Share

09. Suo

Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.

... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.

Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.

Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toilet pria. Dia mengacuhkannya sepenuhnya meski dia sadar pria itu beberapa kali ingin mencoba berhubungan kembali dengannya. Anna tidak pernah menawarkan hubungan dua kali. Dia tidak pernah kekurangan pria.

"Yo! Pelukis hebat kita!" Seru Isabel, mengangkat tangannya di salah satu meja kantin untuk menyapa Anna yang baru bergabung.

Dia duduk di samping Evan yang dengan gentle menarik kursi untuknya.

"Bagaimana kabarmu pelukis lima ratus juta?" Tanya pria itu.

"Jangan kamu juga Evan." Balas Anna sambil mendengus mendengar sebutan baru untuknya.

Hanya ada mereka bertiga kali ini. Mereka masih menunggu Leo dan Eleanor, sedangkan Julian? Dia seorang dosen. Untuk menghindari rumor, dia jarang berkumpul dengan mereka ketika di area kampus. Isabel sering menggerutu akan hal itu karena dia tidak bisa memamerkan kemesraannya ke teman-teman jurusannya.

"Sudah memesan?" Tanya Anna.

Isabel menggeleng, dia menyibakkan rambutnya dan saling bertukar seringai dengan Evan. "Kami menunggumu untuk membayar pesanan." Ucapnya blak-blakan.

"Uangku akan habis untuk memberi makan kalian semua." Balas Anna yang menggerutu. Meskipun begitu, dia tetap akan membayar pesanan mereka selama tujuh hari sesuai kesepakatan yang dibuat.

Lima menit kemudian, Leo dan Eleanor menampakkan diri bersama dan bergabung. Isabel dan Anna saling berpandangan karena kedatangan mereka.

"Rambutmu terlihat berbeda dear, kau potong rambut?" Tanya Isabel, mengomentari rambut pirang Eleanor yang berubah menjadi bob cut.

"Fresh look." Eleanor menyeringai dalam membalas. Dia lalu memusatkan perhatian kepada Anna. "Halo pelukis lima ratus juta."

Duo pirang itu lalu saling ber-tos ria.

"Tugas siapa untuk memesan?" Tanya Leo. Menoleh kearah Eleanor disampingnya, Evan dan juga Isabel. Dia mengecualikan Anna karena dia yang membayar.

"Evan kali ini." Jawab Eleanor.

Tanpa menolak, Evan berdiri dan mengambil kartu debit yang Anna acungkan kearahnya. Mereka saling mengucapkan pesanan dan laki-laki itu dengan tanpa keluhan seperti yang biasa dilakukan ketiganya ketika mendapat giliran, pergi menuju stan makanan.

"Tampaknya aku salah jurusan." Eleanor memulai.

"Masuklah jurusan ini Eleanor. Kesempatan menjadi Anna sekitar 0,2 persen kurasa." Balas Isabel, dia tidak bisa untuk tertawa mendengar ucapan Eleanor. Seni memang dihargai mahal, tetapi hanya ketika seniman itu sudah memiliki nama.

"Ya, aku tidak pernah menjual lukisanku lebih dari dua puluh juta." Leo menimpali.

"Siapa pembelinya?" Dia masih ingin tahu tentang seluk beluk bisnis seni seperti ini. Itu bagus untuk menambah wawasannya selain berkutat dengan angka di jurusan ekonomi.

"Pasti orang kaya kelebihan uang yang tidak tahu lagi bagaimana cara menghabiskan uangnya?" Celetuk Leo.

Eleanor menyenggolnya untuk komentar itu.

Anna sama sekali tidak tersinggung. Dia sudah tahu watak tengil Leo. "Tidak dia tidak," dia membela Jason. "Dia sedikit mengerti tentang seni dan menyukainya. Dia juga menawari untuk mensponsoriku jika aku memutustan membuka galeri atau sejenisnya." Jelasnya.

Isabel bersiul ketika mendengar penjelasan Anna. "Benar-benar keberuntungan." Dia mengedip kepadanya.

"Bagaimana tampangnya? Aku ingin menjadi sugar babynya kalau dia sekaya itu." Komentar Eleanor. Dia tidak malu menyebut 'sugar baby' di muka umum.

"Siapa yang ingin menjadi sugar baby?" Evan membalas dari belakang. Dia kembali dengan membawa dua buah nampan besar di kedua tangannya. Dia dengan hati-hati meletakkannya ke meja.

"Dia pria tua." Balas Anna. "Dia mungkin sudah impoten." Dia berbohong.

Perkataannya itu membuat Isabel mendengus dan menatapnya geli.

***

Jason memberinya pesan siang tadi, selepas Anna makan siang dengan teman-temannya. Pesannya singkat, intinya dia ingin melihat lukisan-lukisannya sore ini sehingga Anna membalasnya dengan mengirim koordinat rumahnya.

Anna sempat khawatir Jason menjadi pasif setelah acara makan malam tiga hari yang lalu. Dia sudah membuat rencana akan membuat first move di hari keempat jika masih tidak ada pesan dari Jason tetapi sepertinya dia tidak perlu melakukannya sekarang.

Ia senang dengan pengaturan yang akan datang ini sehingga dia memutuskan untuk memakai lingeri merahnya sebagai pakaian dalam. Dia juga mengecek penempatan kamera di studionya, di ruang tamu lantai satunya, atau di kamarnya sebagai tempat potensial untuk berhubungan seks. Ya, Anna memiliki kamera tersembunyi di setiap ruangan rumahnya. Dia akan mengeceknya setiap satu bulan sekali untuk menghapus file-file tidak penting yang sebagian besar memang file itu.

Jam lima sore, dengan midi dress hitamnya, Anna telah stand by duduk di kursi ruang tamunya di lantai satu yang langsung mengarah ke pemandangan jalan raya didepannya. Rambutnya ia biarkan tergerai dan dia memakai riasan minimalis untuk menonjolkan mata hijaunya.

Senyumnya merekah ketika dia melihat Tesla terparkir di pelataran rumahnya. Anna melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit. Seperempat jam lebih awal dari waktu yang dituliskan. Dia langsung menyimpulkan datang lebih awal lima belas menit adalah kebiasaan Jason.

Anna berdiri dan berjalan membuka pintu untuk menyambutnya.

"Hai,"

Pria itu tersenyum menyapanya sambil menyodorkan parsel. Anna menerimanya, dia menyukai pilihan Jason yang memberikannya parsel buah-buahan segar dibanding buket bunga.

"Kau tidak perlu membawa ini," katanya. Dia menatap laki-laki itu yang sekarang sedang sibuk melepaskan sepatunya untuk diganti dengan sandal rumah bermotif kelinci. Anna tidak melihat motifnya saat membelinya jadi dia harus puas dengan benda imut itu sebagai sandal.

"Ini bukan hal yang besar." Balas Jason. Dia melihat-lihat sekeliling ruangan tamu Anna dan mengagumi tata ruangnya.

"Rumahmu unik." Pujinya.

"Terimakasih."

"Dimana orang tuamu? Aku ingin menyapanya." Jason bertanya, ia telah diiajarkan agar selalu menyapa pemilik rumah ketika bertamu.

Anna tertawa kecil mendengar pertanyaan Jason. "Aku tinggal sendiri Jason. Mereka tinggal di Talis Park.

"Oh?" Jason terkejut mendengarnya. "Bukankah berbahaya untuk tinggal sendirian, maksudku mengenai soal keamanan. Ada banyak kasus perampokan akhir-akhir ini." Balasnya khawatir.

Anna mengendikkan bahu, "Tidak ada gangguan disini." Dia menjelaskan. "Masuklah, akan aku tunjukkan studioku."

Jason terpana melihat keindahan interior rumah Anna. Dinding dalamnya bercat putih tulang yang jika di keadaan biasa akan menimbulkan rasa tidak nyaman seperti dinding rumah sakit, tetapi Jason tidak merasakan perasaan itu di rumah ini. Ia mengikuti Anna menuju ke dalam rumahnya, melewati koridor yang terdapat lukisan berjejer yang tidak bisa untuk ia lewatkan.

"Yang paling utara itu saat aku masih anak kecil. Satu-satunya yang tersisa." Anna memberitahu ketika Jason tertarik melihatnya.

Jason sangat menyukai ide memajang lukisan dari tahun ke tahun pembuatan. Ini menjadi bukti progres seorang seniman yang mengawali lukisannya dari acak-acakan khas anak kecil menjadi pelukis handal yang setiap lukisannya bisa membuat orang terpukau melihatnya. Anna benar-benar sangat berbakat di bidangnya.

Anna memberi kode agar Jason kembali mengikutinya. Lukisan di koridornya hanyalah permulaan, dia masih memiliki puluhan lain yang terpendam di studionya, sedang menunggu untuk dipamerkan.

"Jangan terkejut melihat ini." Katanya mewanti-wanti dalam nada jahil.

Anna membuka pintu studionya dan berjalan melangkah ke dalamnya dengan tangan terentang lebar.

"Voila!" Serunya.

Dia terkekeh geli ketika ia berbalik dan mendapati Jason berdiri membeku di depan pintu. Dia bisa melihat binar-binar takjub di matanya dan Anna merasa bangga pria didepannya ini terlihat menyukai lukisannya.

"God, ini sangat bagus Anna." Ia berseru kagum.

Jason tak tahan untuk tidak berkomentar. Dia berjalan menuju lukisan terdekatnya yang menggambarkan seorang Dewi sedang disembah rakyatnya. Jason tidak tahu dia Dewi apa, dia tidak peduli. Dia mengeluarkan suara tercekat dan tampak tidak percaya dengan karya-karya disekelilingnya yang menurutnya sangat berharga.

"Kau bisa membuka galeri dengan semua ini." Ucapnya lagi.

Anna sekali lagi tertawa dengan reaksi Jason. Dia berjalan menuju lebih ke dalam, dimana lukisan-lukisan nudenya terpajang. Jason mengikutinya dan pandangannya berubah ketika melihat tema lukisan tersebut.

Anna mengamati reaksinya. Jason belum berkomentar apapun mengenai lukisannya kali ini. Itu bisa diartikan sebagai hal yang bagus.

"Jason," panggilnya. Dia berjalan mendekatinya. Tanpa melepaskan kontak mata, tangannya terjulur menuju kancing kemeja atasnya. Dia berhasil membuka satu kancing dan akan membuka kancing lain jika tangannya tidak ditahan oleh Jason sendiri.

"T-tunggu,.." laki-laki itu terdengar gugup dan pipinya bersemu merah. "Kenapa?"

"Apa kamu masih ingin menjadi modelku, Jason?" Tanya Anna.

"Y-ya," Jason menjawab dengan susah payah. Jantungnya berdebar dengan keras.

"Ada syarat untuk menjadi modelku." Bisiknya. Dia tersenyum menggoda sekali lagi.

"Apa itu?"

"Tidur denganku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status