Share

03. Prestante

"Kalian sudah disini."

Robert Damiano menatap kedua murid berbakatnya dengan pandangan binar-binar di matanya. Dia adalah seorang pria paruh baya yang berambut klimis dengan kumis koboinya dan bertubuh gempal seperti pria rata-rata di umurnya, dan dikenal memiliki sense fashionnya yang eksentrik karena warna-warna pilihannya terlalu cerah.

"Jadi ada apa Mr. Damiano?" Tanya Genevra. Meski berkali-kali dosennya itu menyuruhnya memanggil dalam panggilan informal, Genevra masih tidak nyaman memanggil Robert hanya dengan nama. Pada akhirnya, dia tetap gurunya yang harus dihormati.

"Aku akan memperkenalkan kalian dengan Vikas Ignazio." Ucapnya.

Genevra memekik senang ketika mendengar nama pelukis terkenal se Italia, bahkan Eropa itu datang ke acara dan bahkan dia berkesempatan bisa bertemu dengannya.

Anna menatap Robert dan menyeringai ke gurunya itu. Robert terkadang bisa mengejutkannya dengan betapa luasnya jaringan pertemanan dosennya itu.

"Kutebak, Vikas dulunya temanmu dan atau teman dari temanmu." Ia berkata, belajar dari perkataan-perkataan Robert yang dulu.

Robert menggeleng dan berkata dengan nada geli, "Sebenarnya dia teman dari temannya saudara sepupu istri kakakku." Ujarnya.

Dia membawa Genevra dan Anna ke dalam ruang galeri, melewati sekelompok pengapresiasi seni dan mendarat ke kerumunan di sebelah lukisan Per la Bellezza milik Vikas yang menjadi bintang utama dalam pameran ini.

Robert merangsek maju. "Hei Vikas, my friend. Ini dia dua muridku yang aku ceritakan." 

Vikas yang memakai pakaian kasual yang tampak salah tempat diantara lautan orang-orang berpakaian formal berhenti berbicara kepada seorang wanita yang menyatakan diri penggemarnya dan menoleh kearah pria yang baru saja datang dengan dua orang dibelakangnya.

Dia memberi perhatian kearah mereka. "Ah Robert," ia menyapa.

Mereka berjabat tangan. 

Vikas lebih tua dari Robert. Tampangnya seperti stereotip seorang seniman pada umumnya. Berbaju seadanya, rambut panjang bergelombang yang awut-awutan, janggut yang terlihat tidak pernah dicukur dalam satu bulan, dan mata liarnya yang persis layaknya gelandangan tuna wisma. Singkatnya dia tidak repot-repot berusaha berpenampilan lebih baik.

"Yang mana yang melukis Fiori Nel Buio?" Dia menanyai dua wanita itu.

"Itu aku." Jawab Anna.

"Harus kuakui sayang, lukisanmu menakjubkan." Pujinya.

"Terimakasih."

Vikas kemudian melirik Genevra yang sedikit tersisihkan. "Kamu juga," ia menambahkan.

Mereka diinterupsi oleh kedatangan pejabat yang datang dan langsung memonopoli Vikas. Anna yang tidak terlalu antusias bertemu artist itu memilih keluar dari kerumunan.

Ia bergerak menyusuri ruangan. Matanya melihat sekeliling dengan seksama. Mencari keberadaan Adonisnya sebelum Adonisnya keburu pergi. Dia tidak mau kehilangan potensial modelnya sebelum dia bertindak.

Alih-alih menemukan pria berambut brunette yang dia inginkan. Matanya malah melihat pria yang tengah berjalan lambat sambil tangannya menggandeng seorang perempuan. Anna mengenalinya, dia juga kenal siapa perempuan yang dibawanya.

Namanya Nathan. Pria miliknya hingga untuk sekitar seminggu kemudian. Mereka mulai bersama lima hari yang lalu setelah Anna mencampakkan Matius. Dia mengerutkan keningnya, menatap marah kearah punggung Nathan. Selain Evan dan Leo, omong-omong dia tidak pernah meniduri Julian,- dia tidak senang jika modelnya berhubungan dengan wanita lain saat sedang bersamanya. Hanya dia yang memiliki kontrol dan suara dalam hubungan. Nathan hanyalah submisifnya, sama seperti kumpulan mantan modelnya yang ia tinggalkan setelah dia bosan.

Bagus, dia akan mencampakkannya sekarang.

Lagipula dia telah mendapatkan potensial modelnya. Meski Anna belum tahu namanya, dia memiliki kepercayaan diri yang besar untuk bisa menaklukkannya. Dia cantik, dia seksi, dua hal itu telah menjadi magnet yang mudah untuk menarik para pria kedalam genggamannya.

Dia berhenti didepan lukisan yang tampak sepi dan diacuhkan. Melukiskan sosok pemuda yang tengah membungkuk menatap pantulan dirinya di sungai. Sebagai penjelasan, tema pameran ini adalah melukis kembali sejarah mereka, sehingga sepanjang ruangan ditempati oleh lukisan yang mengisahkan peradaban romawi kuno dan dewa-dewinya.

"Narcissus." Bisiknya.

Anna tahu kisah Narcissus. Dia sering mendapat tawaran untuk melukis tokoh-tokoh mitologi sehingga dia banyak mengetahui di ranah itu. Pokoknya, penyebutan kata narsis berasal dari nama tokoh ini. 

"Anna, disini kau. Aku mencarimu." 

Anna menoleh dan melihat Robert mendatanginya dengan senyuman lebarnya yang konyol. 

"Ada apa lagi?" Tanyanya.

"Kau tidak percaya ini dan sebenarnya aku juga masih tidak percaya ini tetapi percayalah bahwa lukisanmu ditawar lima ratus juta." Ucap Robert dalam satu tarikan napas.

Alis Anna terangkat. "Sungguh?"

"Ini gila Anna. Oh aku bangga kepadamu."

Anna meringis melihat sisi dramatis Robert muncul. Dosennya itu sekarang tengah mengipasi wajahnya dengan tangis imajiner.

Lima ratus juta, pikirnya. Itu merupakan nominal yang sangat besar mengingat dia masih tidak memiliki nama. Biasanya, yang berani membeli lukisan dengan harga mahal adalah kelompok orang kaya yang ingin menghabiskan uang. Tetapi golongan itu biasanya membeli karena nama pelukis bukan karena lukisan itu sendiri. Anna jadi ingin tahu siapa orang kaya gila yang mau membeli lukisannya.

"Siapa dia?" Tanyanya. Dia ingin menemuinya.

"Robert!" 

Sebelum Robert membalas jawabannya, dia telah dirangkul oleh pria pendatang baru yang Anna tebak salah satu temab Robert. Robert dibawa pergi dan pria itu memberi tanda kearahnya bahwa mereka akan membicarakan ini nanti.

Anna bisa memakluminya. Robert pria yang sibuk dan dia sosialis sejati. Karena penyebutan lukisannya, Anna memutuskan untuk pergi melihat Fiori Nel Buio, karyanya sendiri.

Dan disitulah dia melihat Adonisnya.

Anna berhenti melangkah lebih dekat. Memilih berhenti untuk memandangi sosok pria itu dari samping. Adonisnya yang dia cari-cari selama ini tengah berdiri menatap lukisannya. Anna memandangi pria itu dengan jeli. Rambutnya tertata dengan rapi dan semua pada tempatnya. Dia bercukur. Anna lebih menyukai pria yang bercukur karena itu terlihat lebih rapi. Posturnya tinggi, dia bisa menjadi seorang model. Tetapi Anna tidak berpikir dia bekerja sebagai model. Aura disekitarnya terlalu kuat sehingga tidak hanya dia yang melihatnya, ada beberapa wanita lain yang memandanginya sama seperti dirinya. Yah, Adonisnya sendiri terlihat sangat berpengalaman dengan wanita.

Itu membuatnya bersemangat untuk bisa menggunakan pria itu sebagai modelnya.

Anna merapikan pakaiannya. Dia memutuskan untuk menyapanya.

"Terlihat berbeda bukan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status