Share

Bab 7 - Belle kembali kuliah

Belle bersenandung di sepanjang jalan menuju gedung sekolahnya, berkat bantuan Rose, Marlon bersedia mengantarnya hari ini dengan syarat. Tanpa berpikir panjang Belle menyanggupi asal bisa kembali menuntut ilmu, daripada kejang di rumah sendirian. Lebih baik mengasa otak supaya menambah wawasan.

Yang paling utama agar dapat menghindari Marlon kapan pun dia bertingkah menyebalkan, suka ndusel-ndusel di dalam selimut. Kalau kucing tadi tidak masalah, karena cukup menggemaskan, tetapi Marlon? Walaupun mereka sesama makhluk berbulu, tentu kucing jauh lebih lucu ketimbang Marlon.

"Bell, masih ingat syarat-syarat dari suamimu?" Marlon memeringati lagi, sebelum Belle melompat turun dari mobil.

"Tidak boleh dekat dengan teman lelaki kalau aku tidak mau hamil, atau kau akan membunuhnya, benar?"

"Tepat, aku berkata serius, bukan peringatan semata!" tekannya penuh kecaman, menatap Belle tajam.

Tak mau ambil pusing Belle mengangguk, memahami segala bentuk konsekuensi yang terjadi bila terlanggar. "Baiklah, Paman, aku sangat mengerti."

"Bagus! Kau bisa masuk sekarang, tentu setelah memberiku kecupan," pinta Marlon menunjuk pipinya, lagi-lagi Belle menurut, dia hanya tak ingin repot atau batal sekolah jika menolak.

Cup! Spontan kedua bola mata Belle membeliak saat kecupannya mendarat di bibir penuh Marlon, lelaki tua itu sengaja mengubah posisi sehingga mereka saling berhadapan. Tanpa membuang kesempatan Marlon pun mendorong tengkuk Belle, menerkam bibir di depannya dengan lumatan serta gigitan kecil.

Kali ini Belle tidak menangis, dia hanya pasrah bahkan juga menikmati ciuman. "Nggh, Paman."

Mendengar lenguhan itu Marlon menyengir lebar. Suara khas Belle menyebut dirinya paman menjadi kebahagiaan tersendiri, cukup senang apalagi pada kejadian manis seperti ini. Biasanya para gadis akan mulai meracau jika Marlon bergerak sangat kuat saat mendekat puncak, tetapi Belle hanya dengan berciuman, dia sudah gelisah tak keruan. Kerap mengalah soal fisik, bukan berarti Marlon lelaki payah atau suami-suami takut istri. Kenyataannya dia begitu menginginkan Belle di setiap waktu meski gadis itu menolak.

Dug! Dug! Di luar dengan penuh semangat Rose memukul-mukul jendela mobil Marlon, berhasil memisahkan keduanya dari pagutan yang buas. Marlon berdecak sebal. Belle mepet ke pintu sementara Marlon turun, memasang mata beserta kuping untuk menangkap pembicaraan mereka. Dari dalam Belle berteriak saat Rose berbalik arah dan pergi.

"Rose, tunggu aku!" Tidak memedulikan panggilan Marlon, Belle berlari keras mengejar Rose, lalu mereka masuk gerbang bersama.

Di belakang Marlon hanya terkekeh geli melihat Belle, tingkahnya masih sangat kekanakan, bahkan lebih polos dari anak 8 tahun. Keceriaan juga kepolosan Belle membuat Marlon berpikir telah menikahi anak kecil. Padahal pada kenyataannya dia sudah dewasa dalam angka 20.

"Aku ingin kau memantau apa saja yang Belle lakukan di sekolah, ini uang untuk bayaran pertamamu," kata Marlon pada lelaki buncit berseragam satpam, menepuk-nepuk pundaknya.

Josh mengangguk. Mendapat pekerjaan tambahan tentu sangat menguntungkan, apalagi dibayar sepuluh kali lipat oleh putra kedua Exietera. Maka begitu Marlon lenyap dengan mobil mewahnya, Josh mulai mengeluarkan ponsel. Memotret Belle dari belakang, bahkan sampai mengikuti hingga ke toilet perempuan.

Bodoh! Mengumpat keki, Marlon memutar balik saat melihat kiriman terbaru Josh, di mana Belle tampak menganga lebar dalam bilik toilet, dia berteriak. Buru-buru menghubungi Rose, bagaimanapun dia tidak bisa masuk menemui Belle atau rahasia mereka akan terbongkar di awal. Ini semua karena Marlon, dengan ketidakpercayaan dirinya terhadap gadis langka sepolos Belle.

"Satpam sialan! Kenapa lelaki tua di dunia ini mesum-mesum, aku akan melaporkanmu pada paman Marlonku." Belle melayangkan ransel ke arah Josh, memukulinya tanpa ampun sambil menyumpah serapahi.

"Bell, ayo kita keluar, dia sudah kulaporkan." Rose menyeret Belle keluar, dia mendapat perintah dari Marlon untuk membawa gadis kecil itu pergi.

"Ini semua gara-gara pamanmu, Rose!" teriak Belle penuh emosi, kulit putihnya merah padam bahkan sampai berasap.

Belle bersumpah tidak akan membiarkan Marlon berbuat sesukanya lagi. Josh berani melakukan demikian pasti karena mengetahui dirinya sudah tak bersegel. Jika bukan permohonan ayah dan ibu ... hiks!

"Sssh, jangan menangis, kau tidak mau semua orang tahu kan?" bisik Rose mewanti Belle, sebab sebagian besar anak-anak menatap penasaran.

Menyeka pipinya Belle pun bersungut, lalu berkata. "Kupikir mereka semua sudah tahu statusku." Menarik alih tangan Rose, dengan wajah memerah Belle menghelanya menuju taman, mengasingkan diri dari keramaian yang ada.

Mau tak mau Rose Miller mengikuti langkah Belle, duduk di bangku taman memberikan bahu untuk temannya bersandar. Ini tidak akan sulit. Mengambil botol air dari dalam ransel Rose memberikan pada Belle, mereka kerap kali menghabiskan waktu di taman jika hati bersedih. Berbicara serius hingga masalah selesai. Sesaat isakan Belle kian mereda keduanya berpegangan. Rose hendak memberi pencerahan jika Marlon lelaki tua idaman.

"Kau tahu, Bell, kau ini sangat beruntung, bahkan aku iri padamu." Seketika wajah Belle menegang, berarti Rose cemburu?

"Well, ini tidak seperti yang kau bayangkan cantik, aku memang mengagumi serta menyayangi paman Marlon, tapi aku masih waras dan tidak mungkin mencintai pamanku sendiri." Rose menjelaskan, disusul kekehan geli saat melihat reaksi alamiah Belle.

Yang menyatakan sulit menerima, meski sikap Belle menunjukkan rasa sebaliknya, namun hati gadis itu tak bisa berbohong. Belle selalu menganggap Marlon bukan suaminya, tetapi perasaan terlihat memihak pada lelaki tua itu, lebih-lebih dirinya tak pernah jatuh cinta.

"Aku menikah terpaksa, aku sama sekali tidak mencintai pamanmu." Mendengar penuturan Belle, bukan berempati Rose malah terkekeh.

"Belle sayang, mungkin kau belum menyadarinya jika dirimu telah menaruh rasa terhadap pamanku." Rose mencibir, mulut lancipnya berputar seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi tertahan di ujung bibir. "Hmm, maafkan aku, bukan maksudku ..."

"Seharusnya, kau tidak pernah mengajakku ke rumah paman Marlon waktu itu, kupastikan hidupku masih damai sentosa," potong Belle menerawang jauh, lalu bergidik saat wajah tua Marlon terlintas di kepala.

"Demi nyawaku aku bersumpah, menjamin hidupmu akan terus bahagia Bell, kau tidak pernah kesusahan jika bersama pamanku." Lagi, Rose menyakinkan Belle, kenyataannya dia merasa sangat senang ketika tahu istri Marlon tidak seburuk dalam bayangan.

Apalagi gadis beruntung itu adalah Belle, dia tidak mungkin memanfaatkan pamannya demi harta seperti wanita kebanyakan. Isabeau Chambell gadis polos yang malang. Hidup kesulitan di era globalisasi, jadi Rose pikir menikah dengan Marlon menjadi alternatif paling ampuh. Tiba-tiba satu pertanyaan yang mengganggu pikiran Rose muncul kembali. Ditatapnya Belle dengan penasaran, cukup lama dan begitu menghayati.

"Bagaimana, punya pamanku besar tidak?" tanyanya tanpa sungkan, sedangkan Belle hanya mengernyit tak mengerti.

"Apa maksudmu?" Belle bertanya balik, matanya menyipit saat menangkap Marlon berjalan mendekati mereka, lalu bangkit saat lelaki itu sudah di depan.

Karena Belle berdiri, Rose ikut menyusul, terlebih mendapati Marlon yang datang. "Paman, Rose bertanya padaku, punyamu besar atau tidak?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status