Share

Bab 3

Wedding Drama Bab 3

Seporsi sandwich isi tuna dan segelas susu rendah kalori tersaji di atas meja makan antik yang terbuat dari kayu jati. Zayn tengah menyantap sarapan di rumah ibunya. Semalam, Lidya meminta putranya menginap selepas acara makan malam selesai.

Semenjak memutuskan menjadi dosen, Zayn memilih tinggal sendiri. Penghasilan mengajarnya memang tak sebanding dengan harga properti yang ditinggalinya. Semua properti yang dimiliki Zayn merupakan benefit sebagai satu-satunya pewaris Rayan Enterprise, dan bukanlah hal yang sulit jika hanya menginginkan satu unit hunian mewah di kawasan terpilih ibukota. 

Zayn lebih memilih rumah ketimbang apartemen, baginya rumah terasa lebih hidup daripada hunian yang sarat akan privasi sejenis apartemen. Dia lebih suka tempat tinggalnya memiliki halaman luas dengan hamparan hijau rerumputan juga tumbuh-tumbuhan yang membawa kesan sejuk serta asri.

"Bagaimana Kiana menurutmu?" tanya Lidya yang menarik kursi lalu duduk berhadapan dengan putranya.

"Dia terlihat munafik, penuh tipu muslihat," sahutnya to the point. 

"Zayn!" Suara Lidya meninggi dengan kedua tangan memijat-mijat pelipisnya sendiri. "Bagaimana bisa kamu mengomentari gadis anggun dari keluarga terpandang dengan kalimat seperti itu. Ya Tuhan, sampai kapan kamu mau terus begini!" omelnya jengkel.

"Thats's the truth. Dia mungkin terlihat polos di luar, tapi yakinlah di dalamnya sudah terkontaminasi banyak warna. Jangan tertipu oleh tampilannya, Bu." Zayn menjawab dengan santainya, kemudian meneguk segelas susu di hadapannya hingga tandas. 

"Kamu bisa bilang begitu karena belum terlalu mengenal Kiana. Sudah Ibu bilang, cobalah lebih dekat dengannya. Seperti peribahasa, tak kenal maka tak sayang. Setelahnya ibu yakin, kamu akan percaya bahwa Kiana gadis yang tepat untuk dijadikan istri. Bahkan sekarang dia mengikuti kelas memasak sebagai persiapan untuk menjadi istri yang baik," jelas Lidya menuturkan kelebihan Kiana karena Zayn sepertinya sama sekali tak berminat dengan makhluk yang bernama Kiana ini.

"I don't waste my time for something like that. But, by the way, dia itu mau jadi istri atau menjadi koki? Syarat menjadi seorang istri itu yang penting enak dipeluk di ranjang serta bisa diajak bertukar pikiran dalam berbagai hal, dan Kiana sama sekali bukan tipeku,” tegasnya tak bisa diganggu gugat. 

"Jadi, sebetulnya wanita yang seperti apa yang kamu sukai sekarang, huh? Ibu sudah pusing rasanya mencarikan calon istri yang selalu berakhir dengan penolakan seperti ini darimu." 

"Kalau begitu, Ibu berhentilah mencari," tukas Zayn enteng. 

"Tidak segampang itu anak muda! Kamu juga pasti tahu, setiap kali rapat dewan direksi beserta pemegang saham, mereka selalu meributkan tentang siapa yang akan meneruskan memimpin perusahaan nantinya jika ibumu ini sudah tak mampu lagi. Ibumu ini semakin menua. Mereka semua sepakat menolak pemimpin yang masih lajang. Pernikahan dianggap sebagai tolak ukur kedewasaan seseorang dalam memimpin perusahaan. Dinilai lebih memahami akan arti dari tanggung jawab. Untuk itu segeralah menikah!”

"Tapi aku tak tertarik dengan perusahaan," celetuk Zayn.

"Tapi Ibu membangun susah payah perusahaan itu untuk anak cucuku! Kamu tak bisa mengabaikannya begitu saja. Ibu tak sudi hasil jerih payah selama ini jatuh pada tangan yang salah. Khawatir berimbas buruk pada kelangsungan ekonomi para pekerja juga buruh pabrik yang menggantungkan kehidupan pada perusahaan kita. Cobalah pikirkan itu!" 

Zayn membasahi bibir, memilih diam dan tak menimpali cerocosan ibunya kali ini. 

"Urusannya tidak sesederhana itu, Zayn. Ini bukan hanya tentang kita. Seperti yang sudah kita sepakati di awal. Ibu mengizinkanmu mengajar, tapi ingat, perusahaan juga membutuhkan dedikasi penuhmu saat waktunya tiba," jelas Lidya menekankan setiap kata-katanya. 

Nada suara Lidya frustrasi. Sudah berbagai cara dilakukannya demi membujuk putranya supaya segera menikah di usia matangnya. Hanya saja Zayn seolah tak menaruh minat lagi pada wanita.

"Aku paham, Bu. Tapi, akan kubuktikan pada mereka, tanpa menikah pun aku mampu mengelola perusahaan dengan baik seperti yang kulakukan sekarang disela-sela kesibukan mengajarku," jawabnya penuh percaya diri.

Lidya membuang napas lelah. "Coba bicara jujur. Tidak ada kah satu pun wanita yang menarik bagimu sekarang? Terlepas dari masalah perusahaan, Ibu juga takut kamu beralih menyukai jenis belalai gajah daripada kue donat!"

Raut wajah Lidya penuh kekhawatiran yang nyata. Terakhir kali Zayn berkencan ketika masih kuliah tingkat tiga dulu dan hingga sekarang setelah tujuh tahun berlalu putranya tak pernah terlihat menjalin hubungan lagi dengan wanita manapun. Meskipun Lidya tahu Zayn jadi seperti itu bukanlah tanpa alasan, tetapi tetap saja, sebagai seorang ibu Lidya takut anaknya berbelok berpindah haluan.

"Belalai gajah? Kue donat?" gumam Zayn membeo, menatap ibunya tak mengerti. 

Zayn mengernyit, menelaah kata-kata ambigu yang dilontarkan ibunya. Beberapa saat kemudian dia terbahak kencang setelah paham akan maksud Lidya. 

"Aku ini masihlah pria sejati, Bu. Tentu saja kue donat tetap lebih menarik," ujarnya sembari mengedipkan sebelah matanya diiringi sisa kekehan. "Sebetulnya ada seorang wanita yang selalu menarik perhatianku. Janda beranak satu," imbuh Zayn serius.

"Janda beranak satu?" Lidya tampak berpikir. Entah mengapa rasanya sedikit tak rela jika putra semata wayangnya yang memesona tiada tara malah menjalin hubungan dengan seorang janda. Akan tetapi, jika memang Zayn menyukainya, janda pun tak mengapa, batinnya.

"Kamu... kamu menyukainya?" tanya Lidya tampak tak tenang. Mencondongkan tubuhnya lebih dekat. 

"Sangat," sahut Zayn sembari mengangguk yakin. 

Lidya terlihat bimbang untuk sejenak. "Ya sudah, janda pun tak mengapa. Asalkan kamu suka. Siapa namanya?" Lidya serius mengajukan pertanyaan.

"Inisialnya L. Dia janda beranak satu yang amat cantik, pemilik Rayan Enterprise." Zayn menyunggingkan seringai jahilnya, secepat kilat segera berlari ke kamarnya sebelum Lidya berteriak lantang.

"Zayn Alvaro Rayaaaaaan!"

*****

Lidya mengayunkan kaki memasuki gedung perkantoran yang menjadi singgasana Rayan Enterprise. Tampak anggun bersahaja sembari menggandeng putra tampan semata wayangnya. 

Keduanya sama-sama memesona. Lidya dengan aura khas wanita berkelas dan di sampingnya Zayn yang begitu tampan berkharisma memukau menyihir pandangan. Tak ada yang mampu mendustakan bahwa daksa ibu dan anak itu memang mengundang decak kagum juga iri, belum lagi otak bisnis mereka yang terkenal cerdas.

Hari ini ini Zayn menyempatkan diri datang ke kantor Lidya. Jadwal mengajar yang tidak setiap hari membuatnya leluasa membagi waktu untuk ikut berkecimpung di perusahaan ibunya kendati sejujurnya dia tak begitu suka.

Selama ini Zayn ikut terjun turun tangan semata-mata sebagai tanda baktinya pada wanita yang telah melahirkan, merawat, membesarkan dan mencintainya tanpa kenal lelah. Ingin membuat wanita paruh baya itu selalu tersenyum bahagia di usianya yang tak lagi muda. Karena Zayn tahu, setelah ayahnya tiada, ibunya berjuang sendiri untuk membesarkannya dan semua itu tidaklah mudah.

Sebagai anak satu-satunya, Zayn berusaha membantu mengelola perusahaan seperti harapan sang ibu. Dia ikut menyaksikan, bagaimana perjuangan ibunya jatuh bangun membangun Rayan Enterprise hingga sebesar sekarang, berusaha mandiri menjadi orang tua tunggal walaupun rongrongan dari sana sini tak henti merecoki.

Pintu ruang kebesaran Lidya terbuka. Langkah kakinya terhenti kala mendapati tamu tak diundang tengah membaca koran di ruangannya. Zayn melongokkan kepala, ingin tahu penyebab ibunya bergeming.

"Selamat pagi, Kakak Ipar. Ah, si calon presdir kita ikut datang juga rupanya. Bagaimana kabarmu, Zayn?" sapa seorang pria berusia awal lima puluh tahunan. Tersenyum palsu dengan keramahan yang dibuat-buat.

Bersambung. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status