Share

Bab 9 - Meresahkan

Sementara Belle masih tertidur pulas, Marlon siap dengan setelan kerjanya, hendak berangkat namun juga tak tega mengusik. Menaruh memo kecil di atas meja, Marlon memilih pamit lewat tulisan singkat daripada melihat Belle menangis karena sudah dibangunkan lebih awal. Sebelum pergi tidak lupa Marlon mengecup kening Belle seraya berbisik 'Aku mencintaimu' lalu keluar sesaat meraih berkas-berkas penting.

Di bawah kesadaran Belle bergumam tidak jelas dengan punggung tangan mengelap ciuman Marlon, dia semakin bergelung menikmati mimpi yang indah bersama Pangeran. Tatkala langit mendadak hitam diiringi kemunculan nenek sihir dengan tawa menyeramkan. Bahkan suara itu sanggup meruntuhkan lautan langit biru hingga memisahkan Belle dari Pangeran tampan.

"Demi Tuhan! Istri macam apa dirimu yang masih tidur pada jam 10 siang." Hidung Belle mengkerut mendengar samar-samar suara bass milik Gloe, tapi dia berpikir mungkin itu nenek sihir.

"Belle, bangun, kau tidak bisa memperbudak anakku terus menerus." Gloe berteriak sambil menarik selimut Belle kenakan, membuang sembarang arah, kemudian menarik kakinya bermaksud mencelakai.

Tetapi sepertinya beban Belle tidak seperti yang Gloe pikirkan. Gadis itu memang tampak kurus namun cukup menguras tenaga dalam sampai sesak. Ngik! Meski napas naik turun, Gloe tidak pantang menyerah, saking niatnya membuat Belle terjatuh dari tempat tidur. Nyatanya selimut yang licin terinjak olehnya sendiri hingga dia terpeleset. Senjata makan tuan.

"Astaga, ibu!" Tepat di saat Gloe terjerembab, Belle bangun dan memekik.

Nenek sihir yang malang, pikir Belle sebelum melompat turun mendekati Gloe.

"Hhh, pu-as kau melihatku begini, ngik, ngik," balas Gloe diiringi suara napas yang aneh, seperti kodok ingin bertelur seratus.

"Ibu, bertahanlah, jangan meninggal sekarang." Belle mondar mandir di kamar, sangat panik, lalu berlari meraih telepon.

Tentu saja Belle khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Gloe, apalagi mereka hanya berdua. Dia tidak ingin dituduh membunuh si ibu mertua.

"Paman, ibumu datang marah-marah. Napasnya sudah pendek, aku takut, cepatlah pulang." Tut! Di saat Belle berbalik Gloe sudah merem melek, hal itu membuat jantungnya kembang kempis.

Tanpa menunggu lebih lama paman Marlon datang bersama Liam, membopong tubuh Gloe ke tempat tidur. Lalu dokter muda kepercayaan memeriksa wanita itu. Belle mengelus-elus lengan Marlon yang menegang. Meski kurang menyukai Gloe bukan berarti senang melihat mertuanya telah tiada.

Paman Marlon pasti sangat sedih. Belle akan berusaha menghibur beliau supaya tersenyum seperti di film. Melihat Marlon sakit, Belle merasa kasihan. Mereka telah tinggal satu rumah, sedikit banyak rasa kasih itu datang walau terpaksa.

"Paman yang sabar ya, ibumu akan tenang di sisi Tuhan." Belle berkata lirih, menaruh sisi kepalanya di pundak Marlon. "Setelah pemakaman aku berjanji akan menyanyi untukmu."

"Hei, anak kecil. Nyonya Gloe masih bernyawa." Deg! Seketika wajah Belle merah padam, di bawah tatapan tajam Liam juga Marlon Exietera.

Selepas kepulangan dokter Liam. Belle berkeringat dingin di bawah tatapan Marlon. Hingga dering telepon menyadarkan keduanya. Sementara Marlon melipir menjawab panggilan, Belle menghampiri Gloe yang terbaring tak berdaya. Di sini Belle merasa bersalah, tidak seharusnya dia benci apalagi mengatai mertua.

Perlahan Belle melebarkan daun kuping Gloe, lalu berbisik dengan lirih. "Maafin menantumu yang miskin, dan bodoh ini."

"Bell ..." panggil Marlon seusai menutup telepon, Belle menoleh cepat.

"Sepertinya ibuku akan tinggal bersama kita untuk sementara waktu. Aku tak mungkin membiarkan ibu tinggal sendirian di rumahnya, kau tidak keberatan kan?"

"Eum, yaa, tentu saja tidak, ini rumahmu. Kau tak perlu meminta izin dariku." Belle menyahut keki, saat hati berbisik jangan seperti itu, mulutnya berkata lain.

"Bell, aku tahu, kau tidak cocok dengan ibuku ..."

"Jangankan dengan ibumu, denganmu saja aku tidak cocok. Kau itu terlalu tua untuk gadis seusiaku!" Lagi, Belle berujar ketus. Pada hakikatnya hidup bersama Marlon tidak akan pernah bahagia.

Tidak hanya perbedaan usia yang terpaut jauh, tetapi juga kasta, mereka bagaikan raja dan babu.

"Ikut aku, Bell." Menarik lengan Belle keluar, Marlon berusaha memberi ruang untuk Gloe beristrirahat.

Napas Marlon memburu kuat semampunya menahan amarah, lambat laun dada ini terasa penuh karena terlalu sabar menghadapi tingkah kekanakan Belle. Tapi, Marlon juga tak bisa selepasnya memarahi. Mendengar tangisan gadis itu jauh lebih ngilu dari sakit gigi. Sungguh! Ini kelewat sulit. Memang benar kata orang terdahulu, di dalam masa pernikahan yang paling menguji kesabaran itu, pada awal hingga pertengahan tiga bulan.

"Bell, kita memang tidak seumur, tapi aku ingin menghabiskan sisa umurku denganmu," jelasnya tegas menekankan kata 'umur'.

"Kenapa harus aku?" Belle menatap Marlon sendu, di pikirnya lelaki itu kaya raya, jadi bisa mencari gadis yang lebih cantik dan dewasa.

"Mata hanya bisa melihat, cukup untuk menilai rupa, tapi hati lebih cenderung merasakan cinta." Menatap dalam gadis di depannya, Marlon mulai bermelankonis. Merayu bagaikan lelaki bujangan.

Belle meringis saat Marlon menarik tubuh kecilnya ke dalam pelukan, melingkupi, terasa erat dan kencang. "Aku mencintaimu, tidak memandang fisik maupun finansial, sungguh, dari hatiku yang terdalam."

Menenggelamkan wajah Belle di dadanya, Marlon berbisik rendah mengutarakan kata-kata manis, tidak sekadar gombalan. Rasa cinta yang bersarang memang nyata. Ini bukan kiat meruntuhkan gadis sepolos Belle, melainkan sebuah usaha dari paman. Lambat laun Marlon suka mendengar panggilan itu, mengecup sisi wajah Belle sambil lalu tangan kasarnya menyelinap. Eh? Pun Belle mendongak, saat merasakan sapuan Marlon di punggungnya, ajaib.

Rasa gatal yang mendera, langsung jadi mendingan berkat sapuan Marlon.

"Kau pengertian sekali Paman, iya garukin. Aku tak mengatakan apapun kau tahu punggungku gatal."

"Di sini?" tanya Marlon sambil mengeram, sebal karena kodenya tidak terbaca Belle.

"Iya Paman, di situ, aku salah menggunakan bedak tabur jadi bintik-bintik."

"Iya sudah, buka saja, biar aku lihat," pinta Marlon sesantai mungkin, reflek Belle menggeleng keras.

"Kau mencari kesempatan dalam kesempitan, ya?"

Lah?

Lelaki itu menatap Belle, tuduhannya tentu sangat membingungkan. Padahal Marlon tidak ada berniat apapun selain memeriksa. Kalaupun iya, Marlon suaminya, beberapa kali pernah melihat Belle tanpa sehelai benang. Apalagi? Selain polos istrinya memang sedikit aneh.

Ketika semua perempuan memiliki belahan, Belle sama sekali tidak. Ukurannya lebih kecil dari buah apel, tetapi dia malah sedih dipilih Marlon. Seharusnya dia bangga! Enggan menyahut lagi, Marlon memeluk Belle kembali, kali ini tak tinggal diam, bibirnya melumat bibir ranum Belle dengan lambat juga menghayati.

"Paman, bagaimana keadaan nenek ... ops!" Dengan napas terengah batin Belle menjerit saat mendapati Rose, bukan melepaskan, Marlon malah semakin menguncinya.

"Nenek ada di dalam, kau bisa masuk menemuinya, aku mau menyelesaikan urusanku dengan Belle," jawab Marlon menunjuk kamar inap Gloe untuk sementara waktu, lalu mengerling pada Belle.

Tanpa sungkan Marlon memagut bibir Belle yang masih basah di depan Rose. Sepertinya dia sudah terbiasa melakukan di hadapan banyak orang. Sesaat Rose pergi Belle sontak menangis. Untuk ke sekian kali Belle merasa dilecehkan. Hiks! Mengusap air matanya Belle seperti gadis hina selama tinggal dengan Marlon, yang kerap kali berpikiran mesum padanya seakan tak mengenal waktu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status