekali tidak mencintai pamanmu." Mendengar penuturan Belle, bukan berempati Rose malah terkekeh.
"Belle sayang, mungkin kau belum menyadarinya jika dirimu telah menaruh rasa terhadap pamanku." Rose mencibir, mulut lancipnya berputar seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi tertahan di ujung bibir. "Hmm, maafkan aku, bukan maksudku ..."
"Seharusnya, kau tidak pernah mengajakku ke rumah paman Marlon waktu itu, kupastikan hidupku masih damai sentosa," potong Belle menerawang jauh, lalu bergidik saat wajah tua Marlon terlintas di kepala.
"Demi nyawaku aku bersumpah, menjamin hidupmu akan terus bahagia Bell, kau tidak pernah kesusahan jika bersama pamanku." Lagi, Rose menyakinkan Belle, kenyataannya dia merasa sangat senang ketika tahu istri Marlon tidak seburuk dalam bayangan.
Apalagi gadis beruntung itu adalah Belle, dia tidak mungkin memanfaatkan pamannya demi harta seperti wanita kebanyakan. Isabeau Chambell gadis polos yang malang. Hidup kesulitan di era globalisasi, jadi Rose pikir menikah dengan Marlon menjadi alternatif paling ampuh. Tiba-tiba satu pertanyaan yang mengganggu pikiran Rose muncul kembali. Ditatapnya Belle dengan penasaran, cukup lama dan begitu menghayati.
"Bagaimana, punya pamanku besar tidak?" tanyanya tanpa sungkan, sedangkan Belle hanya mengernyit tak mengerti.
"Apa maksudmu?" Belle bertanya balik, matanya menyipit saat menangkap Marlon berjalan mendekati mereka, lalu bangkit saat lelaki itu sudah di depan.
Karena Belle berdiri, Rose ikut menyusul, terlebih mendapati Marlon yang datang. "Paman, Rose bertanya padaku, punyamu besar atau tidak?"
Sejak pelayan memutuskan berhenti kerja, putra kedua Gloe jadi repot mengurus pekerjaan rumah, semua, tanpa terkecuali. Mencari pekerja baru bukan hal yang mudah, sama seperti mendapatkan pasangan. Susah! Marlon termasuk orang yang berat menaruh kepercayaan, maka dari itu dia lebih baik melakukan sendiri ketimbang apes.Cukup sudah harga diri Marlon roboh sebagai suami yang ketiban sial, bukan dilayani oleh istri tetapi malah sebaliknya. Ketika di luar penampilan Marlon bak ksatria baja hitam, gagah, perkasa. Begitu pulang ke rumah kegagahannya hilang, apalagi saat bolak balik memenuhi permintaan Belle, dia mirip kambing cunguk yang nyasar."Paman, bisa lebih cepat tidak, aku sudah telat." Belle mengentak-entak sendok pada piringnya, menunggu Marlon tidak kunjung beres menyajikan sarapan.Sesungguhnya, Marlon sangat kewalahan, mulai dari buka mata hingga tertutup kembali, lelaki itu tidak mendapat istirahat. Bahkan Marlon sudah bangun mendahului Belle. Padahal w
Sementara Belle masih tertidur pulas, Marlon siap dengan setelan kerjanya, hendak berangkat namun juga tak tega mengusik. Menaruh memo kecil di atas meja, Marlon memilih pamit lewat tulisan singkat daripada melihat Belle menangis karena sudah dibangunkan lebih awal. Sebelum pergi tidak lupa Marlon mengecup kening Belle seraya berbisik 'Aku mencintaimu' lalu keluar sesaat meraih berkas-berkas penting.Di bawah kesadaran Belle bergumam tidak jelas dengan punggung tangan mengelap ciuman Marlon, dia semakin bergelung menikmati mimpi yang indah bersama Pangeran. Tatkala langit mendadak hitam diiringi kemunculan nenek sihir dengan tawa menyeramkan. Bahkan suara itu sanggup meruntuhkan lautan langit biru hingga memisahkan Belle dari Pangeran tampan."Demi Tuhan! Istri macam apa dirimu yang masih tidur pada jam 10 siang." Hidung Belle mengkerut mendengar samar-samar suara bass milik Gloe, tapi dia berpikir mungkin itu nenek sihir."Belle, bangun, kau tidak bisa memperbudak
Entah apa yang membuat Gloe betah di rumah ini, Belle jadi merasa tidak nyaman bahkan hendak makan saja dipelototin sampai matanya keluar. Belle tak pernah mengadu pada Marlon jika makan siangnya dijatah, si ibu mertua memang kejam. Kini wanita tua itu tengah menyeruput kopi, Gloe terlihat asyik sendiri tanpa memedulikan Belle.Ting tong!Perhatian Belle langsung beralih ke arah pintu, Gloe yang biasa acuh terhadap suara bel, untuk pertama kali dirinya bersemangat menyambut tamu Marlon. Seorang gadis, eh? Belle mencibir saat dua manusia itu cipika cipiki, berlagak seperti calon menantu."Bibi, di mana Marlon?" Candice bertanya sambil mencondongkan wajah ke dalam. Memutar matanya seolah tak melihat Belle berdiri di belakang Gloe."Kau seperti tidak tahu Marlon saja, dia pekerja keras, baginya pekerjaan itu nomor satu." Menarik tangan Candice, dengan hangat Gloe menuntun calon mantu pilihannya menuju sofa. "Tapi, saat melihatmu aku yakin kau yang akan jadi prio
Hampir seharian Belle mogok makan. Seheboh apapun Marlon berjoget sama sekali tak membuka mulutnya walau secenti. Untung Marlon pemilik perusahaan, kalau tidak mungkin dia sudah dipecat karena bolak balik libur. Tanpa sinyal istrinya itu ngambek setelah menaruh susu di meja tadi pagi. Di saat Marlon bertanya apa ada masalah? Hingga kini Belle bungkam, bahkan tak berbicara sepatah kata."Ayolah, katakan sesuatu. Aku tidak tahu apa salahku jika kau berdiam terus," pinta Marlon terkesan memohon. Karena jauh lebih baik dia mendengar Belle menghinya, ketimbang harus diam.Hening.Tetap nihil, hanya suara detak jam yang terdengar saking sunyinya ruangan."Bell, oh astaga, apa kau kerasukan?" tanyanya sambil menarik rambut frustrasi, tidak pernah terbayang oleh Marlon punya istri sesulit ini.Tatapan Belle kosong, lurus ke depan, dengan mulut terkunci rapat, dan tanpa ekspresi. Sesuatu telah meracuni pikirannya, tak ada yang tahu termasuk Marlon. Perasaan gadi
Hari ini Ernest menginap di kediaman Belle bersama pamannya, maksud wanita itu suaminya yang merangkap jadi paman. Guna membantu Belle memenuhi kebutuhan Marlon termasuk makan, minum, juga alat cukur. Bagaimanapun ini semua adalah kesalahannya, Ernest terlalu membatasi Belle agar tak melakukan pekerjaan rumah. Dulu.Nah! Sekarang, Ernest jadi menyesal, sebab kesalahan beliau si sulung Belle jadi kaku mengurus Marlon. Apalagi kini Belle sudah berbadan dua. Bebannya bertambah hingga sulit bergerak, untung Marlon suami yang penyabar.Seperti ini ..."Bell, apa kau melihat dasi kerjaku? Seingatku kemarin aku taruh di meja." Tiba-tiba Marlon menanyakan dasinya, datang menjeda kegiatan Belle di dapur."Tidak.""Bisa kau membantuku mencari?" Lelaki seumuran suami Ernest itu mulai memohon, sementara Belle hanya mendengus."Bell ...""Tidak, Paman, cari saja sendiri, aku sedang sibuk! Lagipula kau ini pelupa sekali. Kupikir kepalamu juga akan hilang
Dari dulu Belle memang tidak suka berhias, baginya itu hanya menghabiskan waktu serta pemborosan. Kecantikan gadis itu alami, jadi meski tanpa polesan auranya tetap bersinar. Belle memasuki halaman kantor, tak sedikit pekerja yang berada di lapangan menatap penasaran. Di mana para wanita juga berbisik, saling bertukar pikiran dengan tatapan mengarah kepada Belle."Kupikir istri bos besar kita seorang model papan atas yang sering ada di majalah, aku tak habis pikir ternyata malah bocah ingusan." Hah? Otomatis langkah Belle terhenti. Menoleh untuk melihat siapa yang berkomentar, namun dari samping Marlon datang.Mencegah Belle berbalik, memeluknya hangat, lalu berbisik rendah. "Kenapa kau datang diam-diam?"Sedikit mendongak Belle memandang wajah Marlon yang sudah menemani kesehariannya sejauh ini, dia tersenyum semringah. Kebetulan sekali Belle jadi tak susah mencari ruang kerja Marlon. Pertemuan mereka bak direncana. Membalas senyum maut Marlon, dengan manis Belle
"Paman sudah pulang?" sambut Belle menopang sikunya, menyamankan beban tubuh untuk bangkit.Tertatih-tatih Belle datang menghampiri Marlon yang terduduk di sebrang. Lelaki itu kelihatan sangat lelah sampai bicara saja enggan. Belle tersenyum hangat, membelai pipi kiri Marlon sebelum melepas dasinya, lalu duduk di pangkuan beliau bersandar manja. Tidak seperti biasa kali ini kedua tangan Marlon diam, terasa kaku, sama sekali tak membelai rambut Belle atau mengelus perutnya kian lama semakin besar.Itu membuat Belle bingung sehingga dirinya bangkit, menatap Marlon seksama, dan bertanya lirih. "Kau baik-baik saja? Atau ..."Kriing! Belle meremas ujung daster hamilnya sesaat mendapati Marlon beranjak mengangkat telepon, berbicara cukup lama sampai kakinya sendiri terasa kram.Batin Belle merintih, tetapi gadis itu tetap bersikukuh menunggu Marlon hingga selesai. Mendekati dirinya untuk meminta maaf. Ini sudah menit ke tiga puluh. Hasilnya masih seperti di awal da
Satu pekan sudah Marlon dan Belle saling berdiaman. Keduanya enggan bicara bahkan melakukan hal masing-masing seperti hidup sendirian meskipun tidur masih seranjang. Belle sama sekali tidak membuka mulut soal apa yang dilihatnya, begitu pula Marlon tetap diam seolah tak ada kejadian.Dia juga tampak masa bodoh dengan kediaman si kecil Belle. Sebagai suami setidaknya Marlon bertanya mengapa sang istri mendadak sariawan?Di ujung ranjang king size Belle duduk, membongkar tas perlengkapan mandi bayi yang baru Rose berikan. Sesekali mencuri pandang ke arah paman Marlon. Beliau terlihat fokus pada layar laptop yang menyala. Jari jemari Marlon juga bergerak cepat mengetik sesuatu, melihat itu Belle jadi merasa sedikit iba."Lihat ayahmu Sayang, dia sudah bekerja satu harian, tapi begitu sampai rumah masih berkutat pada tugas. Menyebalkan bukan?" Sambil mengelus perutnya Belle mengadu pada si buah hati, mengharapkan dukungan.Ketika Marlon menoleh buru-buru Belle be