Pagi-pagi sekali Marlon sudah bangun membuat sarapan untuk Belle. Di sepanjang malam gadis itu mengigau menghadapi suhu tubuh yang panas. Untungnya Marlon telah mengambil cuti, jadi tak perlu repot menghubungi para klien atau siapa pun menyangkut pekerjaan. Kondisi fisik Belle sangat payah! Padahal, mereka hanya menembus hujan dari gedung ke parkiran, tetapi dia telah tumbang.
Kening Belle mengernyit sesaat merasakan tangan Marlon menyentuh kulit pipinya, sejuk, membelai lembut sambil berbisik. "Bangun, Bell, kau harus mengisi perutmu."
Batin Marlon meringis, tak tega saat memeriksa tubuh Belle masih terasa panas, bahkan jauh lebih buruk dari semalaman suntuk.
Apa mungkin Belle kaget?
Ah, tidak mungkin, seingat Marlon dirinya bermain lembut semalam, memuja tubuh Belle begitu dalam. Tetapi sepertinya gadis itu benar-benar kaget, apalagi jika Belle sangatlah polos, dan tidak berpengalaman.
"Sweetheart, ayolah, buka matamu, kau harus makan sebelum ke rumah sakit." Sekali lagi Marlon meringis, membelai pelan pipi Belle, lalu mengecupnya.
Di saat Marlon menarik diri, kelopak mata Belle terbuka, dan menatapnya sayup. Wajah Marlon seketika berseri, buru-buru meraih mangkuk berisi bubur di atas meja tentu setelah membantu Belle duduk. Hueek! Isi di perut Belle menembak keluar. Sama sekali tidak jijik Marlon malah memijat tengkuk gadis itu, membantunya mengeluarkan lebih hingga mengenai kaus yang dia kenakan. Kacau.
"Minumlah, aku akan memanggil dokter," pinta Marlon, membantu Belle minum dengan cekatan, lantas berlalu keluar setelah membereskan kekacauan yang ada.
Kenapa paman Marlon sangat sabar? Batin Belle bertanya-tanya, meringis pelan saat menyentuh keningnya sendiri, panas.
Tidak lama Marlon kembali dengan seorang dokter. Di sisi ranjang lelaki dewasa itu mengamati, kerap kali menahan napas selama Belle diperiksa oleh Liam. Dokter kepercayaan Gloe sehingga mengandalkan beliau untuk kesembuhan anggota keluarga Exietera.
Dan, setelah ini Marlon berinisiatif mencari pengganti Liam, dia tak ingin ada lelaki selain dirinya menyentuh Belle. "Sudah, cukup! Kau sengaja berlama-lama, ya?"
Merasa tidak tahan akhirnya Marlon menyela, Liam hanya mengendik acuh selepas nulis resep obat. Tanpa berkata apalagi dokter muda itu pun pergi. Seluruh perhatian Marlon langsung tertuju pada Belle, mengompres keningnya sambil bersenandung. Belle mencibir senandung Marlon yang buruk, tapi dia juga tak menyangkal jika kepedulian lelaki itu telah membuat nyaman.
"Kau seperti menikmati senandungku, hmm," ujar Marlon sangat percaya diri.
"Tidak lebih buruk dari suara tangisan bayi," jawab Belle sekenanya, sontak kedua mata Marlon mendelik.
"Jangan bilang kau tidak menyukai anak kecil?" Menatap wajah mungil di depannya, tak mangkir perasaan Marlon jadi kembang kempis ruwet.
Ketika Belle menggeleng pertanda tidak, ruas dada Marlon mencelos rendah. Ini akan terasa sulit. Tapi, Marlon tentu tak tinggal diam. Secepatnya Belle harus melahirkan Marlon junior, wajib! Keluarga Exietera menginginkan putra dari Marlon.
"Kau seorang perempuan, Bell, bagaimanapun kau akan melahirkan anak."
"Aku tidak mau."
"Kenapa tidak? Kau sudah menjadi seorang istri."
Hening.
Tidak Marlon maupun Belle keduanya terdiam, hanya saling menatap tanpa kata. Alih-alih menjawab Belle malah gugup, membuang muka ke lain arah sesaat Marlon menangkup pipi bulatnya, jelas menuntut. Di sini Belle cukup paham kenapa Marlon ngebet menikah? Hanya demi mendapatkan keturunan, sebagai penerus Exietera.
Well, jangan berharap banyak, sebisanya Belle mencegah kehamilan, dia belum siap momong anak. Kecuali ... kalau anaknya kelak dijamin tidak akan mirip Marlon. Mungkin bisa diperhitungkan.
"Eum, aku, aku hanya tidak mau mengeluarkan bayi jelek seperti paman," tukas Belle penuh cemooh, hal itu membentuk letupan-letupan kecil di atas kepala Marlon yang mendadak pusing.
"Kata ibuku aku ini tampan, kau memiliki gangguan pengelihatan, ya?" telisik Marlon sambil mengamati kedua mata Belle, mencari kejanggalan, barangkali ada belek menyangkut.
Oh, lihat ini? Dengan pasti Marlon mengambil belek mata Belle yang mencuat, sejenak gadis itu terpejam, kemudian melotot saat Marlon menunjukkan sesuatu yang menjijikkan itu di ujung jarinya.
"Seharusnya, aku memeriksa kesehatanmu terlebih dulu sebelum kita nikah." Marlon memasang raut menyesal, sengaja, disusul tepukan keras di pundak.
Belle tak terima, menyeka matanya berulang kali, lalu bangkit berkacak pinggang. "Aku jauh lebih muda dari paman Marlon, apalagi jika dibandingkan ibumu, tentu saja mataku masih sehat."
"Kau terus mengataiku tua, padahal aku tahu kau telah merasakannya semalam. Jika punyaku masih gagah perkasa dan tangguh."
Di tengah tempat tidur berukuran jumbo Belle membatu, kedua pipinya memanas, teringat akan kejadian semalam. Ugh! Sungguh, menggelikan. Rasanya antara salah dan benar, tetapi kenyataan memang begitu.
Saat pelayan datang membawa nampan berisi makanan baru juga obat sekali minum, dengan sigap Marlon menghela tubuh kecil Belle. Mengatur posisi duduk gadis itu. Menyuapkan Belle dua sendok bubur, sebelum memberikannya obat pereda panas yang Liam anjurkan. Hanya sirup.
"Buka mulutmu, Bell, kau harus minum obat."
"Tidak, aku tidak mau, rasanya pasti pahit."
"Lihat, akan aku coba." Marlon memasukkan sendok ke dalam mulutnya, berusaha menyakinkan. "Ini manis sekali."
Untuk seperkian detik Belle mengerjap, tidak pernah berpikir Marlon bersedia meminum obatnya, padahal sama sekali tak sakit. Di mata Belle, paman Marlon semakin terlihat penyabar, kedewasaannya bersikap tidak dapat disepelekan.
Maka dari itu, saat Marlon menuang obat untuknya, tanpa keraguan lagi Belle menerima, bahkan rasa pahit yang kental lenyap. Hingga suara menggelegar Gloe menghantam kuping setiap makhluk hidup. Arah pandang Belle langsung menjuruk ke pintu. Telah berdiri wanita elegan dengan kipas cantik di tangannya yang tidak pernah ketinggalan.
"Selamat pagi menantu baruku, Belle!" Gloe menyapa dengan lantang, saking kerasnya sampai menggema.
Mungkin Gloe berpikir Isabeau Chambell girang bisa menikah dengan Marlon, tidak tahukah dia bahwa dirinya terpaksa. Dua puluh tahun angka yang sangat dinantikan oleh setiap anak manusia, untuk meniti proses perubahan, tetapi tidak berlaku bagi Belle. Sebab usianya itu menjadi awal bencana.
Dipaksa menikah dalam masa kuliah, kalau bukan karena permintaan ayah, maka Belle masih berada di bangku sekolah menuntut ilmu. Belle ingat betul perkataan ayah dan ibu selama membujuknya agar bersedia menikah.
"Kau satu-satunya anak kami yang mungkin bisa diandalkan. Tidak hanya berparas cantik, otakmu juga sangat encer. Tapi kau harus mengambil salah satu dari kesempatan ini, Bell, kau lihat adik-adikmu masih sangat kecil, mereka butuh asupan makan."
"Lihat dompetnya, aku menjamin kau tidak akan hidup kekurangan, dan aku percaya pendidikan tinggi tidak lagi kau butuhkan."
"Tidak usah pikir soal hati, cinta kita akan tumbuh karena terbiasa, yang kau lakukan cukup jalani."
Mengangguk mantap pandangan Belle kembali ke sekitar, membalas tatapan Gloe dengan manis. Tidak luput dari senyuman juga cengiran. Belle tahu Gloe tidak menyukainya, sama seperti dia tidak menyukai Marlon si tua menyebalkan, tapi kita lihat saja nanti?
"Paman, aku bosan di rumah terus." Belle merengek sambil memainkan rambut boneka barbie yang dibeli oleh Marlon.Kata Marlon boneka itu mirip dengan dirinya. Mulai dari wajah sampai lekuk tubuh. Kalau begitu kenapa dia tidak menikahi barbie saja? Kadangkala Marlon sangat dewasa, penyayang, sabar, tetapi tetap menyebalkan. Dipikirnya Belle merasa senang disamakan dengan boneka barbie. Bahkan rambutnya jauh lebih indah dari boneka jelek sialan.Sejak tadi Belle bosan di rumah.Apalagi setelah ditinggal Marlon sendirian, maka Belle akan frustrasi kalau lelaki itu terlambat pulang. Ini kelewat jenuh, Belle merindukan keadaan di luar, bertemu orang-orang, dan bersenda gurau. Hampir sebulan Belle tidak bertemu Rose, ayah, ibu, juga keempat adiknya. Di rumah Belle selalu melihat Marlon, tidak ada yang lain."Kau ingin kita berlibur bulan madu?" tanya Marlon dengan seringai nakal, buru-buru Belle menggeleng."Lebih baik uangnya ditabung, jangan boros kayak muka
Belle bersenandung di sepanjang jalan menuju gedung sekolahnya, berkat bantuan Rose, Marlon bersedia mengantarnya hari ini dengan syarat. Tanpa berpikir panjang Belle menyanggupi asal bisa kembali menuntut ilmu, daripada kejang di rumah sendirian. Lebih baik mengasa otak supaya menambah wawasan.Yang paling utama agar dapat menghindari Marlon kapan pun dia bertingkah menyebalkan, suka ndusel-ndusel di dalam selimut. Kalau kucing tadi tidak masalah, karena cukup menggemaskan, tetapi Marlon? Walaupun mereka sesama makhluk berbulu, tentu kucing jauh lebih lucu ketimbang Marlon."Bell, masih ingat syarat-syarat dari suamimu?" Marlon memeringati lagi, sebelum Belle melompat turun dari mobil."Tidak boleh dekat dengan teman lelaki kalau aku tidak mau hamil, atau kau akan membunuhnya, benar?""Tepat, aku berkata serius, bukan peringatan semata!" tekannya penuh kecaman, menatap Belle tajam.Tak mau ambil pusing Belle mengangguk, memahami segala bentuk konsekuen
Sejak pelayan memutuskan berhenti kerja, putra kedua Gloe jadi repot mengurus pekerjaan rumah, semua, tanpa terkecuali. Mencari pekerja baru bukan hal yang mudah, sama seperti mendapatkan pasangan. Susah! Marlon termasuk orang yang berat menaruh kepercayaan, maka dari itu dia lebih baik melakukan sendiri ketimbang apes.Cukup sudah harga diri Marlon roboh sebagai suami yang ketiban sial, bukan dilayani oleh istri tetapi malah sebaliknya. Ketika di luar penampilan Marlon bak ksatria baja hitam, gagah, perkasa. Begitu pulang ke rumah kegagahannya hilang, apalagi saat bolak balik memenuhi permintaan Belle, dia mirip kambing cunguk yang nyasar."Paman, bisa lebih cepat tidak, aku sudah telat." Belle mengentak-entak sendok pada piringnya, menunggu Marlon tidak kunjung beres menyajikan sarapan.Sesungguhnya, Marlon sangat kewalahan, mulai dari buka mata hingga tertutup kembali, lelaki itu tidak mendapat istirahat. Bahkan Marlon sudah bangun mendahului Belle. Padahal w
Sementara Belle masih tertidur pulas, Marlon siap dengan setelan kerjanya, hendak berangkat namun juga tak tega mengusik. Menaruh memo kecil di atas meja, Marlon memilih pamit lewat tulisan singkat daripada melihat Belle menangis karena sudah dibangunkan lebih awal. Sebelum pergi tidak lupa Marlon mengecup kening Belle seraya berbisik 'Aku mencintaimu' lalu keluar sesaat meraih berkas-berkas penting.Di bawah kesadaran Belle bergumam tidak jelas dengan punggung tangan mengelap ciuman Marlon, dia semakin bergelung menikmati mimpi yang indah bersama Pangeran. Tatkala langit mendadak hitam diiringi kemunculan nenek sihir dengan tawa menyeramkan. Bahkan suara itu sanggup meruntuhkan lautan langit biru hingga memisahkan Belle dari Pangeran tampan."Demi Tuhan! Istri macam apa dirimu yang masih tidur pada jam 10 siang." Hidung Belle mengkerut mendengar samar-samar suara bass milik Gloe, tapi dia berpikir mungkin itu nenek sihir."Belle, bangun, kau tidak bisa memperbudak
Entah apa yang membuat Gloe betah di rumah ini, Belle jadi merasa tidak nyaman bahkan hendak makan saja dipelototin sampai matanya keluar. Belle tak pernah mengadu pada Marlon jika makan siangnya dijatah, si ibu mertua memang kejam. Kini wanita tua itu tengah menyeruput kopi, Gloe terlihat asyik sendiri tanpa memedulikan Belle.Ting tong!Perhatian Belle langsung beralih ke arah pintu, Gloe yang biasa acuh terhadap suara bel, untuk pertama kali dirinya bersemangat menyambut tamu Marlon. Seorang gadis, eh? Belle mencibir saat dua manusia itu cipika cipiki, berlagak seperti calon menantu."Bibi, di mana Marlon?" Candice bertanya sambil mencondongkan wajah ke dalam. Memutar matanya seolah tak melihat Belle berdiri di belakang Gloe."Kau seperti tidak tahu Marlon saja, dia pekerja keras, baginya pekerjaan itu nomor satu." Menarik tangan Candice, dengan hangat Gloe menuntun calon mantu pilihannya menuju sofa. "Tapi, saat melihatmu aku yakin kau yang akan jadi prio
Hampir seharian Belle mogok makan. Seheboh apapun Marlon berjoget sama sekali tak membuka mulutnya walau secenti. Untung Marlon pemilik perusahaan, kalau tidak mungkin dia sudah dipecat karena bolak balik libur. Tanpa sinyal istrinya itu ngambek setelah menaruh susu di meja tadi pagi. Di saat Marlon bertanya apa ada masalah? Hingga kini Belle bungkam, bahkan tak berbicara sepatah kata."Ayolah, katakan sesuatu. Aku tidak tahu apa salahku jika kau berdiam terus," pinta Marlon terkesan memohon. Karena jauh lebih baik dia mendengar Belle menghinya, ketimbang harus diam.Hening.Tetap nihil, hanya suara detak jam yang terdengar saking sunyinya ruangan."Bell, oh astaga, apa kau kerasukan?" tanyanya sambil menarik rambut frustrasi, tidak pernah terbayang oleh Marlon punya istri sesulit ini.Tatapan Belle kosong, lurus ke depan, dengan mulut terkunci rapat, dan tanpa ekspresi. Sesuatu telah meracuni pikirannya, tak ada yang tahu termasuk Marlon. Perasaan gadi
Hari ini Ernest menginap di kediaman Belle bersama pamannya, maksud wanita itu suaminya yang merangkap jadi paman. Guna membantu Belle memenuhi kebutuhan Marlon termasuk makan, minum, juga alat cukur. Bagaimanapun ini semua adalah kesalahannya, Ernest terlalu membatasi Belle agar tak melakukan pekerjaan rumah. Dulu.Nah! Sekarang, Ernest jadi menyesal, sebab kesalahan beliau si sulung Belle jadi kaku mengurus Marlon. Apalagi kini Belle sudah berbadan dua. Bebannya bertambah hingga sulit bergerak, untung Marlon suami yang penyabar.Seperti ini ..."Bell, apa kau melihat dasi kerjaku? Seingatku kemarin aku taruh di meja." Tiba-tiba Marlon menanyakan dasinya, datang menjeda kegiatan Belle di dapur."Tidak.""Bisa kau membantuku mencari?" Lelaki seumuran suami Ernest itu mulai memohon, sementara Belle hanya mendengus."Bell ...""Tidak, Paman, cari saja sendiri, aku sedang sibuk! Lagipula kau ini pelupa sekali. Kupikir kepalamu juga akan hilang
Dari dulu Belle memang tidak suka berhias, baginya itu hanya menghabiskan waktu serta pemborosan. Kecantikan gadis itu alami, jadi meski tanpa polesan auranya tetap bersinar. Belle memasuki halaman kantor, tak sedikit pekerja yang berada di lapangan menatap penasaran. Di mana para wanita juga berbisik, saling bertukar pikiran dengan tatapan mengarah kepada Belle."Kupikir istri bos besar kita seorang model papan atas yang sering ada di majalah, aku tak habis pikir ternyata malah bocah ingusan." Hah? Otomatis langkah Belle terhenti. Menoleh untuk melihat siapa yang berkomentar, namun dari samping Marlon datang.Mencegah Belle berbalik, memeluknya hangat, lalu berbisik rendah. "Kenapa kau datang diam-diam?"Sedikit mendongak Belle memandang wajah Marlon yang sudah menemani kesehariannya sejauh ini, dia tersenyum semringah. Kebetulan sekali Belle jadi tak susah mencari ruang kerja Marlon. Pertemuan mereka bak direncana. Membalas senyum maut Marlon, dengan manis Belle